Chapter 2

1710 Words
Sino keluar dari kamarnya dengan setelan baju yang berbeda. Jaket vest merah yang sebenarnya lebih cocok digunakan saat musim dingin sudah tiba. Saat sudah sampai di bawah, dia segera ke meja makan untuk sarapan paginya. Melihat ada banyak menu di atas sana. Roti yang baru saja matang dari pemanggangnya, telur mata sapi, daging asap, dan minuman hangat yang memang cocok untuk pagi hari. Sino tak berbicara apapun soal itu, melainkan langsung mengambil piring dan menyantap masing-masing satu makanan yang ada dengan tenang dan cepat. Benar-benar cepat hingga dia selesai dalam lima menit saja. s**u hangatnya bahkan habis dalam sekali teguk. Dia kemudian berdiri untuk segera pergi “Aku berangkat …,” ucapnya, ke arah pria yang pemandangannya tidak jauh berbeda saat Sino tiba pulang dari sekolah kemarin. Duduk di hadapan Sini, sibuk dengan garpu waffle di tangan kanan dan cangkir kopi di tangan kiri, tetapi tatapannya hampir tak berpaling ke arah gadget yang ada di hadapannya. “Ya, hati-hati di jalan,” balas pria itu tanpa melihat lawan bicaranya, Sino pun tak mempermasalahkannya sama sekali. ~~~ Terdapat satu orang pria yang dikabarkan menjadi orang paling sukses di kawasan Springfield, hidup di sebuah kompleks perumahan yang mewah, dan di antara semua rumah dia mempunya properti yang paling besar. Berasal dari latar belakangnya sebagai seorang pengusaha, hidupnya kini penuh dengan kekayaan atas kerja kerasnya. Orang-orang sekitar mungkin mengenalnya tertutup, entah karena kesibukannya ataukah memang sedang malas untuk bersosialisasi dengan tetangga-tetangganya. Namun, satu hal yang pasti mereka sering melihat anak tunggalnya keluar dari sana, menggunakan mobil mahal yang diberikan oleh ayahnya untuk pergi ke sekolah. Menjadi bukti lain kekayaan keluarga itu. Sino Robert, anak dari pria tersebut. Berstatus sebagai seorang murid di SMU Springfield, dan sama seperti ayahnya, dia dengan mudah dikenali oleh satu sekolah. Namun, yang berbeda adalah bukan karena kekayaan ayahnya atau dari keluarga mana dia berasal, melainkan sifatnya yang pendiam dan terlihat tak perduli dengan apapun yang ada di sekitarnya. Salah satu yang cukup mengagetkan orang-orang adalah saat seseorang tiba-tiba saja terjatuh di dekat Sino saat penggelaran sebuah event di gym sekolah, dan Sino hanya bergeming di tempatnya sementara orang-orang lain bahkan yang lumayan jauh dari sana sudah berteriak ketakutan mengetahui ada darah yang keluar dari kepala. Kejadian yang pada akhirnya hanya membuat Sino dikenal sebagaimana sekarang, dan hampir tak ada yang benar-benar mau menjadi temannya, atau sekedar mengajaknya berbicara. Kecuali satu orang, seorang remaja laki-laki dengan rambut panjang dan pirang, Sully. Hanya saja sifat mereka berdua benar-benar bertolak belakang. Sully adalah remaja yang supel dan berisik, benar-benar cerewet sehingga hanya suaranya yang akan kedengaran ketika dia berjalan dengan Sino yang lebih sering merespon dengan anggukan ataupun kalimat singkat yang diucapkan dengan datar. Membuat banyak orang akhirnya kebingungan bagaimana mereka bisa berteman dengan baik. Sebuah rumor kemudian beredar kalau Sully sengaja mendekati remaja itu karena uang. Namun, Sino lebih memilih untuk menghiraukan hal tersebut, sementara Sully mencoba untuk melakukan hal yang sama meski pada awalnya dia mencoba untuk menghajar siapapun yang menyebarkan berita aneh itu. Jawaban atas rumor itu mulai terkuak saat diketahui mereka memang sudah berteman sejak masih sekolah dasar. Rumor yang berbeda juga mulai berdatangan, katanya dulu Sino bukanlah seperti sekarang. Dia lebih banyak bicara, aktif, dan ambisius. Hingga mendekati waktu kelulusannya di sekolah dasar, Sino tiba-tiba saja berubah. Wajahnya hampir tak memiliki ekspresi setiap saat, tak mempunyai semangat lagi yang lebih, dan seolah melakukan sesuatu tanpa peduli makna atau tujuannya. Mungkin Sully mengetahui hal tersebut, tetapi dia sama sekali tak pernah membicarakan bagaimana perubahan sikap ataupun alasan perubahan itu terjadi pada Sino. Beberapa murid-murid sekolah juga berpikir kalau memang hanya dia seorang saja yang mampu memahami remaja pendiam itu. Sehingga akhirnya tak ada satupun yang mau bergabung dengan kelompok kecilnya. “Aku selalu ingat saat pertama kali makan kacang polong, rasanya sangat tidak enak.” Saat makan di kantin sekolah, keduanya selalu memilih sebuah meja yang benar-benar kosong, dan tidak akan ada yang mau duduk bersama dengan mereka. “Ya, aku bisa melihatnya dari sini,” balas Sino, melihat Sully mengambil mangkuk kacang polong di nampannya. "Bagaimana dengan kelas biologimu? Aku dengar kau disuruh membedah tikus dan semuanya selesai dalam setengah jam pelajaran. Jadi sekarang kau seorang psiko?" Beberapa melihat, beberapa lagi menghiraukan. Mereka semua bertanya-tanya bagaimana rasanya menghabiskan waktu sekolah dengan seorang remaja yang seolah tak memiliki ekspresi pasti itu. ~~~ Sebuah mobil dengan warnanya yang merah menyala berhenti sempurna tepat di hadapan sebuah gerbang masuk sekolah. Seorang anak kecil dengan topi pet di kepalanya keluar dengan cepat, sebelum itu dia melambaikan tangan dengan seseorang yang telah mengantarnya. "Dah!" "Dah, Sino!" Sino--yang saat itu masih delapan tahun--berjalan masuk ke sekolahnya dengan kaki melompat-lompat. "Hei, Sino!" Laki-laki lain seumuran langsung berlari ke arahnya lalu merangkul Sino satu tangan dengan erat. "Sully!" balas Sino sama semangatnya. Lalu melakukan salaman pertemanan rahasia mereka yang membingungkan. Kemudian, kembali saling merangkul. "Kulihat kau sudah memecat sopir pribadimu?" "Tentu saja tidak, kebetulan saja hari ini ayahku ingin mengantarku ke sekolah," jawab Sino sedikit terkekeh. "Kehidupan orang kaya memang tidak pernah kupahami ... aku sangat ingin di antar dengan mobil mahal seperti itu," curhat Sully sedikit bernada cemburu. "Aku bisa meminta ayahku untuk menjemputmu kalau kau mau, kita bisa ke sekolah sama-sama." "Wow, benarkah? Terima kasih, Sino!" Saat di tengah lorong, mereka kemudian berpisah karena kelas yang berbeda di pagi hari. Setelah saling melambai, Sino berbelok untuk memasuki kelas seni dan Sully yang akan mengambil kelas sains berjalan lurus ke depan, tetapi di tengah perjalanannya, dia langsung diadang tiga orang yang salah satunya berpostur tinggi. "Um ... hai?" ucap Sully kikuk. Dengan wajah yang sudah berubah pasrah, Sully hanya bisa terdiam ketika tiga orang yang dikenalnya sebagai pembawa masalah itu tersenyum jahat padanya. Lalu salah satu dari mereka kemudian berlari ke arahnya dengan cepat. Sementara Sino yang baru saja bisa mengambil tempat duduknya langsung terkacau fokusnya begitu ponsel di sakunya berbunyi. Begitu dia ambil, mata Sino seketika terbelalak membaca isi pesan singkat yang masuk. ‘Temui kami di atas atap sekolah dan jangan lupa tebusannya. Aku tidak memaksa tetapi Sully sepertinya terlalu banyak bicara.’ Sino tanpa pikir panjang langsung berdiri dari duduknya yang sebenarnya sudah menunggu kedatangan guru, tetapi dia tahu orang yang mengirimkannya pesan itu adalah manusia paling nekat yang pernah dia kenal di seluruh Ohio. Sino tak sedikitpun memelankan kakinya menuju ke atap sekolahnya, saat sudah ada di tangga dia kembali mendapatkan pesan berupa foto yang memperlihatkan Sully akan dijatuhkan dari atas dengan tambahan caption dua buah emoticon jam dinding. Sino menjadi semakin mempercepat lajunya. Ketika akhirnya sampai, Sino bisa langsung menemukan ketiga orang itu dan Sully yang ditahan. "Sino!" teriak Sully. "Hoi! Orang miskin!" sarkas Sino ke orang yang menahan Sully. "Lepaskan Sully!" "Apa kau membawanya?" tanya laki-laki dengan badan yang paling tinggi tadi. Sino kemudian mengambil sesuatu di kantongnya. Sebuah amplop hijau yang berbentuk katak Keropi. Lalu dengan kasar Sino melempar amplop itu ke tanah. Salah satu yang lain kemudian mengambilnya dan membuka isinya. Lanjut dia menatap orang yang menahan Sully dan mengangguk. "Baik ... lepaskan dia." Sully akhirnya dilepaskan dengan cara yang sama seperti Sino. Melemparnya juga sampai dia tersungkur. Lalu mereka meninggalkan Sino dan Sully sambil mengejek dan menyeringai. "Kau baik-baik saja?" tanya Sino setelah membantu Sully berdiri. "Maafkan aku, Sino. Karena aku, kau harus kehilangan uang," lirih Sully yang masih menunduk. "Aku juga minta maaf, sebenarnya Sam sudah mengancamku sejak minggu lalu, tetapi aku menghiraukannya. Namun, saat mereka bilang akan menggunakanmu aku langsung khawatir." "Ha? K--Kau khawatir padaku?" "Tentu saja, kau adalah temanku." Jawaban Sino membuat Sully tersenyum sendu. Dia sangat senang dan juga tidak enak, memiliki seorang teman sebaik Sino. "Terima kasih, jika kau juga butuh bantuan hubungi saja aku. Aku akan menolongmu." "Tentu saja! Ayo kita masuk kelas. Mungkin sudah terlambat tujuh menit tetapi aku punya alasan yang baik." Ajak Sino dan diikuti Sully yang sebelum itu mengambil buku-bukunya yang tergeletak di atap sekolah. ~~~ Sino berdiri mematung di parkiran, menatap ban belakang mobil miliknya yang sudah lembek karena paku besar yang tertancap di sana. "Hoi!" Sampai suara teriakan yang diikuti berkali-kali bunyi klakson sama kuatnya membuat Sino membalikkan badan, menemukan tidak lain adalah Sully, memanggilnya dari dalam mobil. "Apa terjadi sesuatu?" Pertanyaannya tidak dijawab Sino. Melainkan hanya langsung masuk ke dalam mobil Sully dan terduduk begitu saja dengan menutup mata. Sully bisa langsung paham begitu melihat tempat Sino berdiri sebelumnya. "Ah ... Pasti sangat sulit. Apa kau sudah menghubungi montir atau semacamnya?" tanya Sully begitu mulai memundurkan mobilnya. "Belum, akan kuhubungi di rumah." “Baiklah, kali ini Sully adalah sopir pribadimu. Bagaimana dengan sedikit musik untuk perjalanan kita, Tuan muda?” Sedikit lelucon yang sama sekali tak membuat Sino tertawa, tetapi Sully yakin kalau dia menyukainya. Perjalanan mereka yang tenang kemudian benar-benar diisi dengan Sully mulai menyalakan radio mobilnya. Mulai menyetel beberapa lagu kesukaannya, yang sebenarnya juga beberapa lagu adalah favorit Sino. Sesekali Sully melihat ke arah samping, dan menemukan ada sedikit gerakan kepala yang dibuat Sino. Sesuatu yang mungkin hanya dia saja pernah melihatnya. Semenatar dia beberapa kali bersenandung mengikuti lirik lagu yang ada. Begitu perlajanan sepulu menit mereka berakhir, Sino langsung keluar dari mobil tanpa mengucapkan apa pun. Tak protes sedikitpun, Sully juga langsung pergi menancap cepat gasnya sembari meneruskan nyanyian kesukaannya. "Ouh, Sino?!" "Betty ...." Saat membuka pintu dia langsung bertemu dengan seorang wanita seumuran ayahnya, bertubuh sedikit gemuk yang sedang membawa sebuah panci. Sino bisa langsung paham kalau tetangganya ini kembali membawa masakan daging lezat yang resepnya hanya diketahui oleh dia seorang. "Selama malam, Sino. Aku pamit dulu." Betty langsung pergi setelah itu. Sino tidak membalas salamnya ataupun berbalik menatapnya keluar halaman rumah, hanya masuk terus masuk dan memang terlihat ada semangkuk besar daging yang telah matang di atas meja di ruang makan. Sebelumnya dia memilih naik ke kamarnya terlebih dahulu untuk mengganti pakaian, lalu kembali turun ke bawah. Di sana masih ada pria tadi pagi masih, sibuk menatap gawai yang sama. Sino hanya langsung duduk dan menyantap makanan buatan tetangganya. “Kau pulang terlambat hari ini. Apa ada sesuatu?” ucap pria itu, tetapi Sino sama sekali tak menanggapi, atau bahkan menatapnya. Hanya suara sendok dan mangkuk kacanya yang terdengar. “Aku akan kembali ke lusa nanti. Kuharap kau bisa pulang tepat waktu,” lanjut pria itu. Respons Sino masih sama. Dia hanya mengambil air minum setelah makanannya habis, dan naik kembali ke kamarnya meninggalkan ruang dapur. ~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD