Chapter 1

1155 Words
Bel sekolah akhirnya berbunyi, saat beberapa jam pelajaran pertama berada di penghujungnya dan diikuti hamburan murid-murid keluar dari kelasnya masing-masing. Termasuk Sino, sambil sebuah headphone berukuran besar dengan warna yang benar-benar mencolok sebelumnya terpasang di kepalanya dan kini dia kalungkan di lehernya, dengan langkahnya yang santai dia menuju lorong loker untuk menyimpan buku-bukunya. Gemuruh mengisi lorong, murid-murid saling berbicara ria atau entah bergosip dengan berbagai bahan pembicaraan menyelingi. Tawa terdengar hampir setiap detiknya di setiap sisi, tetapi hanya Sino saja yang diam. Tak berbicara ataupun diajak bicara. Sampai setidaknya 15 detik setelah dia akhirnya bisa menutup lokernya dan seseorang dengan rambut lebat dan panjang datang menghampiriya. “Hei! Bagaimana kelasmu?!” Sino tidak menggubris, malah memilih berjalan meninggalkan tempatnya, tetapi remaja itu terus mengikut dan menunggu Sino membalasnya. Walaupun kenyataannya tidak ada kalimat apapun yang diucapkan sepanjang jalan mereka. “Hei … soal malam prom itu, kau sudah punya pasangan?” “Sully, untuk terakhir kalinya aku tidak tertarik mengikuti kebodohan yang seperti itu.” Suara yang begitu datar dan pelan akhirnya bisa dikeluarkan Sino, meskipun dari tatanan katanya begitu tersusun dingin. Namun, remaja dengan nama Sully itu tidak berpikir demikian, malah masih terus memaksa Sino dan mengajaknya berbicara. “Ayolah! Aku sudah mengajak Kimmy dan tidak mungkin meninggalkanmu sendirian di pojok makanan sambil mengunyah keju lapis. Kau setidaknya harus mencari seseorang, mungkin Tanya cocok denganmu.” Lagi-lagi Sino tak membalas apapun, dan Sully terus berceloteh panjang hingga jalannya sekarang menjadi mundur. Sampai akhirnya tetiba saja Sino menarik kerah Sully begitu saja dan menghentikan semua ucapannya. Untuk beberapa detik di awal Sully tak mengerti dengan yang terjadi dan meyakini tak ada yang salah dari bicaranya. Bahkan dia sangat tahu itu pertama kalinya Sino menarik tubuhnya sampai sekeras itu. “Hei … Mrs. Angela.” Hingga Sino menyapa seseorang yang ternyata ada di belakang Sully. Dia berbalik dan menemukan seorang wanita dengan setelah baju bergaris-garis dan sebuah name tag tertulis psikolog sekolah di d**a kanannya. “Hei Sino, dan Sully. Sebaiknya jangan berjalan mundur terlalu lama atau kau akan menabrak seseorang.” “Ouh, Mrs. Angela. Maaf aku tak memperhatikan,” ucap Sully malu-malu. “Tidak masalah, dan Sino, bisa kau mengatakan ke ayahmu kalau pertemuan antara psikolog dan orangtua paling lambat diikuti Kamis nanti. Kuharap kau bisa mengabari ayahmu lagi soal itu.” Guru itu pergi meninggalkan mereka berdua, dan Sully memperbaiki bagian kerahnya yang baru saja dilepas Sino. “Seharusnya kau cukup mengatakan kalau Mrs. Angela ada di belakangku.” “Sama-sama,” balas Sino. “Ngomong-ngomong bisa kau bantu aku soal pertemuan itu?” “Ya, tentu. Jika butuh sesuatu, panggil saja Sully,” ujarnya dengan nada percaya diri. “Tapi apa kau yakin tidak mau memberi tahu ayahmu saja?” “Dia tidak akan datang, bahkan jika aku mau. Dan aku juga tidak mau.” Sino lalu meneruskan langkahnya. Kali ini Sully tidak mengikuti, tetapi sempat berpikir kemana Sino akan pergi. “Kau tidak mau makan?!” tanya Sully dengan suara sedikit naik, tetapi lagi-lagi tak ada balasan apapun dari Sino hingga akhirnya dia menghilang dari jarak pandang. Sully hanya berkacak pinggang menatap remaja dengan sikap datar dan dingin itu. Sully tak bisa terlalu menghakimi sifatnya yang seperti itu, dia tahu apa yang sudah Sino lalui. Berteman sejak sekolah menengah pertama dan dia mengenal anak itu sebagai remaja periang, ambisius, dan kaya raya, tetapi karena sebuah masalah dia berubah sepenuhnya dari pendiam dan hemat bicara. Tak khayal hampir satu sekolah tak ingin mengajaknya berbicara, kecuali Sully seorang. Sully menghela nafas pendek membayangkan kembali Sino. Kemudian bergegas pergi menuju kantin sekolah untuk secepatnya mendapatkan makanan yang bisa mengisi perut kelaparannya. ~~~ Springfield termasuk kota yang padat di negara bagian Ohio, dalam statistik terakhir menunjukkan ada sebanyak 58.000 lebih jiwa yang hidup di daratan seluas 60 km persegi tersebut. Namun, lalu lintasnya hampir selalu normal dan tidak pernah ada kemacetan yang menumpuk. Sino juga dapat menyetir mobilnya tanpa hambatan, jikalau pun ada yang menganggunya, itu hanya lampu merah yang menyala selama 1 menit 30 detik atau wanita-wanita yang telah berusia lanjut tetapi terus menggoda orang-orang kaya, seperti Sino dengan mobil mewah miliknya yang tidak semua orang bisa memilikinya, bahkan dalam skala Amerika Serikat. Mengisi perjalanan untuk segera menuju kediamannya, tangan Sino bergerak ke pemutar musik dan mengalihkannya ke mode radio. Gemersik terdengar di sekian detik sebelum kemudian satu stasiun berhasil ditemukan. “Hey yo! WINF Local FM menyapa kalian semua sore ini. Tones And I, berhasil mendapatkan ketenaran di seluruh dunia dengan lagu keduanya, kini hadir dengan lagu terbarunya yang menceritakan tentang kesendirian seseorang di keramaian. Bagaimana rasa tak nyaman mengisi di antara pembicaraan orang-orang dan akhirnya membuat kita pergi menjauh. Untuk itu, kita akan mendengarkan bersama-sama ….” Suara penyiar itu perlahan-lahan mulai terganti ke alunan musik pop dari penyayi asal Australia tersebut. Sino bukan tipe orang yang suka ataupun bisa menyanyi, hanya suka mendengarkan dan sesekali tanpa sadar akan bersenandung begitu saja. Ponselnya berdering di kompartemen mobil, Sino segera mengambilnya dan memeriksa. Sebuah panggilan masuk dari sahabatnya yang saat sebelum pulang sekolah dia temui. Tanpa memelankan suara musiknya, Sino mengangkat panggilan itu. “Kenapa kau menelponku?” “Apa kau sibuk Selasa nanti? Ayahku dalam urusan bisnis. Mungkin kau mau bersenang-senang.” “Akan kupikirkan,” balas Sino langsung. “Baiklah, akan kukabari lagi nanti. Ngomong-ngomong, aku sudah berbicara pada Kimmy soal malam prom sekolah, dan dia bilang kalau Sasha--.” Panggilan itu langsung ditutup sebelum Sully selesai, lalu dengan asal dia lemparkan ponsel itu ke kursi sebelahnya yang kosong. Sino tak ingin mendengarkan sisanya dan memilih untuk kembali fokus ke jalanan. Ponselnya masih menyala sebentar, menampilkan wallpaper hitam dengan sebuah tulisan di atasnya. PONSEL INI MILIK SINO SIAPAPUN DILARANG MENYENTUHNYA TENTU SAJA, KECUALI KAU, SINO Sampai beberapa detik kemudian akhirnya menjadi hitam sepenuhnya, dan di saat berssamaan lagunya sudah selesai diputar, dia juga tiba di lingkungan tempat tinggalnya. Mobilnya perlahan berbelok ke salah satu rumah dengan ukuran yang lebih besar daripada rumah-rumah lainnya. Halamannya begitu bersih meski masih terdapat dekorasi dari Hallowen tahun lalu yang tidak pernah dilepaskan. Mengingat juga sekarang sudah Oktober. Sino masuk ke rumahnya, berjalan santai menuju tangga lantai dua. Masih di ujung tangga dia melihat sesosok pria yang terduduk di meja makan, menyantap kue pai, segelas kopi panas, dan sebuah gadget yang menampilkan deretan kalimat-kalimat acak yang Sino tak ingin mengerti apa maksudnya. Dia tak ingin mengganggu orang itu, dan juga sepertinya tak menggubris Sino meski tahu dia masuk ke sana. Sino terus naik menuju kamarnya, saat masuk ke sana dengan dindingnya yang serba biru itu dia segera melemparkan tasnya ke atas kasur, melepaskan semua pakaian yang menutupi tubuhnya dan segera masuk ke kamar mandi. Air dia nyalakan dan atur suhunya agar pas. Seluruhnya tubuhnya dari atas hingga bawah mulai basah. Namun, Sino hanya terdiam di sana, menunduk ke arah bawah menatap air-air itu mengalir turun ke arah pembuangannya. Nafasnya naik turun dalam tempo yang lambat, dan kepalanya tanpa alasan yang jelas tiba-tiba saja memikirkan sesuatu. ~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD