Chapter 3

2237 Words
Kantin kembali penuh di jam makan siang ini, menjadi serbuan para siswa-siswa lapar setelah berjam-jam mereka duduk memperhatikan pelajaran sekolah yang beberapa sebenarnya tak mampu mereka pahami. Tak terkecuali Sino. Meski dengan perawakan yang sudah seperti hantu bagi murid-murid di sekitarnya, dia juga hampir setiap hari bersama teman baiknya, Sully pergi ke kantin sekolah dan menikmati makanan yang disediakan. Namun, berbeda dengan hari ini. Sino duduk di meja yang sama dengan kemarin, tetapi sendirian tanpa ada keberadaan Sully. "Mungkin mereka sedang bertengkar?" "Kurasa kedok Sully sudah terungkap." "Sino mungkin sudah kehabisan uang jadi Sully meninggalkannya." Begitulah bisik-bisik yang menyamak kantin siang ini. Tentu saja dia bisa mendengarnya, tetapi sekali lagi dia adalah Sino. Dia sama sekali tidak peduli dengan semua yang ada di sekitarnya. "H–Hei ...." Tak lama seorang gadis berambut panjang datang ke arah Sino. "B–Boleh aku duduk ... di sini ...?" sambungnya bertanya. Gadis itu tau kalau Sino pasti tidak akan memberinya respons. Dia juga kenal Sino dan sifat yang dimilikinya. Namun, sikapnya yang begitu dianggap si gadis sebagai jawaban ya, jadi dia duduk di sana saling berhadapan dengan Sino. "Kau suka kacang polong, yah? Aku sendiri tidak suka sayur jadi aku hanya mengambil nugget," ucapnya setelah melirik isi nampan Sino, mencoba membuat percakapan yang berjalan antaranya berjalan. "Hahaha ... bagaimana menurutmu kelas ekonomi? Ku dengar kau juga mengambilnya, kan? Menurutku sendiri sangat menyenangkan, karena aku juga suka uang." Namun, sejauh apa pun usaha gadis itu membawa percakapannya, Sino hanya menunduk dan makan. Tidak memperdulikan gadis di hadapannya itu. "Hanya aku saja atau Tina menyukai Sino?" bisik salah seorang di dekat mereka. "Gadis yang malang. Semoga Sino mendapat balasannya," sambung meja yang lain. "Um ... Sino, kudengar hari ini Sully sakit, jadi karena itu kau duduk sendirian, kan?" "Astaga, pergilah!" Sino langsung berteriak dengan kuat yang menarik semua perhatian seisi kantin. Karena mereka semua baru pertama kali melihatnya sampai berteriak seperti itu. "Tetapi aku hanya mencoba untuk--" "Apa yang kau inginkan? Uang? Aku bisa memberimu sebanyak yang kau mau, tetapi jangan ganggu aku!" tambah Sino sarkas. "Aku ke sini untuk mencoba akrab, dan juga untuk membahas soal proyek biologi, kita berdua satu kelompok!" balas gadis itu sama kuatnya. "Dan dengar saja yah, aku tidak suka caramu bicara! Dan aku juga tidak butuh uangmu!" Gadis bernama Tina itu pergi. Terlihat dia membuang makanannya ke tempat sampah dan berjalan ke luar kantin. Tidak jauh dari pintu keluar dia mempercepat langkahnya lalu menangis keras. Sekarang kekuatan gosip di kantin menjadi semakin kuat. Semua orang mulai membicarakan sifat buruk Sino yang baru saja mereka ketahui hari ini. "Aku kasihan pada Tina." "Mungkin jika Sully melihat ini dia akan marah dengan Sino." Sekali lagi, Sino tidak memperdulikannya. Dia tetap duduk sendirian sembari berusaha menghabiskan makanannya. Dia lebih merasa kasihan pada dirinya sendiri yang terasa sial sejak kemarin. Ban mobilnya kempis, lalu dia sendirian tanpa Sully, dan sekarang harus membentak seorang gadis baik yang dia anggap menganggu. Lalu pagi tadi, adalah yang terburuk bagi Sino. Saat masih menikmati sarapannya seperti biasa, dengan menu yang juga masih sama. "Sino ...." Pria yang selalu duduk di hadapannya itu memanggil. "Kau ingat temanmu yang mencuri jam tangan mahal milikku? Aku ingin kau benar-benar berhenti berteman dengannya sekarang." Sino tidak menggubrisnya. Dia masih saja makan. Sementara pria itu hanya bisa mengembuskan nafasnya melihat sifat Sino yang seperti ini. "Suruh juga dia berhenti meretas e-mailku. Kau tau kalau isinya adalah file penting perusahaan. Bagaimana kalau dia membocorkan atau menghapusnya tanpa sengaja?" Sekali lagi, Sino tidak meresponnya. Dia malah meminum s**u hangatnya dan kemudian berdiri untuk segera pergi. "Aku pergi dahulu ...," ucap Sino setelah itu. "Sino!" Merasa sudah sangat kesal pria itu akhirnya berteriak kencang. Suaranya menggelegar sampai mengisi seluruh ruang makan. Dia juga memukul meja sama kerasnya sampai kopinya yang sisa setengah jadi tumpah. "Berhenti bersikap seperti itu denganku! Aku adalah ayahmu dan kau harus mendengarkanku!" "Ayah ...?" Sino yang hanya membelakangi pria yang sebenarnya ayahnya itu memasang senyum tipis di wajahnya. "Ya ... aku bisa melihatnya dari sini." "Sino!" Sekali lagi dia menggertak Sino yang juga belum memberinya respons yang baik. Akio mengepalkan tangannya dengan erat, sangat marah dengan anaknya. "Apa maumu? Aku anakmu dan kau ayahku. Jadi apa?" Sino berbalik, membalas ayahnya dengan wajah datar miliknya, tetapi hatinya dalam suasanya yang jauh berbeda. "Aku berhak berteman dengan siapapun dan kau sebagai ayahku tidak berhak melarangku. Lalu untuk sekali lagi, Sully tidak mencurinya, dia salah membawa." Ketegangan memenuhi keduanya, hingga berakibat jadi diam. Satu-satunya suara yang muncul setelahnya adalah ponsel miliki pria itu—yang adalah ayah Sino—berdering di atas meja. "Sebaiknya kau angkat telponmu itu. Lebih penting daripada kau mengurusi temanku." Sino akhirnya keluar, meninggalkan rumahnya. Ayahnya yang masih berusaha meredam emosi kembali duduk dan memijit pelan dahinya. Teleponnya sudah berhenti berbunyi, tetapi beberapa detik kemudian suara yang sama dikeluarkan. Terpaksa akhirnya dia mengangkat panggilan itu. Sementara di luar, Sino menarik nafas yang panjang, dan melanjutkan langkah. Sempat kemudian dia terhenti sejenak, dengan kepala menoleh ke sana ke mari, terlihat bingung dan mencari sesuatu. “Oh, astaga.” Sampai beberapa detik dia baru sadar. Mobilnya rusak dan dia baru menghubungi seorang montir semalam. Satu kali lagi helaan nafas, Sino kemudian mengambil ponselnya untuk mencari sebuah nama di daftar kontaknya, lalu menghubunginya. "Halo?" ucap sebuah suara setelah panggilannya terhubung. "Sully, apa kau—" "Sino, aku minta maaf. Hari ini aku sedang kurang enak badan jadi aku tidak bisa pergi ke sekolah. Aku baru saja akan menelponmu tadi." "Ouh ... baiklah ...," balas Sino. "Baik, terima kasih. Jangan lupa mencari teman untuk pro—" Sebelum ucapan Sully selesai, Sino memilih untuk langsung menutup teleponnya. Akhirnya, tanpa ada pilihan lain dia memilih untuk mengambil bus sekolah. Sesuatu yang setelah sangat lama Sino akhirnya memilih untuk menggunakan kendaraan itu. Ini juga mengagetkan beberapa penumpang bus yang adalah satu sekolahnya. Lalu kehidupan sekolah Sino berjalan seperti biasa. Dengan diam, tenang, dan menjadi sangat sunyi tanpa kehadiran Sully. Sampai setidaknya peristiwa di kantin merubah beberapa persennya. ~~~ Seorang pria melangkah ke arah Sino yang terlihat sudah sangat lama menunggu di depan gerbang. Jingga langit juga perlahan mulai gelap. Dia diberikan sebuah kunci mobil, dan pria itu menunjuk ke belakang, ke arah mobil milik Sino yang telah diperbaiki. “Sebenarnya tidak terlalu sulit. Tapi harganya 200 dolar,” jelas pria itu. Sino menarik dompet di dalam tas sekolah, mengeluarkan lembara-lembaran sesuai dengan nominal yang diucapkan pria itu. Setelah transaksi mereka selesai, keduanya berpisah. Sino memutuskan untuk menjenguk Sully tanpa pulang ke rumahnya terlebih dahulu, meski sekedar mengembalik tas sekolahnya. Langit semakin gelap. Sino sampai di halaman rumah Sully--yang berukuran lebih kecil dari miliknya--ketika cahaya remang-remang sudah turun. Baru saja sabuk pengamannya ingin dilepas, Sino tetiba mendapatkan panggilan dari seseorang yang sudah tak asing baginya. "Betty?" jawab Sino langsung. "Sino, selamat malam," sapa si pemanggil, Betty. "Apa kau masih di sekolah? Aku ingin mencari ayahmu, tetapi kurasa dia tidak ada di mana-mana. Sudah sekitar lima belas menit aku menekan bel pintumu." "Aku tidak tau," jawab lagi Sino langsung. Sembari turun dan melangkah pelan melewati halaman Sully. "Apa dia masih bekerja? Bisa kau hubungi dia untuk pulang sekarang? Ada sesuatu yang ingin aku lakukan dengannya." "Tentu. Akan kuka—" "Terima kasih, kau sangat baik," potong Betty. Sino sudah ada di depan pintu Sully dan segera ingin menutup panggilan itu, tetapi kalimat selanjutnya menahan dia. "Aku lupa, tadi siang aku melihat ada laki-laki berambut lebat yang mencarimu. Kurasa dia temanmu di sekolah." "Berambut lebat?" Sino bertanya, tetapi tidak menaruh ponselnya kembali ke telinga. Dia yakin dengan pasti kalau hanya ada satu orang di seluruh Ohio yang mencari keberadaannya. Di tambah penjelasan Betty tentang rambut lebat membuatnya mantap kalau orang itu tidak lain adalah pemilik rumah di hadapan Sino. Tidak ingin membuang waktu, Sino akhirnya memutuskan panggilan tersebut dan langsung masuk ke dalam. Iris hitamnya langsung bisa menemukan seseorang yang duduk sembari tertawa di depan televisi besar. "Kukira kau sedang sakit?" tanya Sino begitu mendekat, melempar tasnya sembarang dan duduk di samping Sully yang ternyata sedang bermain game. "Ya ... kau bisa melihatnya dari sini, kan?" jawab Sully tanpa menatap Sino. "Ngomong-ngomong kenapa kau kemari?" "Kau sendiri kenapa ke rumahku?" tanya balik Sino. "Ah ... itu ... aku mencari ayahmu." "Ayahku?" "Ya ... tadi ayahku bilang kalau ayahmu mencariku, jadi aku ke rumahmu saat kondisi tubuhku sudah baik. Masalahnya saat sampai tidak ada orang di rumahmu. Aku menekan bel pintumu selama 15 menit dan tak ada seorang pun yang keluar," jelas Sully. Sino kemudian larut dalam pikirannya, sesuatu yang cukup jarang dia lakukan. Hanya memikirkan soal ayahnya. Tetangganya juga baru saja menelpon dan membicarakan tentang hal yang sama. Jika memang masih bekerja, mengapa memanggil Sully? Pertanyaan itu dia simpan begitu Sully bertanya balik. "Jadi kembali ke awal, kenapa kau kemari?" "Hanya ingin menjengukmu." "Serius? Baik sekali." Kemudian Sully memberikannya stick player untuk mereka mainkan bersama. Sebuah permainan multiplayer dan Sino sama sekali tidak menolak untuk melakukannya. Dari tujuannya hanya ingin sekedar menjenguk berakhir menjadi keputusan untuk bermalam saja, pikiranya besok juga hari libur. "Jadi ... kau tidak punya tugas untuk dikerjakan?" "Tidak," jawab Sino menaruh stick di pahanya. Sementara Sully melemparnya pelan ke samping, mendapati dirinya kalah bermain. ~~~ Minggu pagi akhirnya tiba. Meski tidur sedikit terlambat, mereka tetap bangun dengan cepat. Sully membuatkan tamunya itu sebuah sarapan instan, kemudian secara kebetulan saat melirik ke depan menemukannya terduduk sambil menatap ponselnya dalam wajah yang berbeda. Tidak seperti wajah Sino yang hampir tak punya ekspresi dalam suasana apa pun, kali ini alisnya tampak turun dengan bentuk mulut yang lebih ke bawah. "Apa ada masalah?" tanya Sully langsung. Sino mengangkat kepalanya dan menatap Sully dalam diam, dia hanya menggelengkan kepala pelan lalu kembali ke ponselnya. "Apa ini soal kencan malam prom?" lanjut Sully kembali bercanda dengannya. "Ayahku." Sino menyimpan ponselnya, dan menaruh kepala di atas meja untuk menyembunyikan wajahnya. Seringai Sully turun seketika. "Ada apa dengan ayahmu?" Kembali dia bertanya, dan Sino hanya terdiam. Mesin pemanggang di belakang Sully berbunyi. Mengubah fokusnya langsung menjadi menyiapkan makanannya—roti dan telur dadar--sebelum hangus. Dia menghirup asap kecil yang muncul dengan wajah menikmati. "Sekarang makanan kita sudah siap. Apa kau mau bermain lagi?" Sully menarik Sino dari duduknya dan membawa dia kembali ke ruang tengah. Hari-hari Sino masih dia lanjutkan meski sebenarnya tadi dia berpikir untuk pulang saja. Beberapa menit yang lalu dia mendapatkan pesan dari Betty kalau ayahnya belum pulang. Beberapa saat dia jadi teringat dengan pesan ayahnya dua hari yang lalu, dia akan pergi untuk sebuah urusan bisnis. Namun, Sino tahu pasti kalau ayahnya akan selalu sarapan bahkan jika dia punya pekerjaan penting di perusahaannya. Bagaimanapun, Sino memutuskan untuk tinggal lebih lama lagi. Rasa penasaran soal ayahnya menghilang tak lama kemudian, digantikan dengan aktivitas yang tidak jauh berbeda dari kemarin malam. Hanya bermain sebuah video game yang sama sebanyak 28 babak dengan 90% pertandingan dimenangkan oleh Sino. Sampai akhirnya malam tiba, dan Sino memutuskan untuk meninggalkan kediaman Sully tanpa membangunkan pemiliknya yang tertidur pulas di sofasnya. Melintasi kota dalam kecepatan tinggi sambil menahan kantuk, Sino sampai, dan menemukan rumahnya dalam keadaan berbeda. Tidak ada satupun lampu yang menyala, tidak ada suara-suara pada umumnya, dan tidak ada ayahnya di manapun. Sino yang di awal sempat memikirkan ayahnya menjadi tidak lagi peduli, mengingat waktunya sudah larut dan dia harus ke sekolah besok membuatnya langsung naik ke kamar. Namun, saat baru ingin membuka pintu kamarnya dia mendapatkan sesuatu yang menahannya. Sebuah bau yang begitu menyengat. Namun, rasa lelahnya membuat dia jadi malas untuk mencari tahu, dan memilih langsung tidur. Hingga keesokan harinya. Sino terbangun dengan cara yang biasa, aktivitas masih sama dan kemudian turun untuk sarapan paginya setelah dia siap. Kali ini tak ada makanan yang menyambutnya. Sino menoleh ke pintu depan, sepatu ayahnya ada di sana. Pikirnya dia kelelahan dari pekerjaan yang menyita waktu, dan masih tertidur di kamarnya. Sino akhirnya membuat sendiri makanannya. Mencari kotak sereal yang masih tersimpan utuh di lemari, ditambah s**u segar di kulkas dan kemudian dia nikmati sampai habis. Ayahnya masih belum muncul meski kali ini Sino makan sedikit lebih lambat. Hingga tak lama bau busuk yang sama seperti malam kemarin tercium hingga di tempatnya duduk, dan mampu membuat Sino menutup hidung dengan erat. Dia mulai mencari bau aneh itu yang mengantarnya sampai di tempat sampah depan kamar ayahnya. Namun, isi sampah itu hanya berupa kertas-kertas dan plastik mika. Bahkan, Sino juga memastikan dengan mengendusnya dan sama sekali tidak berbau, yang ada bau itu tercium di dalam kamar ayahnya. "Ayah ...." Sino sambil mengetuk pintu mencoba memanggil ayahnya. Sebanyak dua kali dia melakukan hal yang sama, tetapi tidak mendapat balasan. Sino akhirnya mencoba membuka pintu kamar itu dan tidak dikunci. Sesuatu yang sedikit mengagetkannya, karena Sino tahu kalau kamar ayahnya sangat privasi, bahkan untuk Sino sendiri. Saat dibuka dengan pelan bau sangat busuk langsung menusuk penciumannya. Diikuti suara lalat terdengar kuat di dalamnya. Sino melihat gerombolan serangga terbang itu mengerumuni sesuatu di lantai kamar ayahnya. Satu hal lain yang membuatnya terdiam sejenak. Wajahnya berubah jadi menganga perlahan, lalu kemudian menutup pintu dan mundur. Sino sama sekali tak mampu mengucapkan apa pun dengan apa yang dia temukan di dalam sana. Seluruh tubuhnya menyentak, panik seketika muncul di tubuhnya saat Sino mulai melangkah ke arah tangga. Kakinya seakan melemah, dan seolah tertarik gravitasi dia menyandarkan diri di dinding dan duduk di ujung tangga. Tangannya begitu gemetar saat mengambil ponsel, saat menekan tombol angka pun dia sempat salah. Sebelum kemudian dia naikkan ke telinganya, dan menunggu panggilan itu di jawab. “911, apa keadaan daruratmu?” ~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD