Bab 2

1152 Words
 “Astaga...terus gimana?” Yuni ikutan iba pada Kinar. Kinar menggeleng pasrah, kini air matanya mengalir perlahan. “Kin, kita juga belum menikah kok. Jangan pikirkan soal kamu yang belum nikah-nikah.” Dita mencoba menghibur Kinar. “Setidaknya kalian punya pasangan, Ta,”ucap Kinar lirih. “Sama aja kan...kita juga punya pasangan belum dilamar-lamar juga,”kata Yuni seraya menghampiri Kinar. “Kin, tadi kan kamu udah baik-baik aja. Semua ini hanya tentang waktu kok. Sekuat apa pun kamu berusaha mengejar jodoh, kalau misalnya si jodoh datangnya tahun depan...ya akan tetap tahun depan. Enggak bisa tiba-tiba datang sekarang.” Dita mengusap-usap punggung Kinar. Kinar menghapus air matanya.”Iya...iya, aku ngerti. Terima kasih...udah bikin aku kuat.” “Itulah gunanya teman, Kin.” Yuni memeluk Kinar lalu diikuti oleh Dita. Perlahan kondisi hati Kinar membaik. Ia bisa kembali fokus bekerja meskipun sesekali ia dirundung kegelisahan. Rasanya ia jadi tidak ingin pulang. Takut ditanya macem-macem lagi. Rumah seakan jadi neraka sekarang. “Yuk makan siang!”kata Dita setelah melihat jam tangan yang sudah menunjukkan jam makan siang. Yuni dan Kinar melihat jam tangan bersamaan. Ternyata waktu berlalu begitu cepat sampai mereka lupa waktu. Mereka berdua mengangguk, lalu keluar ruangan. Semua karyawan, masing-masing keluar dari ruangan mereka. Saat baru saja keluar dari ruangan, Kinar tak sengaja berpapasan dengan Bara. Ia kaget, namun tersenyum dengan cool sekali.”Hai!” Lalu ia berlalu begitu saja. Dita langsung bisa menormalkan keadaan. Ia tersenyum pada pria itu.”Kak...” Bara dan Yuni memekik sambil berpelukan dan menatap tubuh pria itu yang berjalan menjauh. “Kalian kenapa sih?” Kinar menatap kedua temannya heran. “Senyumannya membuatku lupa diri, Kin.” Yuni mengigit bibirnya sendiri. “Iya, sayangnya kita udah punya pacar.” “Lah...kalian ini, kalau udah punya pacar kenapa suka sama Kak Bara?” Kinar geleng-geleng kepala. “Kita cuma kagum, Kin,lagi pula mana mungkin pacaran dengan beliau, iya enggak?” Yuni terkekeh, lalu berjalan duluan menuju parkiran. “Kin!” Dita menyenggol lengan Kinar sambil berjalan mengikuti Yuni. “Kenapa?” “Coba aja kamu pacaran sama Kak Bara,”saran Dita. “Memangnya pacaran sama Kak Bara itu, bisa semudah membalikkan telapak tangan.” Kinar geleng-geleng kepala.”Aku ini siapa...terus Kak Bara itu siapa. Kayak langit dan bumi kali ah!” “Ya ini kan saran yang bagus.” Dita tertawa geli. “Saran yang sangat bagus, Dita. Saking bagusnya...aku enggak tahu bagaimana caranya berterima kasih.” Kinar memasang tampang datar yang justru membuatnya semakin ditertawakan oleh Dita. Tapi, kini kehadiran dua sahabatnya itu membuat hatinya sedikit tenang, setidaknya untuk saat ini.   ** Pagi ini, Kinar berangkat ke kantor. Masih dengan mood yang buruk akibat pertanyaan demi pertanyaan tentang pacarnya yang ternyata masih berlanjut usai makan malam. Rasanya ia ingin sekali kakak-kakaknya segera pulang. Tapi, rasanya ia sangat berdosa jika berpikiran seperti itu. Mereka adalah harta yang paling berharga. Kinar masuk ke ruangan, meletakkan tas ke atas meja dan menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. “Kenapa, Kin?”tanya Dita khawatir. Pasalnya wajah Kinar tidak lesu dan pucat. “Ah, pusing!” Kinar memegangi kepalanya. “Sakit? Kok pucat gitu? Istirahat aja sana di ruang kesehatan,”saran Dita. Kinar menggeleng.”Aku enggak apa-apa kok. Cuma...kepikiran sesuatu aja.” Ia memejamkan matanya. “Ya kan kalau kamu banyak pikiran, kerjaan juga enggak baik, Kin.” Kinar menarik napas panjang.”Iya. Jadi, kakak-kakakku pada datang...” “Oke...terus?” Dita mendengarkan dengan saksama. “Minggu lalu aku bohong sama mereka. Aku bilang aku punya pacar. Itu tuh...supaya mereka enggak terus-terusan nanyain. Eh...sekarang mereka semua malah datang dan...mau ketemu pacarku.” Dita membelalakkan matanya.”Ya ampun, Kin. Kok segitunya kakak-kakak kamu. Tapi, pasti ada alasan kan kenapa mereka seperti itu. Mereka sayang sama kamu.” Kinar mengangguk.”Iya...aku tahu mereka sayang sama aku, Dit. Pasti khawatir juga sama kondisiku sekarang. Tapi, kekhawatiran mereka bikin aku tertekan...dan pada akhirnya aku bohong. Sekarang aku semakin tertekan dengan kebohongan aku sendiri.” Dita tersenyum sembari mengusap lengan Kinar.”Ya udah, tenangin diri kamu dulu, Kin. Karena kalau kamu panik begitu, enggak akan bisa Nemu solusi. Yang ada semuanya berantakan. Lagi pula, sepahit apa pun...kejujuran adalah jalan terbaik.” Kinar menatap Dita, ia tersenyum lebar.”Thanks, Dit. Kalau memang jalannya harus begitu...aku bakalan jujur sama keluarga aku.” “Nah gitu dong. Kita harus berani menghadapi resiko. Enggak apa-apa dimarahin, tapi kan cuma hari itu aja. Besok-besoknya kamu enggak perlu merasa terbebani sama kebohongan kamu itu.” “Oke.” Kini Kinar jadi sedikit bersemangat. Lagi pula jika dipikir-pikir masalahnya tidak serumit itu. Pintu ruangan terbuka. Wanita dengan stelan kerja bewarna abu-abu masuk dengan menyandang tas dengan merk ternama. “Halo...halo!” Yuni tergesa-gesa duduk di kursi kerjanya. Ia memang sedikit terlambat datang ke kantor. “Telat enggak, Yun?” Dita melihat jam tangannya. “Satu menit lagi waktu habis, aku sampai.” Wanita itu tersenyum dengan santainya seolah-olah sedang tidak terjadi apa-apa.”Kena tegur juga sih sama senior.” “Senior yang mana?”tanya Kinar. “Tadinya di sana ada senior Gian,Senior Asha, Senior Hardi, dan...senior Bara.” Yuni senyum-senyum sendiri. Sebutan 'senior' hanyalah sebutan yang diciptakan oleh tiga dara di ruangan itu, Kinar, Yuni, dan Dita. Jika bertemu, mereka akan memanggil 'kak' atau 'Mas'. “Terus yang marahin siapa?”tanya Dita. “Kak Asha dong...kalau yang lain cuma senyum aja.” Yuni mulai menyalakan komputernya. “Bukan marahin kali, Yun, memperingatkan aja kalau lain kali harus lebih tepat waktu. Biar kamu enggak ngos-ngosan gitu sampe sini,”kata Kinar. “Iya juga sih...” Yuni terkekeh. “Tapi, tumben ya mereka bisa barengan hari ini. Biasanya kan pasti salah satunya dinas luar,”kata Dita sambil mengklik mousenya. “Ada meeting mungkin.” Kinar ikut mengomentari walaupun ia tidak begitu tahu tentang senior itu. Maksudnya ia hanya sekedar tahu bahwa mereka senior. Selebihnya ia berusaha tidak ingin tahu sebab bukan urusannya. “Kak Bara ganteng banget!” Yuni menopang dagu, memasang tampang 'mupeng' pada pria tiga puluh lima tahun yang kebetulan baru saja melintas di depan ruang kaca mereka. “Kalau itu sih enggak usah ditanya, ganteng dari lahir,”sahut Dita. “Iya memang. Udah punya pasangan belum ya?”kata Yuni penasaran. Kali ini ia menatap Dita dengan serius. Dita terkekeh.”Mau jadi pacar beliau?” “Memangnya bisa?” Yuni kembali menatap layar komputernya.”Sayangnya aku udah punya kekasih hati.” “Ya coba aja,”balas Dita. “Masih single beneran?” Tatapan Yuni kembali fokus pada Dita. Dita mengangguk.”Single...keren kan? Tapi, nggak tahu...udah punya pasangan apa belum. lihat dia jalan sama cewek sih.” Yuni Katanya sih belum. Dan...sejauh ini enggak pernah ada yang bergidik ngeri.”Jangan-jangan enggak suka cewek.” Dita mengangkat kedua bahunya.”Ya enggak perlu berpikiran buruk juga, sih. Mungkin aja memang beliau belum pengen punya pasangan. Sama kayak Kinar.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD