D U A

2450 Words
"Pa, kita ngapain sih pagi-pagi ke sini?" tanya pemuda berwajah dingin dengan kesal saat ia menginjakkan kakinya di depan teras rumah yang tidak pernah ia jamah sebelumnya. Entah rumah siapa yang ia datangi. Rumah ini sangat asing baginya. "Untuk menjodohkan kamu, Faiz. Kamu kan, sudah setuju untuk dijodohkan," jawab Ilham dengan tegas. Supaya anaknya itu paham maksud dari tujuan mereka datang ke rumah ini. "Tapi gak secepatnya ini juga Pa. Baru aja tadi malam aku bilang setuju. Tapi bukan secepat ini juga Papa bawa aku menemui wanita itu," protes Faiz tidak terima dengan keputusan orang tuanya. Pria dingin ini kesal pada Papa-nya yang terlalu mendesaknya untuk segera menikah. Padahal ia belum siap untuk menikah lagi. Ia belum bisa menerima wanita lain dalam hidupnya. Ia masih trauma. Dan ia juga belum mau menjalin hubungan dengan wanita manapun. "Diam kamu! Turuti aja keinginan Papa. Kamu gak kasihan apa sama anak kamu," ucap Ilham menegaskan anaknya yang susah sekali untuk menerima keputusannya. Lagi, alasannya soal anak. Faiz menghela nafasnya kasar. Ia melirik anak yang dalam gandengannya saat ini, lalu ia melarikan pandangannya pada papanya lagi. "Terserah Pa, percuma juga Faiz ngomong. Gak bakal Papa dengar," katanya pasrah. Ia capek berdebat dengan orang tuanya itu. Ia juga tidak didengarkan jadi buat apa juga ia buang-buang tenaga untuk beradu mulut dengan papa-nya itu. Ilham pun tidak berdebat dengan Faiz lagi. Ia mulai mengetuk pintu dan mengucapkan salam. "Assalamualaikum," ucapnya. Ia datang ke rumah ber-cat abu-abu ini untuk bertamu dengan membawa istrinya, anaknya, dan cucunya. Bertamu dengan bermaksud untuk menjalin hubungan silaturahmi yang lebih dekat lagi dengan menjodohkan anaknya dengan anak si pemilik rumah. Hari ini Faiz kesal sekali. Ia terpaksa menerima keinginan orang tuanya untuk datang di rumah yang entah milik siapa, Faiz tidak tahu. Namun ia tahu pemilik rumah itu pasti kenalan orang tuanya. Dan pasti di dalam rumah itu ada sosok wanita yang akan dijodohkan dengannya. Sangat mengesalkan. Keadaan sekarang ini membuatnya frustasi. Ingin ia marah tapi ia sekarang berada di tempat yang tidak tepat untuk meluapkan segala rasa amarahnya. Ia hanya bisa menahan rasa marahnya itu. "Waalaikumsalam," jawab Hasan selaku pemilik rumah sambil membukakan pintu. Hasan langsung melirik tamu yang datang pagi-pagi ke rumahnya. Tamu itu melempar senyum padanya dengan ramah dan Hasan pun membalas senyuman itu. Hanya satu yang tidak tersenyum pada Hasan. Tidak lain orang itu adalah Faiz. Ekspresi wajah pemuda itu hanya datar lalu menundukkan kepala. "Mari masuk," tawar Hasan mempersilakan para tamunya untuk masuk ke dalam rumah. Para tamu itupun masuk ke dalam rumah Hasan. Mulai dari Ilham, lalu seorang wanita berhijab yang selaku istrinya. Dan kemudian seorang pemuda bernama Faiz yang berkemeja putih dengan menggandeng seorang anak kecil yang menyusul masuk ke dalam rumah. "Silakan duduk." Hasan berucap ramah saat sudah sampai di ruang tamu. "Iya," balas Ilham. Hasan mendudukkan dirinya dan keempat tamunya juga mendudukkan diri mereka di sofa ruang tamu. Ketika semua sudah duduk tenang. Hasan baru berbicara lagi. "Ada apa ni Ham, datang sepagi ini? Bawa keluarga besar juga kayanya ni," kata Hasan memulai obrolan untuk mencairkan suasana. Ia mempertanyakan maksud dari kedatangan para tamunya yang datang sepagi ini ke rumahnya. "Langsung saja, maksudku datang kemari ingin melamar anakmu San, untuk putraku Faiz," ucap Ilham to the point. Ia tidak mau berbicara panjang lebar. Ia langsung saja mengatakan tujuannya datang ke rumah Hasan. "Tidak basa-basi dulu kau ini Ham," kata Hasan. Ia teman lamanya Ilham. Teman semasa kuliah dulu. Mereka sangat akrab dan bersahabat baik. Walaupun mereka kini bukan anak kuliahan lagi namun mereka tetap menjalin silaturahmi agar hubungan pertemanan mereka tidak terputus. "Tidak usah basa-basi lagi. Mumpung anakku mau, nanti kalau kelamaan dia berubah pikiran. Repot urusannya," ucap Ilham sambil menepuk pundak putranya. Faiz menunduk saja. Papa-nya kini mempermalukannya. Itu sangat menyebalkan baginya. Papa-nya berucap terlalu jujur hingga membuatnya merasa malu. "Haha, bisa saja kau ini." Terkekeh Hasan. "Gimana, aku tau kau punya anak gadis San. Aku mau anak kita menikah. Kau mau, kan?" Ilham langsung saja berucap demikian. Agar pembicaraan langsung ke inti. "Tenang Ham, sabar-sabar dulu. Aku ingin tau dulu tentang anakmu." Hasan tidak mau terburu-buru. Ia tidak segampang itu untuk menjadikan seorang pria menjadi pendamping anaknya kelak. Ia harus tahu dulu siapa pria itu dan lain sebagainya. "Kau tanya langsung saja pada dia. Dia sudah cukup dewasa untuk mempersunting anakmu," ucap Ilham. "Gimana Faiz, kamu serius mau melamar anak Om?" tanya Hasan langsung pada putranya Ilham. Faiz awalnya diam saja sebelum tangan mamanya mencubit perutnya. Ia pun jadi mengangguk terpaksa. "Iya, Om," katanya. Kalau bukan karena keterpaksaan Faiz tidak akan mengatakan hal tersebut. Ia belum ingin menikah. Ini semua hanya semata-mata karena dorongan orang tuanya yang memintanya untuk memiliki pendamping dan untuk memberikan seorang ibu untuk anaknya. "Tapi, om tidak bisa langsung memutuskan. Om baru mengenal kamu. Ya walaupun kamu anaknya Ilham. Tapi Om tidak tahu seluk beluk tentang kamu. Om dan papa kamu memang berteman. Tapi kami tidak pernah berbincang tentang anak. Jadi kamu bisa menjelaskan sendiri tentang diri kamu," ucap Hasan. Bukan ia memilih-milih menantu. Namun masalahnya ia tidak sembarangan untuk memilihkan jodoh untuk anaknya. Ini soal masa depan putri satu-satunya. Jadi, ia harus benar-benar memastikan pantas atau tidaknya seorang laki-laki untuk menjadi pasangan anaknya. Meski Faiz anak dari temannya. Namun bukan berarti Faiz mudah untuk mendapatkan putrinya. "Emm..." Faiz bingung mau memperkenalkan dirinya darimana dulu. Untuk berbicara saja ia malas apalagi menjelaskan tentang dirinya. Sangat membuatnya jenuh berada di posisi saat ini. "Faiz ini putra sulungku, San. Usianya 24 tahun. Dia seorang dokter. Aku pastikan dia akan menjadi seorang suami yang selalu mendampingi istrinya nanti. Faiz ini anaknya baik. Tenang saja, dia tidak akan berani macam-macam." Ilham memberikan penjelasan tentang anaknya itu. Melihat gerik Faiz yang tampak tak mau berbicara maka biar ia saja yang menjelaskan. Ilham dapat menebak Hasan tidak akan segampang itu untuk menerima putranya sebagai menantu. Karena Hasan bukanlah orang sembarangan. Hasan itu seorang tokoh agama yang terpandang. Maka dari itu sudah dapat dipastikan beliau akan memilihkan jodoh yang terbaik untuk anaknya. "Jadi anakmu ini dokter, Ham. Baru tau ada dokter setampan anakmu ini," kata Hasan. "Iya dia dokter. Tidak sepertiku yang pengusaha," balas Ilham. "Gak nurun berarti. Hahaha," tawan Hasan. Ilham juga ikut tertawa. Faiz hanya diam sambil melirik kedua pria tua yang masih bugar diusianya yang mungkin kepala 5. Tidak ada yang lucu bagi seorang Faiz yang bertampang dingin ini. Jadi untuk apa ia ikutan tertawa. "Kalau boleh om tahu, kamu keberatan tidak dijodohkan dengan anak Om?" tanya Hasan ke Faiz. Pertanyaan yang berhasil membuat jantung Faiz tiba-tiba berdebar-debar. Pertanyaan itu cukup berat dan pasti tidak akan ia jawab dengan kejujuran hatinya. Jika ia jawab jujur ia dapat menebak pasti suasana yang tenang ini akan berubah kacau. "Emm, enggak," jawab Faiz jelas-jelas berbohong. "Benar? Emangnya kamu sudah kenal anak Om?" Faiz menggeleng. Mana ia kenal. Dengan pria yang mengajaknya berbicara ini saja ia tidak kenal. Mungkin anak dari orang tua ini juga tidak ia kenali. "Terus kenapa kamu mau dijodohkan sama orang tua kamu? Padahal kamu gak tau anak Om seperti apa." "Demi kebaikan, apa salahnya jika saya ingin menikahi anak Om. Walaupun saya gak tau anak Om seperti apa, tapi saya yakin anak Om pasti gadis yang baik," jawab Faiz. Ia bilang begitu lagi-lagi karena orang tuanya. Biar orang tuanya senang dan supaya pria tua di depannya ini yakin dengan ucapannya. "Benar juga yang dikatakan anakmu ini, Ham. Cara bicaranya aku suka," puji Hasan. "Aku tidak seperti yang kau kira Pak tua," ucap Faiz dalam hati. Karena ia sedang kesal saat ini maka ucapannya itupun cukup kasar jika di dengar oleh orang-orang. "Syukurlah jika kau suka, San," kata Ilham. "Tumben Faiz berbicara seperti itu," bisik Khadijah ke Ilham. "Mungkin dia sudah sadar kalau dia harus menikah," balas Ilham berbisik ke istrinya. "Faiz ini statusnya apa, Ham?" tanya Hasan. Melihat anak kecil yang lengket dengan Faiz membuat Hasan curiga. Faiz merundukkan kepalanya. Ilham pun mengusap punggung Faiz. Ia tahu putranya saat ini pasti tak nyaman dengan pertanyaan itu. Berat memang untuk Faiz yang masih muda tapi menanggung beban hidup yang besar. Apalagi masalah statusnya yang kadang membuatnya berbeda. Ia tidak bisa bersenang-senang menikmati masa muda dengan teman, sahabat, dan orang yang spesial. Ia hanya seorang ayah muda yang membesarkan anaknya seorang diri tanpa pendamping. Menjadi orang tua tunggal tidaklah gampang. Beruntung ia masih memiliki kedua orang tua dan adik perempuan. Jadi bebannya tidak terlalu berat karena dapat support dan bantuan dari keluarganya itu. "Jujur saja. Faiz ini sudah pernah menikah sebelumnya. Selesai tamat sekolah dia memutuskan menikah dengan pacarnya. Genap 1 tahun pernikahannya, istrinya meninggal karena mengalami pendarahan saat melahirkan. Dan ini Noah, anaknya," jelas Ilham yang kini mengusap kepala cucunya. "Halo Kek, aku Noah. Aku anak Ayah Faiz. Aku di sekolah sering dapat hadiah lho, Kek. Oma dan Opa bilang aku ini anak pintar, Kakek mau ya, jadi Kakek aku," sapa Noah dengan ramah kepada Hasan. Ia melempar senyum ceria pada Hasan. Anak itu memang pandai mencuri perhatian. Hasan pun memberikan balasan senyuman untuk Noah. Lalu melarikan pandangannya ke Ilham lagi. "Jadi, Faiz ini du-" "Iya, dia seorang duda," ucap Ilham memotong perkataan Hasan yang belum sempat terselesaikan. Ia tahu arah pembicaraan Hasan. Makanya ia langsung menjelaskan sendiri tentang status putranya yang seorang duda itu. Hasan jadi diam setelah tahu Faiz berstatus seorang duda. Ruang tamu yang tadinya riuh kini jadi hening. Semuanya pada diam membisu sebelum Ilham kembali membuka suara. "Jika keberatan dengan status Faiz, aku akan membatalkan niat untuk melamar anakmu, San," ucap Ilham jadi pesimis. "Iya, tidak apa-apa kok. Jika tidak menerima status anak kami ini. Setidaknya kami sudah mencoba meskipun ditolak," timbal Khadijah, istrinya Ilham. Wajah Noah seketika bersedih dan ia langsung memeluk Ayahnya, alias Faiz. "Ayah, Noah mau punya bunda," ucapnya lirih. Faiz diam saja tanpa memberikan respon apapun pada anaknya. "Noah mau, Ayah diterima. Please ... Ayah," ucap Noah memohon. Sikap seorang ayah keluar dari diri Faiz. Ia pun mengelus punggung anaknya untuk menenangkan putranya itu. Walau tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk menguatkan anaknya yang sedang bersedih itu. Noah meneteskan air matanya. Faiz melihat hal itu dan ia cepat mengusap air mata Noah. "Jangan nangis," ucapnya singkat disela menghapus air mata Noah. Ilham dan Khadijah ikut berusaha menenangkan Noah tapi Noah tak berhenti menangis. Malah anak kecil itu terus menangis histeris sampai membuat Hasan gak tega melihatnya. "Noah, jangan sedih, oke," ucap Ilham sembari mengusap kepala Noah. "Hiks ... hiks ... Noah mau punya bunda. Noah mau bunda." Noah meronta lalu memeluk Faiz erat-erat. Hal seperti inilah yang kadang membuat Faiz ingin murka akan sikap anak manjanya itu. Ia memang terkadang kesal dengan sikap Noah yang seperti saat ini. Sikap Noah membuatnya frustasi. Anaknya itu juga sama seperti orang tuanya yang terlalu menuntut pada suatu hal yang tidak ia inginkan. Anak dan orang tuanya benar-benar tidak mengerti dirinya. "Noah, tenang ya, Nak," ucap Khadijah menenangkan cucunya. "Oma, Noah mau bunda ... hiks ..." Faiz benar-benar jadi tidak enak dengan pemilik rumah. Noah kini menangis sejadi-jadinya. Suasana kacau dibuat anak cengengnya itu. Tidak ingin terus mengganggu yang lain. Faiz lalu berdiri dan menggendong Noah. "Saya permisi sebentar ya, Om," pamit Faiz pada Hasan dengan membawa Noah. Ia sebaiknya pergi saja daripada ruang tamu jadi berisik karena suara tangisan Noah. Hasan mengangguk. Faiz membawa Noah ke luar rumah. Sampai di luar, dengan keadaan menggendong Noah, Faiz mengusap-usap punggung dan kepala Noah untuk menenangkan Noah. Walaupun awalnya Noah tetap saja tidak berhenti menangis. Namun kelama-lamaan suara anaknya itu mulai tak terdengar menangis lagi. Akhirnya Noah diam dan hanya tinggal sesegukan. Mungkin anaknya itu sudah lelah menangis dan syukurlah kini Noah akhirnya terdiam. Faiz pun bisa bernafas lega sekarang. Di sisi lain. Hasan jadi kasihan melihat Faiz yang masih muda tapi sudah menjalani kehidupan yang pastinya berat. Mengurus seorang anak tanpa ditemani seorang istri. Padahal diusianya baru 24 tahun. Namun, sudah menjalani kehidupan yang sulit. Pasti sangat susah merawat seorang anak tanpa ibunya. Hasan juga mengalami hal sama seperti Faiz. Tapi ia ditinggalkan istrinya tidak semuda Faiz. Istrinya baru meninggal 2 tahun lalu. Dan usianya saat itu sudah 52 tahun. Meski begitu ia cukup merasa sulit untuk menjalankan kehidupannya tanpa pendamping. Apalagi melihat Faiz yang usia 24 sudah ditinggal seorang istri dan harus merawat seorang putra yang masih kecil. Sungguh kasihan. Hasan jadi gak tega jika menolak lamaran pemuda itu. Ia merasa iba melihat Faiz dan rasa ingin membantu pria itu. Apa sebaiknya ia terima saja lamarannya? Tapi apa itu langkah yang baik? Hasan masih ragu tapi entah kenapa dalam hatinya yakin untuk menerima pemuda itu untuk dijadikan menantunya. Apa ia turuti saja kata hatinya itu? "Begitulah Noah kalau di rumah. Setiap malam biasanya menangis terus kerjaannya. Apalagi waktu dia pulang sekolah. Langsung menangis histeris dan minta ketemu sama ayahnya. Padahal ayahnya masih kerja. Susahnya lagi, cucu kami itu gak mau sama siapa-siapa. Dia cuma mau sama ayahnya. Jadi saya selaku opanya dan istri saya gak bisa menenangkan dia," ujar Ilham berterus terang. Ia bercerita dengan sejujurnya. Tidak ada yang ia tutup-tutupi. Jujur itu hal yang baik. Supaya Hasan pun tahu keadaan yang sebenarnya. "Saya salut sama Faiz. Saya yakin dia anak yang tegar dan sangat baik. Insyaallah saya terima lamaran Faiz jika anakku menyetujuinya." Hasan sudah bertekad ia mau menerima lamaran Faiz. Ia sudah memutuskan dan keputusannya itu diambil dari kata hatinya. Ia mengikuti isi hatinya yang memang dari awal ingin menerima lamaran Faiz. Ilham dan Khadijah tersenyum bahagia mendengar perkataan Hasan barusan. Mereka berdua mengucap syukur dalam hati. "Benarkah kau menerima lamaran anak kami? Meski Faiz sudah pernah menikah sebelumnya dan dia memiliki seorang anak?" tanya Ilham memastikan lagi. Ia senang mendengar Hasan menerima lamaran anaknya. Namun ia takut salah dengar dan ia mempertanyakan lagi untuk lebih memastikan. "Status tidak masalah. Melihat Faiz yang sangat perhatian sama anaknya. Dia juga terlihat laki-laki yang sangat bertanggung jawab sebagai seorang ayah. Aku yakin, Faiz bisa menjadi menantu yang baik. Dia terlihat lelaki yang hebat, sepertimu Ham. Dan aku setuju dia menjadi pendamping anakku," jawab Hasan dengan mantap. Ilham dan Khadijah langsung tersenyum bersamaan dan saling melihat satu sama lain. "Syukurlah, terima kasih San. Aku tidak tau lagi mau mengucapkan apa. Kau memang teman yang baik," ucap Ilham senang sembari menjabat tangan Hasan. "Iya sama-sama," balas Hasan. "Kalau begitu, aku permisi dulu. Mau menemui anakku," pamit Hasan ingin beranjak. Ia ingin segera memberitahukan kabar ini kepada anaknya. Semoga saja anaknya itu setuju dengan keputusannya. "Baiklah," ujar Ilham. Hasan pun berlalu pergi menemui putrinya untuk memberi kabar yang membahagiakan ini. Akhirnya putrinya itu ada yang melamarnya. Semoga saja putrinya menerima lamaran tersebut. Ia sudah tidak sabar melihat putrinya menikah dan ia juga ingin segera meminang cucu. Ia senang sekali. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD