Cincin itu datang dari Mona jewelry pukul setengah tiga sore, kuterima dan segera kucocokkan dengan cincin yang asli. Hasilnya sangat mirip dan nyaris tak bisa dibedakan mana yang asli dan palsu, bahkan pancaran kilau permata dan beratnya sama.
Hanya bedanya, cincin yang asli memiliki cetakan logo nama perusahaan dilingkaran dalam sedangkan yang palsu tidak.
"Ah, mudah-mudahan Mas Danu tidak menyadarinya."
Kalaupun ia menyadari dan sampai marah maka aku pun akan membalas dengan kemarahan yang lebih besar lagi karena berani-beraninya ia membelikan cincin mahal untuk wanita yang jelas-jelas tidak menemani berjuang di kala susah dan melahirkan untuknya seorang anak.
Kuletakkan cincin palsu itu di box cincin asli sedang yang asli kusimpan di kotak perhiasanku.
Tak lama mas Danu datang, bunyi klakson mobilnya menandakan bahwa ia sudah berada di garasi.
Aku segera menuruni tangga menuju dapur dan menyiapkan segelas kopi untuknya.
"Gimana urusannya Mas, lancar."
Ia hanya mendengkus pelan membuang napas, pertanda ia cukup lelah dan suntuk seharian.
"Aku lelah," gumamnya.
"Mas mau makan atau mau mandi lebih dulu?"
"Aku mau maka aja, siapin makanannya," ucapnya.
"Itu udah siap di meja Mas." Ia beralih menuju meja dan membalikan piringnya.
Kuhampiri dan kutuang sesendok nasi dan lauk, ia mulai makan dan aku duduk menemaninya.
Selama 17 tahun pernikahan aku tetap melakukan rutinitas seperti ini, suamiku selalu dilayani dan ditemani. Tidak sekali pun aku pernah alpa untuk melayaninya di meja makan.
"Oh ya, Mas, cincin klienmu sudah siap, tadi diantar staf."
"Benarkah? Oh baik, makasih." Ia meneguk air dalam gelasnya.
"Di mana cincinnya," sambungnya.
"Di meja kerjamu, Mas," jawabku.
"Oke." Dia menyantap makanannya dengan cepat lalu menuju ruang kerja dengan terburu-buru. Tidak pernah suamiku seperti itu, seperti apapun buru-burunya dia tak pernah sampai meninggalkan makanan, apalah itu, baru beberapa suapan yang dimakannya.
"Mas nasinya kok gak dihabisin?"
"Udah, udah, aku harus mengantar cincin ini pada klien, keburu dia ke luar kota," jawab Mas Danu.
"Emang Mas mau ngantar cincin itu ke rumahnya?"
.
"Gak aku akan mengantar ke kantornya."
Aku rasanya ingin sekali marah tapi aku harus menahannya. Kususul ia di kamar karena jika ia mandi seperti biasa aku akan menyiapakan pakaian yang akan dia pakai di atas ranjang.
"Awasi cincinnya ya Sarah, aku mau mandi," pintanya sambil menunjuk kotak merah di atas meja rias.
"Iya, Mas. Gak usah khawatir, mana ada yang mau maling siang-siang begini, ada tuan rumah lagi," jawabku melengos.
Kesal dan benci karena ia menyuruhku mengawasi benda yang akan dia berikan pada pacarnya, keren sekali bukan? Kreatif suamiku ini.
Ingin kupalu kepalanya hingga pecah. Tapi karena teringat pada cincin mungil senilai hampir tiga puluh juta yang kini ada dalam genggamanku, maka kuurungkan niat.
"He he he, setidaknya aku telah menukarnya dengan perak dan permata swarovsky biasa senilai 300 ribu rupiah." Aku tertawa jahat.
"Ada apa kau tertawa?" tiba-tiba Mas Danu berdiri di belakangku sambil mengusap-usapkan handuk di kepalanya.
Ia berdiri di sisi ranjang mengenakan kaus dan celana dalam.
"Ma, aku gak mau kemeja ini, kesannya aku sudah sangat tua." Ia melempar baju itu ke atas kasur.
"Lho, biasanya juga kemeja itu yang Mas pakai buat ketemu klien, nyatanya juga Mas memang sudah tua," sungutku lirih.
"Ma...." Ia membulatkan mata, "Kumohon cepat saja lakukan, aku bisa terlambat."
"Ya ampun Mas, kayak dikejar setan deh," kataku sambil mencarikannya baju lain.
"Aku minta yang kasual aja, kaus polo dan celana jeans serta sepatu," ucapnya.
"Mas mau bisnis apa mau kencan."
"Sarah, ayolah, jangan banyak bicara, aku bur-buru ini," katanya sambil meraih baju yang baru saja kuambil dari dalam lemari.
Secepat kilat ia kenakan pakaiannya, kaos kaki lalu sepatu, berdiri di kaca rias menyisir rambut hingga klimis, lalu menyemprotkan parfum sebanyak mungkin hingga ruang kamar terasa pengap oleh aroma parfum.
"Mas mau kemana sih, mandi parfum," kataku.
"Kan tadi udah ku bilang, mau nganterin cincin."
"Sebaliknya Mas, seperti pria yang mau tunangan," bantahku.
"Ya ampun, Sarah, suami mau bisnis kok ngomong gitu, bukannya malah mendoakan biar usahanya berkah dan kliennya makin banyak."
Aku hanya berdecak kecil sambil membuang napas kasar.
"Iya, Mas. Aku selalu doakan kamu, semoga kamu sukses selalu, tetap sayang dan setia pada anak dan istri," balasku.
"Kok ngomong gitu, anak sama istri tetap utama 'lah," imbuhnya.
Aku hanya memajukan bibir dan tersenyum getir dengan cara ia berdusta, benar-benar kelas kakap suamiku ini, aku baru tahu.
Suamiku bergegas turun dan meraih kunci mobil.
"Nanti aku pulangnya agak malam, kamu mau dibawakan apa?"
Aku menghampirinya dan memeluknya, "Bawakan cinta saja."
"Ada ada saja, kamu Ma," ucapnya sambil tertawa.
"Ya aku ingin, kemana pun kau pergi hatimu tetap ada di sini bersamaku, aku ingin menjadi satu-satunya rumah untukmu kembali," kataku sambil menyentuh dadanya dengan ujung jari.
"Aku pergi dulu." Ia mengecup pipiku dan masuk ke mobilnya lalu melambai kecil.
"Aku pulang telat ya, Ma."
"Iya, Pa."
"Pergilah sayang, antarkan cincin palsu itu pada gundikmu." Aku membatin sambil tertawa puas. Kurogoh saku dan kutatap cincin itu berkali-kali. Apakah akan kujual atau kupakai sendiri? Bagaimana?