BAB 5

963 Words
Pagi ini, Letta akan berangkat bersama Azel menuju ke rumah sakit dimana ia akan bekerja. Letta sudah siap dengan celana kainnya berwarna cream dan kemeja putihnya yang lengannya ia gulung menjadi seperempat lengannya. Tak lupa pula ia memakai jam disebelah kanan. Letta memang tidak pernah memakai jam sebelah kiri karena kebiasaannya sejak kecil. Bahkan, orang berkata bahwa yang memakai jam sebelah kanan adalah orang sombong. Letta tidak memperdulikannya.   Setelah keduanya berpamitan, Azel langsung menarik lengan Letta membuat wanita itu kewalahan mengikuti langkah besar Azel. Keduanya kembali menuju rumah sakit dalam hening. Sepertinya Letta akan membiasakan dirinya untuk diam setiap berhadapan dengan Azel, si pria kutub.   "Kita sampai.." Gumam Azel dan segera keluar dari mobilnya diikuti oleh Letta. Rumah sakit itu sangatlah besar mungkin sama besarnya dengan milik Daddy. "Ayo masuk."   Letta mengikuti langkah Azel masuk ke dalam rumah sakit. Para dokter, perawat menatap Letta sedikit bingung karena rambutnya yang hitam legam. Apalagi, dengan Azel yang kini berjalan disampingnya, ah~ bukan karena rambutnya tapi memang karena Azel yang kini jalan bersisian dengannya.   "Ruanganmu disini dan ruanganku disitu." Ruangan mereka berhadapan. Letta sampai berpikir, kenapa semuanya serba berhadapan seperti ini? Tidak kamar, meja makan, bahkan ruangan di rumah sakit pun berhadapan.   Azel menghela nafas dan bergumam. "Jangan berpikiran macam-macam, ruangan kita berhadapan agar kau lebih mudah menemuiku." Kini pria itu mendekatkan dirinya di hadapan Letta membuat gadis itu mundur selangkah sambil menengadahkan kepalanya. "Dan ingat, jam 9 kita berkumpul di ruang konferensi untuk menemukan timmu."   Letta mengangguk kemudian mendorong d**a Azel dengan sigap karena mereka terlalu dekat. Azel mundur perlahan kemudian berbalik dan masuk ke dalam ruangannya sendiri meninggalakan Letta yang menghembuskan nafasnya lega.   Diperhatikannya ruangan serba putih tersebut. Ruangan ini jauh lebih luas daripada ruangannya di rumah sakit milik Daddynya. Bahkan semuanya sudah lengkap seolah memang sudah dipersiapkan. Letta duduk di bangku kebesarannya dan melihat jas putih terlipat di atas meja dengan namanya dan juga departemennya yakni, bedah syaraf.   ***   Letta sudah duduk di bangku tengah-tengah yang berbentuk seperti bangku bioskop. Beberapa orang memang sudah ada disana dan Letta merasa jantungnya berdegup kencang bertemu dengan orang-orang baru. Mungkin disana sudah ada sekitar 15 orang termasuk dirinya sendiri.   "Kau transferan dari rumah sakit Mossart?" Tegur seorang wanita membuat Letta menoleh dan kemudian mengangguk.   Wanita itu tersenyum ramah lalu mengulurkan tangannya. "Perkenalkan, aku Zee. Asisten pertama dokter Sean."   "Letta." Balasnya sambil menyambut uluran Zee. "Dan aku belum menemukan teamku."   Zee terkekeh kemudian duduk disebelah Letta. "Jika kau sudah menemukan team-mu, untuk apa kita berkumpul?"   Letta tersenyum simpul. "Kau benar."   Pintu kembali terbuka menampilkan sosok Azel dan beberapa dokter wanita di belakangnya mengikuti langkah Azel. Azel menatap Letta sekilas dan melanjutkan langkahnya untuk duduk di bagian depan podium.   "Oke. Semuanya sudah berkumpul, bukan?" Tiba-tiba seorang pria paruh baya mengambil alih podium. "Bagi dokter baru disini, perkenalkan saya William sebagai manager dirumah sakit ini."   Tidak hanya Letta yang merupakan dokter transferan, namun beberapa orang lainnya juga. Letta benar-benar memperhatikan apa yang disampaikan oleh dokter William tersebut.   "Kita langsung saja karena hari ini benar-benar sibuk oleh karena kedatangan tamu penting dan kalian bisa berkenalan dengan teman baru kalian nanti."   Semuanya mengangguk setuju. William mulai mengatur satu persatu dokter transferan menjadi asisten dari dokter-dokter senior.   "Charletta.." Panggil dokter William membuat Letta menunjukkan tangannya. "Saya, dok." "Kamu menjadi asisten keempat dokter Azel."   What the~   Apa Letta tidak salah dengar? Kenapa harus keempat jika ketiga atau kedua kosong?! Pria itu benar-benar ingin menyiksanya sepertinya. Asisten keempat itu seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Selalu menuruti perintah dari yang berjabat diatas dirinya. Sama saja dia tidak dianggap.   Azel benar-benar membuatnya terlihat bodoh! Mati saja kau pria kutub!!!   "Bagaimana Charletta?" Tanya dokter William karena Letta tidak kunjung membuka suaranya.   "Apa tidak ada dokter lain yang kosong? Saya tidak mau satu team dengannya dok." Letta terlalu berterus terang dan kini semua mata menatapnya tak terkecuali Azel yang sudah memberikannya tatapan membunuh. Pria itu memang duduk jauh dibawahnya namun tatapannya tetap saja membuat Letta membeku ditempat.   "Kenapa?" Dokter William balik bertanya pada Letta.   Letta memilin kedua tangannya gugup mendapat tatapan tak suka dari beberapa dokter wanita. Mereka berpikir jika Letta terlalu angkuh menolak team dokter Azel. Padahal, banyak dari mereka berlomba-lomba untuk masuk ke dalam team tersebut.   Apa yang harus Letta katakan sekarang?   "dok, izinkan saya berbicara berdua sebentar dengan Letta." Tanpa menunggu jawaban William, Azel bangkit dari tempat duduknya dan menuju dimana Letta duduk lalu menarik lengan Letta membuat mereka disana semakin curiga hubungan apa yang dimiliki dokter transfer tersebut dengan dokter Azel?   Tatapan Azel terlihat membunuh, namun Letta berusaha tegar walau jantungnya kini berdegup kencang. Ia membawa Letta ke samping koridor sepi lalu mengukung badan mungil tersebut dengan kedua tangan kokohnya.   "Apa yang ada di otakmu?"   "Cairan dan darah." Sahutnya asal membuat Azel menggeram tidak suka.   "Kalau kau ingin bermain-main jangan disini! Ini bukan rumah sakit daddymu yang bisa seenakmu saja memutuskan! Ingat, aku sudah diberi titah untuk mengurus wanita tidak tahu diri sepertimu. Jadi, berbaik hatilah dan terima saja."   Letta menggeram kesal dengan tangan mengepal dan menatap Azel menantang. "Kau tidak bisa seenaknya menyuruhku menjadi asisten keempatmu, sialan!" Makinya didepan wajah Azel.   Pria itu menaikkan sebelah alisnya. "Ah~ jadi kau merasa terhina karena aku menempatkanmu sebagai asisten keempat, hm?"   Ingin rasanya Letta menonjok wajah tampan nan berengsek tersebut, tapi lengannya tertahan karena kedua tangan serta tubuh Azel yang mendesaknya ke dinding membuat tubuh mungilnya tidak dapat berkutik sama sekali.   "Aku bahkan belum tahu kemampuanmu, maka itu aku harus menempatkanmu didasar. Sekarang, turuti saja apa yang aku katakan atau aku akan melaporkanmu karena saat ini, kau dibawah pengawasanku, Letta." Azel melepaskan kukungannya dan berbalik pergi meninggalkan Letta dengan emosi yang memuncak.   "Bajingaan!!!!" Makinya lalu memegang kepalanya yang terasa sakit. "Arrgh.."   Letta berjalan pelan sambil memegang kepalanya namun tak lama karena sakitnya segera hilang. Ia hanya bisa berharap bahwa keputusan Daddynya mengirim dirinya kemari tidaklah salah. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD