BAB 6

913 Words
Letta saat ini sedang bermain dengan setumpuk berkas di atas mejanya. Sudah berjam-jam berlalu, tidak sedetikpun gadis itu keluar dari sana. Hari keduanya bekerja terasa sangat lelah mengingat dirinya harus belajar dengan tekun karena Azel yang menekan dan mengancamnya agar tidak berulah atau dia akan dikirim kembali ke LA. Letta bukannya tidak senang jika dirinya dikirim kembali ke LA, hanya saja, Daddynya pasti akan marah besar dan akan mengirimnya lebih jauh, seperti Indonesia mungkin. Mengingat sang Mommy sedikit memiliki darah Asia tersebut.   Tok tok tok.   "Masuk." Gumamnya pelan sambil terus menuliskan beberapa hal penting yang harus diingatnya kembali. Letta menengadahkan kepalanya menatap teman barunya yang bernama Zee masuk sambil membawa beberapa bungkus makanan.   "Aku tahu kau sibuk dan belum sempat makan siang. Jadi, aku membawakanmu makanan." Zee menyodorkan plastik yang berisi box meal pada Letta.   "Thanks, Zee."   "Welcome, dear." Balas Zee lalu memperhatikan ruangan Letta dengan saksama. "Ruanganmu sangat besar."   Letta mengangguk. "Yeah, sangat heran jika dokter asisten keempat sepertiku memiliki ruang sebesar ini, sendirian pula."   "Tidak. Tidak. Bukan maksudku mengejekmu." Zee merasa tidak enak karena dia benar-benar tidak bermaksud untuk menyindir Letta.   Letta menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Zee. Aku mengerti maksudmu." Gadis itu mulai membuka box meal beserta minuman yang tersedia. "Kau sudah makan?"   Zee mengangguk. "Bersama dokter Sean." Ia kini mengatensikan dirinya pada Letta dan bergumam. "Aku tidak tahu apa hubunganmu dengan dokter Azel. Tapi, kurasa kalian memang cukup dekat. Apa kalian sepasang kekasih?"   Uhuk.   Letta terbatuk akibat tersedak ayam saus yang hendak ditelannya. Zee segera memberikan minuman itu pada Letta.   "Pelan-pelan. Kau bisa muntah nanti." Ucap Zee hingga Letta menatap teman barunya ini dengan tidak percaya karena karena omongannyalah Letta tersedak.   "Darimana kau berpikiran seperti itu?"   Zee menggeleng pelan. "Tidak ada. Selama ini hanya kau yang dekat dengan dokter Azel bahkan kau selalu pergi bersamanya, bukan?" Kini Zee mendekat dan berbisik pelan. "Mereka mengawasimu Letta. Mereka yang terobsesi pada dokter Azel ingin menghancurkanmu. Berhati-hatilah."   "Aku sudah biasa menghadapi wanita seperti itu." Ya, Letta memang sudah biasa menghadapi wanita seperti itu karena dulu ia pernah menjadi sasaran para wanita yang menyukai Vior karena disangka ia adalah kekasih Kakaknya sendiri.   Zee tampak mengangguk. "Aku juga melihat di kantin tadi bahwa dokter Azel bersama dengan dokter Keyra dari departemen jantung dan paru-paru."   "Bukan urusanku!" Letta menutup box mealnya kemudian membuang semua benda kotor ke tong sampah didekatnya. "Lagipula, itu hak dia."   "Aku kira kau akan cemburu."   "Cemburu? What the hell!! Aku bahkan harus berpikir dua kali untuk cemburu pada pria kutub sepertinya." Tukasnya sambil melepaskan jas putih lalu menyangkutkannya di gantungan di samping meja kerjanya. "Kau sendiri? Memiliki skandal apa dengan dokter Sean?" Letta membalas ucapan Zee.   Tampak gadis itu tergugup. "Aku tidak memiliki skandal apapun dengan dokter Sean. Kau salah mengira. Dia sudah memiliki tunangan." Sahutnya lesu membuat Letta tersenyum jahil. "Yeah, tapi kalau tidak salah dengar barusan kau baru saja makan siang dengannya, bukan?"   "Hanya makan siang, Letta."   "Apa kau mencintainya?" Letta bertanya sambil menatap Zee intens untuk menilai logat teman barunya itu.   "T-tidak! Bagaimana mungkin aku menyukai orang yang sudah memiliki kekasih? Kau adaada saja."   Binggo!   "Kau mencintainya, Zee. Jangan bohongi dirimu sendiri. Rasa cinta takkan pernah bisa kita tebak lagipula itu perasaanmu sendiri dan kau berhak menentukan siapapun pilihanmu. Hanya saja, kadang kita menaruh hati pada orang yang salah." Letta beredisi bijak kali ini.   "Kau sudah memiliki kekasih?"   Letta menggeleng. "Aku tidak pernah dibiarkan memiliki kekasih karena Daddy dan Kakakku menjagaku dengan ketat. Mereka tidak membiarkan aku didekati pria manapun. Benar-benar keterlaluan!" Ia menutup kalimatnya sambil menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya.   "Lalu darimana kau tahu soal cinta?" Zee bertanya penasaran.   "Ayolah, Zee. Aku tidak sepolos itu tentang cinta walaupun aku belum pernah memiliki kekasih." Ia menarik nafas dan kembali berujar. "Kau tahu, temanku selalu cerita tentang kekasih mereka begitupun dengan Kakakku."   "Seandainya bisa berharap aku ingin jadi kau, tidak mengenal rasa cinta daripada harus jatuh cinta namun pada orang yang sudah memiliki kekasih."   "Zee.." Letta memanggil pelan kemudian memegang kedua pundak wanita itu. "Kau tidak perlu menyalahkan dirimu seperti itu. Kau berhak jatuh cinta dan tidak peduli pada orang yang sudah memiliki kekasih atau tidak. Tapi, kau juga harus berusaha untuk menolak rasa itu perlahan agar ketika pada saatnya nanti, kau tidak jatuh terlalu sakit."   Zee tersenyum. "Terimakasih, Letta. Kau teman terbaik yang kupunya di rumah sakit ini. Aku senang kau di transfer kemari."   "Well, aku juga senang memiliki teman sepertimu, Zee."   ***   Azel menatap Keyra dengan datar mengingat wanita itu mengajaknya makan siang untuk ke sekian kalinya. Pria itu awalnya menolak, namun Keyra memaksa dan akhirnya Azel menerimanya karena ada sesuatu yang hendak wanita itu katakan padanya.   "Ada apa, Keyra? Jangan membuang waktuku karena pasienku sudah menunggu."   Glek.   Wanita itu menelan salivanya dengan susah payah dan menatap Azel gugup. Tidak pernah dia segugup ini jika berdekatan dengan boyfriendnya. Namun, sangat berbeda dengan pria bermanik abu-abu yang kini menatapnya tajam.   "Apa.. kau tidak ingin membuka lembaran baru bersamaku?" Akhirnya kata itu keluar dari mulut Keyra. Ini bukan yang pertama kalinya bagi Azel, seorang wanita mengutarakan isi hati padanya. Namun, semua berakhir sia-sia.   Azel terdiam dan tak lama ia menghela nafasnya pelan. "Tidak, Keyra. Maafkan aku." Azel hendak beranjak, namun langkahnya tertahan karena Keyra menahan lengannya.   "Apa kau tidak bisa memberi kesempatan padaku, Zel? Aku.. benar-benar mencintaimu."   Azel melepaskan tangan Keyra dari lengannya. "Maafkan aku, Keyra. Aku hargai perasaanmu namun, hatiku masih belum bisa menerima wanita manapun."   Azel benar-benar melangkahkan kakinya meninggalkan Keyra yang terduduk lemas dengan air mata mulai berjatuhan.   "Aku akan membuatmu melupakan masa lalumu, Azel. Aku bersumpah!!"   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD