Six

1442 Words
"Apa harus dengan perempuan berpenyakitan? Kakek, Dave mau nikah sama dia. Bukan cewek itu!" Geram David karena terus-terusan didesak oleh Kakeknya. "Dengar ini Dave. Kamu tau bagaimana potensi keluarga gadis itu bagi rumah sakit kita. Dan Kakek cuman punya kamu. Apa tidak bisa membuat kami bahagia?" "Ck! Adrima ada, Kek. Dia juga belum menikah. Ini gak bisa dibilang adil buat Dave!" Pria paruh baya itu memejamkan mata. Ia tahu akan berakhir seperti apa. Tapi hanya David yang bisa ia jadikan keselamatn untuk rumah sakitnya. Bilang saja ia egois, tapi tanpa rumah sakit itu, akan banyak manusia yang kehilangan nyawa. Dan Kakek tidak ingin menjadi pembunuh bagi ratusan nyawa yang hilang begitu saja. "Dia membutuhkan bantuan kamu. Dia sakit, Dave. Dan Kakek tau cuman kamu yang bisa bikin dia pulih," kata sang Kakek mencoba kembali membujuk cucunya. "Gak! Bahkan bukan Dave yang selalu periksa dia. Kak Adrima yang selalu ada dan jadi dokter pribadinya. Tapi kenapa  David yang nikah?! Ini gak lucu, Kek." "Nenek minta sama kamu, Dave. Perempuan itu terlalu rapuh. Apa kamu ngebiarin dia tinggal bareng sama Adrima? Kamu bahkan tau Adrima kaya apa." David menolehkan kepala. Melihat wanita kesayangannya tengah memasuki ruangan dengan kursi rodanya. "Itu benar. Kamu tau dia sakit, apa kamu bakal biarin dia nikah sama orang se-gila Adrima? Kamu yakin hal itu bakal baik buat dia?" Tak ada pilihan. David akhirnya kembali terpenjara dikungkungan sang Kakek. Tak bisa melangkah maju karena itu akan membuatnya hancur. Dan tak bisa mundur, karena mustahil waktu bisa diundur. Menghela napas panjang, "Ya, baik. Tapi dengan syarat, kamu menikah kontrak." Akhirnya. Itu yang menjadi keputusannya. Dan memang hanya itu pilihannya. "Dave!" "Ah, ya?" Jawab lelaki dengan kemeja merah itu linglung. Matanya menatap bingung sekitar sehingga akhirnya ia paham bahwa ia telah masuk ke dalam memori kelam yang membawa kebahagiaan. "Dari tadi kamu melamun. Ada yang sedang dipikirkan?" David tersenyum. "Tidak ada, Ra. Kamu masih butuh waktu lama? Aku harus pulang. Sepertinya Megan juga sudah ada di jalan pulang." Gadis dengan dress biru lautnya itu menggeleng kecil. Ia lalu memanggil seirang pelayan dan meminta rincian hargaa yang harus mereka bayar. "Kali ini aku yang bayar. Kamu diem aja." David tersenyum dan mengacak rambut perempuan itu gemas. "Ya, ya. Silahkan." *** "Abis selingkuh, terus pulang? Masih punya malu?" David mengernyit. Ia bahkan baru saja datang ke rumah. Tak mengerti dengan apa yang dibicarakan Megan padanya. David baru saja duduk di sofa. Belum sempat membuka sepatu dan minum atau mungkin makan. Dan istrinya itu sudah mengatakan hal aneh. Hell? "Siapa?" Tanyanya bingung. Karena David jelas tak merasa telah berselingkuh. Ia memang bertemu dengan mantan kekasihnya, tapi tak lebih untuk menanyakan keadaan rumah sakit. Katena setelah pindah ke rumah baru, David jadi jarang berpergian ke sana. Mungkin juga sudah mulai sedikit mereka yang ingin operasi. Atau semakin banyak orang yang sehat. "Ya, siapa lagi yang ketemu sama mantan di waktu kaya gini?" David menyunggingkan senyum kecil. "Cemburu?" Ledeknya, nakal. Megan mendelik kejam, ia lalu berdiri seraya menatap wajah David galak. "Gak ada! Kalaupun cemburu, buat apa?! Ada gunanya juga nggak. Tapi inget, profesional dalam pernikahan juga harus!" David tersenyum manis. Ia mengambil posisi dengan nyaman setelah membuka sepatu dan barang-barang lain yang melekat pada tubuhnya. Kecuali pakaian pastinya. Tangannya dengan lancang merangkul bahu Megan. Memaksa kepala wanita itu agar bersandar padanya. "Ish! Apaan sih! Mandi sana!" Bentak Megan dan mendorong tubuh David cukup keras. Namun yang namanya perempuan, walau kini derajatnya sama dengan kaum lelaki, kekuatannya jelas akan berbeda. Lihat saja, David bahkan masih diam mematung memandang televisi. Tidak mengindahkan ucapan Megan yang semakin meninggi beserta dengan kata-kata menjengkelkan. Seperti: diem! Sana! Bau, tau! "Iya-iya. Aku mandi. Sekarang apa nanti?" Tanyanya jail. "Situ nanya? Harus banget dijawab," ketus Megan dan kembali fokus pada kayar televisi. David kembali memasang senyum manisnya lalu mengacak gemas rambut Megan. "Jangan marah terus, cepet tua." "Yaudah sih. Mau tua apa nggak juga, kamu gak akan tau. Udah sana!" Tubuh David seketika menegang. Diam sejenak lalu beranjak pergi. Sepeninggal David, Megan terdiam. Ia merasakan sesuatu menghenyak datang ke dalam tubuhnya. Sesuatu aneh yang menjalar penuh ke dalam raganya. Ada yang sakit namun tak bisa ia rasakan. Ada yang luka, namun tak kasat mata. Jadi, sebenarnya ia kenapa? Dari awal tujuannya memang hanya ingin membuat dirinya sembuh lalu pergi meninggalkan segalanya. Memulai hidup baru dengan lelaki baru yang menikahinya dengan benar. Tanpa adanya kontrak ataupun sebuah perjanjian di atas hitam dan putih. Tanpa ada pelibatan hak, warisan, kekuasaan, atau bahkan harta untuk kemudian. Ia ingin semua nyata layaknya pernikahan pada umumnya. Yang di mana penggelaran lamaran berjalan dengan biasanya. Terjadi di siang hari dengan para saksi berupa keluarga dan bertanya baik-baik. Lalu memilih perlengkapan menikah dan menghabiskan waktu berdua before-marriage dengan hal-hal yang membahagiakan. Megan menghembuskan napas panjang. Memikirkan hidupnya yang tampak tak biasa. Seperti boneka yang dimainkan oleh mereka-keluarganya- serta para prang luar terpercaya. Megan yakin, jika saja Mamanya tidak memasukkan sejumlah uang-yang bisa menjadi sehancur ini- ia pasti akan hidup semestinya. Jika saja Papanya tidak memiliki rasa kasihan, mungkin saja ia bisa memilih pasangan sendiri. Dan jika saja penyakitnya tak pernah ada, maka ia akan seperti remaja pada umumnya. Tangan putih Megan terangkat, memegang kepalanya yang terasa pusing karena memikirkan hal-hal yang seharusnya terjadi namun kandas karena ketentuan Tuhan yang pastinya lebih baik untuknya. Napasnya juga sedikit tidak beraturan, bahkan napasnya sekarang terasa hangat. Sesuatu yang mengalir perlahan membuat pandangannya semakin mengabur, sebelum seseorang mengelapnya dan memberikan obat padanya. Beberapa obat yang sepertinya lupa ia konsumsi siang tadi. Dengan perlahan, ia menegaknya. Meminumnya dengan hati-hati. Hingga semuanya terasa gelap dan ia yakin, esok adalah hari yang jauh lebih berat untuknya. "Ya ampun.. pasti lupa minum obat. Ck! Untung sayang, Ga!" Decak David dan mengangkat tubuh ringkih itu untuk segera ia bawa ke dalam kamar. Perempuan ini tampaknya butuh istirahat. Dan entah apa yang sudah Megan pikirkan hingga membuat gadis itu selemah ini. "Cita-cita atau plan selanjutnya adalah kuliah," baca David pada sebuah note yang terpasang pada mading kecil di sudut ruangan kamar Megan. Karena keinginan gadis itu, kamarnya dan kamar sang istri terpisah. Megan ingin kamar wanita itu hanya boleh dilihat oleh orang-orang dengan izin darinya. Tapi ini keadaan darurat, ia tak mungkin membiarkan gadis itu di sofa atau lebih parahnya dibawa ke dalam kamarnya. Bisa-bisa Megan berfikir hal yang tidak-tidak. Maklum, pemikiran anak remaja biasanya lebih cepat mengambil keputusan sepihak. Apalagi dengan keras kepala yang sulit dihilangkan. "Jadi, kamu mau kuliah?" *** "Sekarang aku harus pergi. Karena tadi Kak Adrima telpon, ini darurat. Gak papa, kan, di rumah sendiri? Atau mau ikut?" Tawar David pada Megan yang tengah mengoleskan selai kacang pada roti bakarnya. "Gak. Lebih baik di rumah. Nanti situ malu, bawa istri penyakitan!" Sindir Megan keras. David menghembuskan napasnya. Ia tak pernah memikirkan bahwa apa yang ia ucapkan tempo hari bisa didengar oleh wanita itu. Namun nasi sudah menjadi bubur, percuma ia jelaskan. Dan sepertinya tak ada yang perlu menjadi pertimbangan. Karena ucapannya saat itu memang benar-benar mewakili segenap hatinya. "Aku berangkat dulu. Mungkin pulang agak malam. Nanti aku telepon Kak Alene buat nemenin kamu," tukas David tak ingin dibantah. Ia mengambil snelli nya dan bangkit untuk pergi. Megan tersenyum miring, "Aku tau kamu udah baca note yang aku tulis di mading, kan? Itu juga yang mau aku bahas malem kemaren. Jadi.. gimana?" "Apanya?" "Gak perlu ngerasa gak tau. Kuliah," jawab Megan sinis. Sebenarnya ia sudah menanti-nanti keputusan David sedari malam itu. Malam di mana ia kehilangan kesadaran dan bangun di atas kasurnya. Mustahil jika David tidak melihat note kecil itu. Karena pintu kamarnya jika dibuka akan langsung menampilkan mading kecil buatannya. Namun anehnya, lelaki itu tak kunjung membahas apa yang ia inginkan. Sedikit kecewa, mengingat bagaimana kehidupan mereka yang akan berjalan lebih dari lima bulan. Jika saja boleh jujur, gara-gara pernikahan konyol ini juga, ia jadi harus memupus mimpinya menjadi seorang arsitek. "Tentuin aja universitasnya, dan kumpulkan hasil penilaian kamu dari sekolah dasar sampai kemarin. Dan jangan lupa akta serta kartu keluarga kamu. Dan ya, kamu pasti sudah punya tanda kependudukkan, kan? Jangan lupa fotokopi. Selesai? Aku harus segera berangkat." "Beneran?!" Pekik Megan senang. "Kamu kira saya.. maaf, aku bercanda?" Megan tersenyum lembut. "Makasih, ya. Dan.. tolong bahasanya dikondisikan kembali," saran wanita itu sebelum menggigit rotinya perlahan. David hanya mampu menghela napas dan tersenyum menanggapi wajah Megan yang berseri. Bukan tanpa sebab ia memperbolehkan keinginan wanita itu sengan mudah. Jelas semuanya sudah ia pikirkan matang-matang. Apalagi melihat kondisi gadis itu yang tidak bisa dibilang dalam kondisi baik-baik saja saat ini, terlebih kemarin malam Megan sempat drop dan pingsan. Setelah menutup pintu utama, David mengambil ponselnya dan menelpon seseorang. Meminta untuk menemani istrinya sampai nanti malam. Bodo amat sama Kakaknya Adrima yang pasti gak akan bolehin, yang penting Megan gak kesepian dan ada teman. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD