Noah melempar senyuman manis pada Humairah. "Terima kasih calon Bunda, sudah mau jadi bunda aku," ucap Noah lalu melorotkan badannya untuk turun dari gendongan Humairah.
Humairah pun tersenyum mendengar perkataan anak kecil yang masih polos itu. "Iya sayang, sama-sama, " ucapnya lalu ia menurunkan Noah dari gendongannya.
Noah berlari kecil menghampiri Faiz dan memeluk Faiz. "Ayah, Noah suka digendong sama calon bunda, tapi gak boleh lama-lama. Nanti calon bunda capek, iya kan, Yah," ucapnya dengan menggemaskan.
Faiz hanya diam saja sambil sesekali melirik Humairah.
"Belum capek kok," sahut Humairah sambil menyamakan tingginya dengan Noah. Wanita itu memang pandai mengambil hati anak kecil. Ia pun memang menyukai anak kecil. Anak kecil itu membutnya gemas.
Noah memutar badannya menghadap Humairah. "Nanti, kalau calon bunda udah jadi bunda Noah. Noah boleh gak digendong lagi? Gendongnya lama-lama sampe Noah ketiduran, boleh gak?" tanya Noah. Dia memegang pipi Humairah. "Boleh yah," pujuk rayunya.
Humairah tersenyum dan meraih tangan Noah yang tengah mengusapnya serta dia cium telapak tangan Noah yang khas bau lotion bayi itu. "Boleh gak ya?" Humairah pura-pura berpikir.
"Ayah, boleh gak?" Noah mengangkat kepalanya memandang Faiz.
"Gak tau," jawab Faiz dingin.
"Ih Ayah gak asyik. Aku kan nanya, kok jawabnya kaya gitu. Ayah nyebelin banget," ucap Noah kesal. Ayahnya itu membuatnya sebal. Selalu saja tidak mengerti dirinya. Selalu saja bersikap cuek. Ayahnya orang tua yang menyebalkan.
Humairah melirik Faiz sebentar. Kemudian melarikan pandangannya kembali pada anak kecil yang wajahnya sedang cemberut. Sepertinya anak kecil itu sedang bete pada ayahnya yang dingin banget kaya es.
"Boleh kok sayang, Tante gak keberatan sedikitpun. Malahan tante senang bisa gendong kamu sampe ketiduran. Nanti tante nyanyiin. Mau gak tante nyanyiin biar tidurnya lebih nyenyak?" tanya Humairah.
"Mau! Mau!" jawab Noah setengah berteriak saking senangnya. Humairah pun tersenyum kecil melihat anak kecil yang akan menjadi anak tirinya itu.
Faiz menghelas nafas. Kenapa pula Noah secepat itu bisa dekat dengan Humairah? Padahal mereka baru pertama kali bertemu, pikirnya.
"Sekarang kita temui Opa dan Oma kamu, ya," ucap Faiz dengan sikap dinginnya. Ia mengangkat tubuh Noah lalu menggendongnya.
Humairah berdiri dan gak sengaja pandangan matanya bertemu dengan Faiz. Dengan cepat Humairah menunduk. Astaga mimpi apa ia semalam, hingga lelaki bernama Faiz itu melamar dirinya dan ia pun sudah menerima lamaran pria itu. Pria itu memang tampan dan banyak pengagumnya di tempatnya bertugas. Termasuk juga dengan teman-teman se-profesi dengannya. Andai teman-temannya nanti tahu bahwa ia akan menikah dengan dokter Faiz, pasti ia jadi bahan candaan di rumah sakit. Ia jadi bahan pembicaraan orang-orang.
"Aku duluan," pamit Humairah yang dikenal gadis pemalu ini. Ia sebaiknya kembali ke dalam. Lama-lama dekat dengan Faiz membuat jatungnya berdebar-debar. Entah petanda apa itu. Mungkin perasaan gugupnya saja.
Faiz mengangguk. Ia mempersilahkan wanita itu pergi duluan.
Humairah melangkah masuk ke dalam rumah. Sepeninggalan Humairah. Faiz membuka satu kancing kemejanya. Entah kenapa ia jadi gerah. Jantungnya juga tak berirama normal. Kayanya ada yang salah dengan dirinya.
"Ayah kenapa?" tanya Noah.
"Ayah kepanasan," jawab Faiz.
"Enggak panas kok, Yah."
Faiz melirik mata anaknya. "Anak kecil, tau apa," ucapnya. Anaknya itu memiliki rasa keingintahuan yang terlalu besar. Apa-apa serba bertanya. Hal yang tidak harus dipertanyakan pun dipertanyakan. Dasar, anaknya itu menurun siapa sih. Kenapa kelewat kepo.
Faiz beranjak masuk ke dalam rumah Humairah. Sampai di ruang tamu ia tersenyum menyapa orang-orang yang ada di sana. Lalu ia kembali duduk di samping orang tuanya.
Hasan memfokuskan pandangannya pada anak kecil yang sedang duduk di pangkuan Faiz. "Gak nangis lagi?" tanyanya.
Noah tersenyum sebelum memberikan jawaban. "Enggak Kek," jawabnya semangat.
"Kalau Kakek boleh tau, kenapa gak nangis lagi?"
Noah melarikan pandangannya pada Humairah. Lalu kembali melihat Hasan. "Soalnya calon bunda mau jadi bunda aku. Aku senenggg banget," jawab Noah dan sontak membuat para orang tua Faiz dan Humairah jadi memancarkan kebahagian dan langsung berucap syukur secara kompak.
"Kamu serius, Maira?" tanya Hasan ke anak tunggalnya.
Humairah menunduk saat orang-orang meliriknya. Ia pun memberikan anggukan sebagai jawaban atas pertanyaan Abinya.
"Alhamdulillah," ucap serempak Ilham, Khadijah, dan Hasan. Akhirnya Ilham dan Khadijah bisa bernafas lega. Mereka sangat senang atas penerimaan Humairah. Kini mereka tidak perlu cemas lagi mencarikan jodoh untuk Faiz. Mereka telah berhasil mempersatukan Faiz dan Humairah. Itu adalah hal besar yang sangat mereka syukuri.
Khadijah menggapai pundak Faiz. "Selamat ya, Nak," ucapnya pelan sambil mengusap pundak putranya.
Faiz hanya menoleh ke mamanya dan melempar senyuman yang dibuat-dibuat. Ia memberikan senyuman palsu.
"Kamu benar-benar menerima lamaran Faiz?" tanya Ilham untuk memastikan lagi. Kali aja masih ada keraguan dalam diri Humairah, untuk itu dia meminta kepastian yang lebih jelas.
Humairah menghela nafas pelan. "Bismillah, dengan ridho Allah SWT, Humairah terima dengan ikhlas, Om," jawab Humairah dengan menundukkan wajahnya karena malu dengan Faiz yang tepat di hadapannya dan pria itu memandanginya terus. Tapi dengan ekspresi datar.
Ilham tersenyum lembar setelah mendengar jawaban Humairah. Saking senangnya ia memeluk Faiz sambil menepuk punggung Faiz dan memberikan ucapan selamat kepada putra tunggalnya itu. "Selamat ya, Faiz," ucapnya dengan haru.
Faiz tidak berkata sepatah katapun. Ia diam dan tidak tersenyum. Namun saat pelukan Papanya lepas, ia melempar senyum palsunya kepada orang-orang.
Khadijah mengusap kepala Faiz dan dia pun meneteskan air mata kebahagiaan. "Selamat Faiz, akhirnya Noah punya bunda juga. Kini kamu harus jaga Humairah baik-baik. Dia sudah jadi tanggung jawab kamu," ujarnya senang dan memberikan sedikit nasehat untuk putra kebanggaannya itu.
"Iya," balas Faiz dengan datar.
Noah juga tidak mau ketinggalan momen kebahagian ini. Dia dengan sigap turun dari pangkuan Faiz dan berdiri lalu berbalik badan menghadap Faiz.
Noah tersenyum lalu mencium pipi kiri dan kanan Faiz. Setelah itu dia mencium kening Faiz, kemudian pindah ke dagu, lari ke hidung, dan terakhir dengan berkata, " Selamat Ayahku sayang. Semoga Ayah bahagia sama calon bunda. Jangan lupa traktir es cream ya, Ayah. I love you, Ayah," ucapnya membuat semua gemas dan jadi tertawa, terkecuali Faiz yang hanya menampakkan tampang datarnya saja. Semua orang terlihat senang dan ia tampak terbebani dengan apa yang sedang orang-orang syukuri saat ini.
"Calon bunda, terima kasih ya, udah mau jadi bundanya Noah. Noah janji, akan jadi anak baik dan anak yang selalu sayang sama, Bunda," ucap Noah dan dia pun memberikan senyum termanisnya pada Humairah.
Humairah tersenyum juga sambil mengangguk ringan.
Khadijah menggapai tangan Humairah. "Terima kasih, Humairah," ucapnya. Dia tidak tahu lagi mau berkata apa. Ucapan terima kasih mungkin memang terdengar sederhana, namun dia mengucapkannya dengan perasaan yang sangat tulus. Dia bahagia Humairah telah mau menerima Faiz. Kini putra kesayangannya itu bisa juga mendapatkan wanita sebaik Humairah. Gadis itu pun terlihat gadis yang baik dan sholehah. Dia sangat merasa beruntung memiliki menantu seperti Humairah.
"Iya Tante, sama-sama," balas Humairah dan memberikan senyuman terbaiknya. Jujur Humairah masih terasa canggung pada seorang wanita yang baru saja berterima kasih padanya itu. Wanita itu memang terlihat seorang ibu yang baik, namun ia belum tahu banyak tentang keluarga Faiz. Semoga saja keluarga itu nanti juga menganggapnya seperti keluarga dan memperlakukannya dengan baik.
"Mulai saat ini, panggil Mama aja," ujar Khadijah.
Humairah mengangguk mengiyakan.
Noah menggapai tangan Humairah dan mencium punggung tangan Humairah dengan lembut. "Terima kasih, Bunda," ucapnya lalu dia memeluk Faiz karena merasa malu pada Humairah.
Humairah tersenyum. Lalu ia memandangi Abinya dan Hasan pun melempar senyum dan memberikan usapan lembut pada pundaknya.
"Lucu sekali calon anakmu," ucap Hasan di telinga Humairah.
"Abi bisa aja," balas Humairah tersipu malu.
"Selamat ya, putri abi. Akhirnya gak jomblo lagi," canda Hasan.
"Ah, Abi," balas Humairah.
"Dan selamat juga udah jadi ibu sekaligus," tambah Hasan. "Semoga Faiz pria yang cocok untuk kamu. Semoga kamu bahagia dengannya. Pokoknya Abi akan selalu mendoakan yang terbaik untuk anak Abi yang tersayang ini."
"Terima kasih, Bi. Doakan semoga Faiz adalah jodoh yang tepat untuk Humairah," ucap Humairah pelan pada abinya. Percakapan mereka hanya mereka saja yang mendengar.
"Aamiin," balas Hasan.
Percakapan terus berlanjut antara kedua belah pihak keluarga ini. Sampai waktunya makan siang. Hasan pun mengajak keluarga Ilham untuk makan bersama. Ilham pun menerima ajakan baik tersebut dengan senang hati sebagai tanda menghargai dan juga sebagai tanda terima kasihnya karena telah diterima dengan baik di rumah ini. Mereka pun beranjak ke meja makan.
Humairah yang dibantu oleh Bi Ina selaku pembantu di rumahnya untuk menyiapkan makanan. Setelah selesai Humairah bergabung di meja makan. Ia pun mendudukkan dirinya dan tak sengaja ia melihat Faiz yang duduk di sebrangnya dan tepat di hadapannya. Humairah tersenyum kaku saat berpapasan dengan wajah tampan sang calon imamnya tersebut yang hanya mengekspresikan wajah yang sulit diartikan. Tak lama ia melihat Faiz setelah itu ia menundukkan wajahnya kembali.
"Silakan dimakan." Hasan mempersilakan para tamunya untuk segera mencicipi hidangan.
Semua pun menikmati hidangan dengan sangat tenang, sambil mengobrol hal-hal kecil, dan ada juga gelak tawa. Hasan memberikan sedikit lelucon untuk mengisi keheningan dan semua tertawa karena lelucon tersebut.
"Ayah, suapin Noah ya," pinta Noah sambil memegang lengan Faiz.
Faiz tidak peduli dengan permintaan anaknya itu. Ia abaikan saja dan tetap makan dengan santai.
"Ayah, Ayah, Ayah," panggil Noah berkali-kali dengan suara pelan. Dia membujuk ayahnya untuk mau menyuapinya makan.
Faiz berhenti makan. Ia menoleh melirik ke arah Noah. "Apa?" katanya dengan berbisik di telinga Noah. Agar percakapan ia dan Noah tidak didengar oleh Humairah dan juga ayah dari perempuan itu.
"Noah mau disuapin sama Ayah," kata Noah dengan ekspresi wajah memelas.
"Noah, kamu bisa makan sendiri, kan," kata Faiz dengan tatapan mata yang membuat Noah takut. Ayahnya memang kadang tegas dan membuatnya tak berani membantah.
Noah menunduk. "Baik, Yah."
Faiz melanjutkan makannya. Saat ia sudah menyelesaikan makannya, tak sengaja matanya menangkap Humairah yang sedang makan. Saat mata mereka berdua bertemu, Humairah cepat menundukkan pandangannya. Dan di situ lah dapat Faiz melihat betapa malunya Humairah pada dirinya. Terlihat dari pipi wanita itu yang berubah menjadi kemerahan.
Semua sudah selesai makan. Humairah membantu Bi Ina mengemasi barang-barang yang ada di atas meja makan. Setelah itu ia kembali duduk dan obrolan antara kedua keluarga berlanjut.
"Hasan, saya ingin pernikahan Faiz dan Humairah dalam waktu dekat ini. Sebaiknya tidak perlu lama-lama. Mereka juga sudah sangat cocok sepertinya. Dan mereka juga sudah sama-sama dewasa. Jadi lebih baik rencana pernikahan mereka lebih cepat." Ilham memulai obrolan duluan. Dia menyampaikan apa yang ingin dia beritahukan kepada Hasan dan juga kepada Faiz serta Humairah.
"Saya setuju. Lebih baik memang lebih bagus. Kalau sudah halal kita bisa tenang. Jauh dari fitnah kan, jauh lebih baik," balas Hasan bersependapat dengan jalan pemikiran Ilham.
Faiz mengerutkan dahi. "Mudah sekali mereka memutuskan," batin Faiz. Bagi Faiz tidak semudah itu untuk melangsungkan sebuah ikatan pernikahan. Menikah itu bukan main-main. Lagipula ia dan Humairah saja belum tentu cocok. Harusnya tidak segampang itu papanya berbicara. Ia memang sudah dewasa dan begitu juga dengan Humairah. Namun letak keputusan bukan berada di sana. Pernikahan dijalankan bukan sekedar antara pria yang sudah cukup usia dan juga wanita yang sudah matang secara usia. Akan tetapi tentang 2 orang yang memang berkomitmen untuk hidup bersama.
"Jadi, kalian maunya kapan?" tanya Hasan pada kedua insan yang rencananya akan melangsungkan pernikahan itu.
Faiz meneguk salivanya. Ia memandang Humairah dan Humairah juga memandangi dirinya. Mereka sama-sama saling melihat satu sama lain. Faiz bingung mau menjawab apa dan begitu juga dengan Humairah. Mereka sama-sama dalam kebingungan. Pertanyaan yang dilontarkan pada mereka berdua membuat keduanya terkejut. Mereka sama-sama belum siap dan masih sangat ragu untuk melangsungkan pernikahan dalam kurun waktu yang terlalu cepat.
"...."
Hening. Faiz dan Humairah hanya diam. Tidak memberikan anggapan apapun.
"Loh kok pada diam," ucap Hasan. "Maira, kok kamu juga diem aja," tambahnya.
Humairah mengatupkan bibirnya rapat lalu menunduk.
"Noah maunya besok. Besok aja, yah," ucap
Noah antusias dan dia jadi dilirik semua orang.
"Terlalu cepat Noah, kalau besok. Kita belum ada persiapan." Khadijah berucap sambil mengusap kepala Noah.
"Gimana kalau seminggu lagi," usul Ilham.
"Boleh," dukung Hasan.
"Gimana Faiz? Keputusan ada pada kamu," ujar Ilham.
Sebenarnya Faiz tidak ingin menikah secepat itu. Namun ia tidak ada pilihan. Lamarannya sudah diterima jadi tidak mungkin ia batalkan secara sepihak. Jadi sebaiknya ia ikuti saja rencana dari orang tuanya.
"Gimana Faiz?" Kali ini yang bertanya adalah Hasan.
Faiz tidak langsung menjawab. Ia berpikir, apakah ia punya waktu luang jika minggu depan hari pernikahannya. Setelah diingat-ingat, minggu depan ia ada kerjaan. Lagipula waktu seminggu itu terlalu cepat dan mendesak. Faiz gak setuju, tapi tidak mungkin dia katakan penolakannya. Namun ia sudah mendapatkan jalan keluarnya.
"Jangan lama-lama mikirnya Faiz, kami semua jadi menunggu jawaban kamu." Ilham berucap tak sabaran.
"Jadi gimana?" tanya Ilham.
***