Bab 6

1417 Words
 “Silakan diminum, Bara,”kata Citra. “Terima kasih, Mbak.” “Siapa nama lengkap kamu?”tanya Bima. “Barananda Ikhsan,”jawab Bara. Bima mengangguk-angguk. Kemudian ia mengambil potongan martabak yang sudah tersedia di piring. “Udah gitu doang nanyanya?”bisik Citra. “Iya. Sudah cukup!” Bima terkekeh. Qiana menatap Bara.”Jadi, Bara...kami semua adalah kakak-kakaknya Kinar. Kami sengaja cuti loh supaya bisa ketemu sama kamu. Tadinya Kinar janjinya weekend. Ternyata malam ini kamu udah datang.” “Iya, Mbak. Ya selama ini...hubungan kami memang tidak begitu dekat. Kinar seperti memberikan jarak yang begitu jauh.” Bara tidak tahu jalan cerita sesungguhnya mengapa keluarga Kinar bisa berkata seperti itu. Tapi, sepertinya akan menarik jika ia mengikuti jalan cerita yang sedang Kinar buat. “Iya, Kinar memang suka begitu,”komentar Citra. “Untungnya kamu sabar ya,”tambah Anaya. “Alhamdulillah, Ibu, begitulah cinta.” Bara tersenyum begitu manis. “Ya ampun,jadi...selama ini Kinar aja yang enggak bener.” Cita menggelengkan kepalanya heran. Sementara itu, Leon hanya terdiam menatap Bara. Ia jadi bertanya-tanya, sandiwara apa yang sedang dilakukan oleh Kinar. Sikap Bara sebagai seorang pria benar-benar terlihat manis dan begitu meyakinkan. Bara terlihat sebagai laki-laki yang benar-benar serius pada Kinar. Akhirnya Kinar muncul, dengan penampilan yang rapi, tidak seperti tadi. “Kinar...sini!”panggil Bima. “Iya, Kak.” Kinar melangkah dengan takut-takut sambil mencuri pandang ke arah Bara. Ia takut sekali Bara menceritakan apa yang terjadi di kantor siang tadi. “Kalian sudah menjalin hubungan kan?” “Iya, Mas,”jawab Bara dengan begitu yakin. “Kami berharap, kalian segera menikah!”kata Bima tegas. Kinar memejamkan matanya, menunduk, sama sekali tidak berani mencuri pandang ke arah Bara. Pria itu pasti kebingungan atas drama yang ia buat. Tentunya saat ini ia jauh lebih bingung harus menjawab apa. Bara berdehem, ia pun memperbaiki posisi duduknya. “Baik, Mas. Oleh karena itu...saya datang ke sini. Ingin berkenalan dengan keluarga Kinar sekaligus menyampaikan niat baik saya, apakah saya boleh...menjalin hubungan yang serius dengan Kinar? Saya ingin melamar Kinar.” Kinar dan Leon terperanjat, mereka berdua bertukar pandang. “La...lamar?”Kinar menatap Bara bingung. Bara mengangguk.”Iya, enggak ada alasan untuk mengulur waktu. Saya ingin menikahi kamu. Selama ini...kamu tidak mengizinkanku bertemu dengan keluarga kamu, tapi...sekarang aku tidak peduli lagi. Aku katakan perasaanku di hadapan keluarga kamu.” “Ah so sweet.” Rani bersandar di pundak Leon. “Tapi, Kak...” Kinar terlihat panik. Bagaimana bisa Bara bicara seperti itu, sementara lamaran konyol itu berlangsung siang tadi dan mereka tidak begitu dekat. “Kamu mau ngelak lagi?” tatap Bima pada Kinar. “Bukan ngelak, Kak. Tapi, memangnya ini enggak terlalu cepat soalnya baru pacaran.” Kinar semakin panik. Justru itu cara yang baik. Jadi, kapan kamu mau melamar Kinar secara resmi?”tanya Bima seolah sedang menantang Bara. “Weekend ini, Mas. Saya akan bawa orangtua dan keluarga besar saya.” Bara menahan tantangan Bima. “Loh...kok jadi begini?” Rasanya Kinar ingin menangis saja. “Kakak enggak cek tentang Bara secara detail? Biasanya kan begitu.” Qiana memperingatkan. Bima menggeleng.”Dari nama lengkapnya, sudah tahu kok profilenya dia. Boleh juga....” Pria itu terkekeh. “Alhamdulillah kalau begitu, kami terima niat baik kamu, Bara. Kami akan mempersiapkan acaranya.” Anaya tersenyum bahagia. “Iya, Bu.” Semuanya tampak mengucapkan syukur atas lamaran ini. Bara menatap Kinar dengan begitu hangat. Jantung Kinar berdegup kencang. Entah kenapa perasaanya tidak enak. Mungkinkah Bara sedang merencanakan sesuatu sebagai balasan atas tingkah konyolnya siang tadi? Dan sekarang, Kinar dan Bara duduk berdua di ruang tamu usai 'wawancara' panjang dari kakak-kakak Kinar. Tapi, setidaknya Bara sudah dinyatakan lulus dari tahap itu.kinar lega sekaligus cemas. Lega terbebeas dari tuntutan keluarga, tapi, ia cemas terhadap Bara. Keduanya saling diam cukup lama, sesekali memandang dan menunduk lagi. “Kin...” Bara memulai pembicaraan. “Iya, kak.” “Hei...hei...hei...”Leon datang dan duduk di salah satu sofa yang kosong. Kinar memutar bola matanya.”Kakak...kami mau bicara berdua.” “Oke sebentar aja.” Kini Leon menatap Bara.”Kamu dibayar berapa sama Kinar biar mau jadi calon suami