Aku puas dia telah tertipu aku telah menukar perhiasan palsu itu ke dalam kotaknya dan sekarang suamiku pergi mengantar perhiasannya itu kepada Erika.
Aku yakin Wanita itu sangat bahagia mendapatkan pemberian dari suamiku, dengan bangga pastinya. Dia tidak berpikir bahwa kelakuannya akan membuat orang lain terluka, dia juga tidak berpikir bahwa suatu hari mungkin karma buruk akan menghampirinya atau juga anak keturunannya, karena menjadi seorang pelakor adalah hal yang sangat memalukan dan menyakitkan wanita lain.
Pukul jam 10 malam suamiku pulang, aku tahu dia terlambat pulang karena menikmati kencan dengan Erika, sedangkan aku istrinya kesepian dan duduk sendirian di rumah ini tetap setia menanti kedatangannya.
Entahlah, apa yang dipikirkan Mas Danu tentang diriku Apakah aku masih berharga sebagai istrinya atau tidak? Apakah putriku masih menjadi prioritasnya atau tidak? Apakah kami masih adalah orang yang penting baginya? entahlah.
Karena apa dari gurat dan tarikan nafasnya, dari ekspresinya, bicaranya, cara memperlakukanku, semuanya tidak ada yang sama seperti dulu. Tidak sama ketika kami baru pertama saling mengenal dan mencintai. Tidak ada lagi kemesraan seperti waktu-waktu itu, kebahagiaan seperti hari pertama mendapatkan seorang anak.
Semuanya berubah, semakin hari semakin hambar dan sepi pernikahan ini, sepanjang waktu aku hanya di rumah menunggu kedatangannya tanpa melakukan apapun atau pergi kemana pun.
Kulayani keperluannya sebaik mungkin sebagai istri aku tahu sekali kewajibanku untuk berbakti padanya, maka, kucintai dia dan kujaga kehormatannya. Kujaga juga anak yang menjadi titipannya, lakukan semuanya dengan penuh ketulusan dan tanpa mengharap balasan apapun. Tapi apa yang dia lakukan padaku sebagai balasan? ia malah menjalin hubungan baru dan membahagiakan wanita yang jelas-jelas tidak pernah berjuang bersamanya.
Apakah ini adalah sesuatu yang adil bagiku Apakah ini adalah balasan dari semua pengabdianku? dulunya, suamiku hanya seorang pria biasa yang tidak punya apa-apa, dia melamarku hanya dengan modal cinta dan janji akan ketulusan serta kesetiaan akan menjaga, menjalani pernikahan ini hingga maut menjemput kami.
Buktinya, ketika seorang pria mendapatkan apa yang menjadi target dalam hidup mereka berupa, harta, tahta, dan wanita keserakahan akan tiba-tiba muncul dalam hatinya, ketidakpuasan membuat mereka berani untuk menghianati, menjalin sebuah hubungan baru yang mungkin mereka hanya mencoba bereksplorasi dan mencari tantangan.
Namun itu tidak adil bagiku bagi wanita-wanita yang setia di rumahnya.
Kulihat dia membuka pintu utama masuk lalu menutup pintu kembali ia berjalan dengan wajah yang sangat lelah. Ekspresinya seolah-olah ia sangat letih dengan langkah lunglai ia menyapaku yang masih memperhatikannya di sofa.
"Hai Sarah Apa kabarmu?" lalu ia tertawa entah meracau atau hanya bercanda. Mungkin setengah mabuk.
" Ah, Mas ini melantur amat, sih, dari mana Mas?"
"aku dari tempat kelahiran tempat klien," jawabnya sekenanya.
"Sampai jam 10?" selidikku.
"Iya, memangnya kenapa?" Ia terlihat tidak suka dengan pertanyaanku dengan meninggikan suaranya.
"Iya ini udah terlalu malam Pa," kataku mencoba mengingatkannya.
"Terlalu malam? aku ini laki-laki aku bebas ke mana saja! Perempuan yang tidak boleh keluar semaunya dan pulang semaunya," ucapnya menyergah ucapanku.
Tadi aku mencoba memberinya sebuah penjelasan namun ia terlihat sangat gusar dan tidak terima.
"Sudahlah jangan mendebat diriku, Aku sangat lelah sebaiknya kau siapkan air mandi dan secangkir kopi, karena aku sudah sangat suntuk." Suruh ya sambil menghempaskan diri di sofa dan menaikkan sebelah kakinya di senderan sofa.
Ingin sekali aku berteriak marah padanya, dia menyuruhku untuk menyiapkan air mandi dan secangkir kopi sehabis Ia memadu kasih dengan kekasih gelapnya? ia meninggalkanku terkurung sepi di rumah, sedangkan ia berbahagia, tertawa, dan mendesah mesra di ranjang kekasihnya? Sedangkan aku harus menyiapkan air mandi dan segera kopi, harus juga melayani, harus juga menemani, wah, hebat sekali.
Aku tahu ini tidak adil untukku, aku tahu persis bahwa langkah yang kuperhitungkan nantinya akan membuat dia menyesal seumur hidup, lihat saja nanti apa yang bisa kulakukan padanya, aku janji Jiak ia tak segera berubah aku akan membuatnya sampai ia miskin dan bahkan menjual sempaknya untuk makan.
"Air udah siap, Mas. Kopinya aku akan bawa ke kamar," ucapku sambil mencolek bahunya yang ketiduran di sofa.
"Baik." Ia bangkit dan beringsut menyeret langkah dengan enggannya menuju lantai dua, dimana kamar utama sengaja kupilih di sana.
.
Kuperhatikan dia dengan seksama dan dari belakang tengkuknya ada bekas lipstik wanita.
Ia berkali-kali terlihat menyentuh leher dan tengkuknya untuk menutupi itu.
Sampai ia menaiki tangga yang berbentuk memutar, ia terus memperhatikan diriku agar tak ketahuan dengan apa yang dia sembunyikan.
"Hmm, ya ampun." Aku hanya mampu memiijiti kepalaaku.
Aku tahu, aku tak bisa langsung saja mendahulukan ego, kalo aku mementingkan emosi lalu bertengkar dan menjauh darinya, maka wanita itu akan beruntung memenangkan suamiku dan rumah di cluster elit dan megah seharga empat milyar ini.
Bukan aku lebih mementingkan harta, tapi masa depan anakku yang kupertimbangkan minimal harus terjamin agar ia tak harus mengecap rasanya tidak punya uang, harus berjalan kaki ke sekolah karena tidak punya ongkos bis kota, harus menggaris bukunya dan mencampur dua mata pelajaran di buku yang sama hanya karena tidak bisa membeli buku, aku tak akan biarkan putriku merasakan semua itu. Putri semata wayangku harus selalu bahagia, meski kupertaruhkan kebahagiaan sendiri untuknya.
Kususuri lantai dua dan masuk ke kamar menyusul suamiku untuk beristirahat. Kulihat ia meletakkan baju kotornya sembrangan di lantai dekat tempat tidur. Kupungut pakaiannya dan kutemukan rambut panjang yag panjangnya dan bentuknya tidak sama dan melebihi panjang rambutku, kutemukan juga sisa Koptik dan bekas kecupan di bagian d**a dalam baju mas Danu, juga aroma parfum perempuan itu masih tertinggal di sana.
Kubayangkan adegan demi adegan yang terjadi setelah mas Danu memasangkan cincin itu di jari manisnya, mungkin suamiku menggendongnya dan membawanya ke peraduan lalu terjadilah ...
Ah, kutekan dadaku sendiri untuk mengurangi rasa sedih, ingin kumenangis tapi rasanya mata ini tak ingin melelehkan kepedihan hanya karena pelakor murahan yang tidak berguna. Aku akan membalas perbuatannya.