bohongannya Kinar?” “Ish, Kakak!”tegur Kinar. “Nggak dibayar apa-apa. Tahu-tahu dia datang ngelamar saya, Mas. Ya udah saya terima,”jawab Bara apa adanya. “Kamu langsung mau gitu sama adek saya ini?”tatap Leon tak percaya. “Iya, siapa yang enggak mau sama wanita secerdas Kinar.” Kini tatapan Bara beralih pada Kinar dan mampu membuat hati wanita itu meleleh. “Bagus!” Leon mengacungkan jempol.”Tapi, kalian cuma pura-pura aja, kan?” “Nggak, Mas, kami ini serius menjalin hubungan”jawab Bara. “Loh...kok?” Kinar menatap Bara dengan heran.”Aku becanda aja, Kak. Maksudnya siang tadi itu...aku mau minta toong sama kakak untuk pura-pura jadi calon suami aku.” “Tapi, aku maunya serius, Kin. Dan aku pikir kamu juga begitu, serius ngajak aku nikah, makanya aku seneng banget. Aku pikir begitu, makanya aku terima.” Kinar menggelengkan kepalanya. “Iya, ta-tapi, Kakak mau gitu sama aku? Kita kan enggak saling kenal banget.” “Kalau memang begitu, kenapa kamu lamar saya padahal kita enggak saling kenal banget?” Bara membalikkan kata-kata Kinar. Gadis itu tertegun.”Soalnya...udah putus asa.” “Seputus asanya, kenapa laki-laki yang kamu ajak itu aku? Enggak Gian, Hardi, atau...temen-temen seangkatan kamu? Pasti ada dong yang single. Tapi, kamu milihnya aku, kan? Berarti kita....” Bara menggantung ucapannya. “Jodoh!” Leon menjentikkan jarinya. “Tepat.” Bara mengajak Leon tos. Kedua pria itu mendadak menjadi kompak. Kinar menggaruk kepalanya.”Tapi, kok mau, sih, kan Aku cuma becanda.” “Jadi, enggak mau nih nikah sama aku? Orangtua dan kakak-kakak kamu udah setuju loh.” Bara melayangkan tatapan menggoda.”Bukannya mengambil hati kakak-kakak kamu bukan hal yang mudah?” Lagi-lagi Bara membuat Kinar membatu karena memikirkan itu semua. “Betul! kak Bima juga langsung suka!”sambung Leon.”Ya udah, kalian memang jodoh.”Laki-laki itu terkekeh. “Tapi, ntar kakak cuma main-main,buat bales dendam sama aku.” Kinar jadi takut sendiri. “Memangnya kamu udah melakukan kesalahan apa sama aku, Kin, sampai aku harus balas dendam. Lagi pula, aku sudah sampai sini. Enggak mungkin aku main-main,kan?” “Oke...oke, berarti kamu rela menjadi suami adekku?”tanya Leon pada Bara.”Tanpa bayaran apa pun?” “Tentu ada bayaran, Mas,”kata Bara. Leon dan Kinar melotot.”Apa?!” Bara menatap Kinar dengan mesra. “Bayarannya...bersedia menjadi 'tawanan' resmiku dalam penjara rumah tangga, menemaniku seumur hidup.” Kinar tertunduk malu dengan wajah merona. “Halah, sok manis! Tadi habis makan gula berapa ton??”Leon memukul lengan Bara. “Nggak boleh syirik, Mas,”balas Bara sambil terkekeh. “Ya udah kalian ngobrol lah. Saya tunggu kedatangan kamu dan keluarga, Bar!” Leon berjalan kembali ke dalam. “Iya, Mas.” Kinar meremas tangannya sendiri usai Leon pergi. Suasana menjadi tidak nyaman lagi.”Kak, aku...mau minta maaf karena sudah melamar kakak tiba-tiba. Sebenarnya itu aku lakukan spontan karena sudah putus asa, weekend ini aku harus bawa pasangan ke rumah. Jadi, aku...beneran nekad.” “Dan...itu sudah terjadi, Kin. Kamu sudah punya pasangan weekend ini. Aku menerimamu. Enggak ada masalah lagi kan?” Tiba-tiba tangan Bara mengusap puncak kepala Kinar. “Kak...kakak enggak sedang drama kan?” tanya Kinar cemas. Bara meraih tangan Kinar dan menggenggamnya. “Enggak. Aku beneran mau sama kamu kok. Sabtu nanti aku bawa orangtuaku ke sini ya. Tadi sudah ngomong kan sama kak Bima, kalau Sabtu ini lamaran.” “Aku masih enggak percaya. Soalnya kita kan...” “Kenapa? Nggak pernah tegur sapa, atau ngobrol dekat? Tapi, kan...aku tahu kamu, kamu tahu aku, walau...kita tidak begitu dekat. Ya nanti setelah ini, kita dekat-dekatan aja biar semakin menegnal satu sama lain.” Bara terkekeh.”Sudah, jangan bikin hati kamu nggak enak sendiri. Fokus saja dengan apa yang ada di depan mata kita saat ini. Yaitu...sebuah pertunangan.” “Kakak suka sama aku?”tanya Kinar. Bara terdiam, ia menatap Kinar begitu dalam.”Aku enggak akan kasih tahu, aku cuma mau...kamu rasakan saja.” “Tapi...” Ucapan Kinar terhenti saat kecupan hangat melayang di pipi kirinya. “Aku sudah pamit sama keluarga kamu tadi, sekarang...aku harus pulang. Sudah jam sepuluh. Sampai ketemu besok, sayang....” Bara melambaikan tangannya. Kinar mematung di tempatnya, ekspresinya sulit diartikan. Sekarang justru ia sedang merasa dipermainkan oleh permainan yang ia ciptakan sendiri.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD