Peresmian

1485 Words
Setelah mengonfrontasi kepada Ummi dan Muslim tentang hubungannya yang normal dengan Syanum, kini Syaqib duduk melingkari meja. Di sisinya Ummi dan Muslim saling bertukar kisah. Namun, Syaqib resah tak beralasan setelah tatap tak sengajanya dengan Syanum tadi. Syaqib coba melihat sekeliling yang lain, tapi ia terus kembali ke sosok Syanum lagi dan lagi. Dari yang terlihat, Syanum memakai gamis hitam biasa saja, dandan wajahnya juga sangat biasa. Dia Syanum yang sama saja dengan saat pertemuan mereka dua tahun lalu, saat hari hujan, dan aplikasi Al-Qur’an yang Syanum baca dari ponselnya. Kini dia menjelma sangat jelita dalam kesan pembawaannya yang anggun dan sederhana. Syaqib tergugu, sejak kapan ia begitu mengenal gerak-gerik gadis pendiam itu?! “Ada yang ngelamun, Mi,” Muslim menyenggol lengan Syaqib. Syaqib menelan ludah karena teguran sahabatnya. “Gak ngelamun, Mus!” Muslim menampilkan kesan tak percaya. “Dia lumayan, tapi bukan tipeku. Kalo iya udah kujadikan pacar dia.” Syaqib melotot pada laki-laki rupawan di sisinya. Sementara Ummi senyum-senyum saja. “Jangan dekati zina. Dekat aja gak boleh. Nikahin, Nak. Pasti Kina bersyukur dapat menantu kalem begitu,” sahut Ummi membawa-bawa nama ibunya Muslim. “Siap, Ummi! Tapi bukan yang itu. Buat Ummi aja yang begitu, sama-sama kalem.” Meski disindir jelas begitu, Syaqib tak ikut menanggapi. Ia malah … sekali lagi, kepala Syaqib tertarik pada sosok sesederhana sang pemilik kedai. Bukan maksud memperhatikan, tapi begitu saja matanya ingin dipuaskan. Syaqib mengingatkan diri dengan menundukkan kepalanya, membaca ta’awudz dan beristigfar. Subhanallah, bisikan syaiton. *** Syanum masih di tempat duduknya semula, sementara Yasmin baru saja kembali dari wara-wirinya. Sejak tadi Syanum tak nyaman sendirian, ia sadar ada mata yang terus mengikutinya. Syanum ingin pura-pura tak tahu dan lupa ingatan tentang masa lalu bersamanya, namun kini sosok yang semula Syanum hindari malah datang menghampiri. “Bapak Sya … Syakir, ya?” “Iya. Selamat ya.” Yasmin menggoyangkan tangannya untuk memberi isyarat kalau ucapan itu salah alamat. “Saya Yasmin. Ini Syanum, pemilik kedai ini.” Syakir bukan orang asing yang perlu berkenalan lagi dengan Syanum. Kisah kelam mereka. Setenang apa pun Syanum terlihat, dalam dadanya penuh rasa berkecamuk. “Ini lho Sya, orang di balik foto-foto keren itu, yang tadi sempat mau ketemu sebelum acara dimulai,” kata Yasmin hampir bisik kepada Syanum. Syanum memandangi lelaki yang masih berdiri itu. Dia tampak sehat dan baik-baik saja. Melihat gelagatnya, Syanum yakin mereka bisa berpura-pura seolah tak pernah mengenal sebelumnya. Pun jika yang terjadi sebaliknya, Syanum percaya diri, di sini adalah tempatnya, tidak ada yang akan mengusirnya dan Syanum boleh mengusir siapa pun yang tidak ia inginkan kehadirannya. “Kok diem,” bisik Yasmin supaya Syanum menyapa Syakir. “Ganteng lho, Sya.” Syanum tersenyum dengan raut aneh. Berat baginya untuk seolah tak mengenal setelah sekian lama tak saling bertatap muka. “Selamat ya,” sapa Syakir kikuk juga. “Terima kasih.” Syanum tidak tahu apa yang harus ia bicarakan. Padahal sebelum berpisah mereka adalah pasangan yang telah berbagi segalanya bersama. Kini, hal remeh seperti tegur sapa saja sulit dilakukan. Syakir mengitari kedai dengan matanya, “Bagus banget dekorasinya.” “Estetik kan? Tuh, Sya. Aku bilang juga apa. Kedai SumSumi, makanannya enak, menunya unik, pemiliknya cantik, tempatnya estetik.” Syanum mencubit pelan sahabatnya yang bicara sembarangan dari balik meja sehingga Yasmin meringis pelan lalu merengut diam. Syakir tersenyum manis sambil mengangguk pula. “Memang benar kok. Apalagi kalimat tentang pemiliknya. Cantik.” Jantung Syanum berdetak tak biasa. Pasalnya lelaki di depan mereka adalah motivator terselubung Syanum ketika memulai usahanya tersebut. Syanum bermaksud mengusirnya, “Silakan dicicipi hidangannya.” “Udah. Enak. Banget,” Syakir bersedia peka. “Sekali lagi selamat. Semoga usahanya berkah dan lancar. Izin foto-foto ya.” Syanum mengangguk pertanda mengizinkan. Syakir berlalu menjauh tak sedikit pun berbalik. Sikap lelaki itu masih saja membuat hati dan pikiran Syanum dipenuhi praduga sekaligus bunga-bunga. Pahlawan sekaligus penghancur kebahagiaan. Lelaki itu telah luluh-lantak menghancurkan hidupnya, tetapi Syanum bahkan tak sedikit pun bisa membenci pemilik nama lengkap Syakir Nur Rahman itu. Dari kejauhan Syaqib memperhatikan Syanum tergelak lepas atas pembicaraan rahasianya dengan Yasmin. Mungkin tentang laki-laki yang baru saja menjauhi mereka. Biasanya gadis itu menjaga batasan diri dengan laki-laki. Tetapi, Syaqib merasakan kesan janggal saat Syanum justru memperhatikan gerak-gerik dia. Cara Syanum curi-curi pandang pada sosok tampan itu membuat setitik rasa asing hadir di hatinya, sejenis cemburu. Padahal Syaqib sadar status antara ia dan Syanum bukanlah siapa-siapa. *** Acara penutupan, setelah tiga hari menyediakan santap gratis bagi siapa saja yang membutuhkan. Beranjak siang, celoteh riang mulai bersahutan di antara para pegawai Syanum selagi mereka bantu membantu membersihkan sisa acara. “Bu Yas, Pak Syaqib mana?” Tanya muncul setelah jeda kelakar mereka. Yasmin menghentikan gerakan menyapunya lalu bertekan pinggang. “Diingat ya, Bu. Saya bukan siapa-siapa Pak Syaqib. Ngapain nanya beliau sama saya?” “Pucuk dicinta, ulam pun tiba!” Seru lain terdengar lantang. Syanum ikut terkejut melihat kedatangan orang yang tengah mereka bicarakan. Pak Syaqib, penyumbang dana, ide dan tenaga juga dalam peresmian kedai Syanum. Bagi Syanum lebih nyaman memanggil begitu daripada memakai nama langsung seperti yang diminta. “Ada yang mau aku bicarain.” Syanum mengikuti Syaqib yang berhenti di dekat pintu kaca kedai. Refleks Syanum menukar label buka tutup kedai, memangkas jarak hingga sisa beberapa senti saja antara tubuh mereka. Sadar kesalahannya Syanum mundur dua langkah. “Maaf!” Syaqib mengangkat tangan kanan lalu meletakkan di dekat jantungnya berdetak. “Ada rasa berdebar di sini. Waktu kita sedekat tadi.” Syanum menunjukkan gelagat tak nyaman sehingga Syaqib berdehem keras demi menarik beberapa mata kepada mereka. “Kita gak Cuma berdua, Sya.” Syanum masih tak nyaman. “Ada apa, Pak?” “Apa kebetulan, kamu yatim piatu? Mohon maaf kalau pertanyaan ini sedikit menyinggung. Aku ingin mengenalmu lebih jauh, termasuk keluargamu.” Syanum terdiam. Kelu lidahnya untuk terbuka hal yang Syaqib ingin ketahui. “Mereka bertanya keberadaan Bapak dua hari ini.” Syaqib peka bahwa Syanum menghindari pembicaraannya. Melamar kepada ayahnya tanpa Syanum ketahui, rencananya sudah tertata sedemikian rupa, tapi, jadinya begini. Syanum hanya diam juga. Menjaga jarak wajar dari laki-laki yang bukan mahromnya. Menundukkan kepala supaya tak ada panah syaiton yang melesat jadi fitnah di antara mereka. Syanum masih terpaku tak dapat mencerna perubahan sikap Syaqib yang tiba-tiba. Mengapa dia ingin tahu keluarga Syanum? “Kamu gak harus menghindar, Sya,” ujar Syaqib hati-hati. Syanum merasa pembicaraan ini adalah yang paling serius, paling sensitif yang pernah mereka bicarakan. Biasanya selalu bertukar kata lugas di depan orang ketiga atau banyak. Sedikit menepi seperti ini artinya pembicaraan pribadi. Syaqib baru mengenalnya, bahkan mereka tak sangat dekat. Yasmin saja yang sahabat Syanum tak tahu apa-apa tentang keluarga yang Syanum sembunyikan. “Bapak baru saja mengenal saya. Mengapa bertanya begitu?” Sebenarnya mereka kenal sudah cukup lama, tetapi rasa yang secara frontal muncul baru sejak peresmian kedai tiga hari yang lalu. Rasa yang membuat Syaqib tak khusyuk dalam ibadah dan tak fokus melakukan pekerjaan apa pun, menyerbu datang sekaligus. Syaqib tak tahan lagi. Bukan apa-apa, ia tahu hadis yang menyuruh jangan dekati zina, tetapi Syanum seperti sebatang kara, tak mendekatinya berarti menyerah begitu saja, sementara ada rasa yang ingin diperjuangkan juga. “Memangnya salahku kalau Allah menitipkan rasa di hatiku untukmu?” Syanum tersentak. Setelah diperjelas begitu, makin berat untuk mengakui kebenarannya. “Jangan dekati zina! Aku tau, Sya. Aku ingin begitu. Tapi gimana caranya, kalo yang mana Ayah kamu aja aku gak tau.” Syaqib cemas, “Apa kamu udah dikhitbah?” Syanum menggeleng. Jangankan untuk seorang laki-laki melamarnya, didekati saja Syanum belum ingin terbuka. Syaqib ingat sosok laki-laki yang waktu itu membuat Syanum terpesona. “Ada laki-laki yang kamu tunggu?” Untuk pertanyaan satu ini Syanum tak perlu berpikir dua kali. “Saya masih ingin sendiri.” Tak habis pikir Syaqib atas jawaban pelan yang Syanum katakan. Adam Alaihisalam saja tak mau di surga sendirian. Mana mungkin Syaqib mau di bumi sendirian. Setelah dianugerahi perasaan istimewa begini, mana bisa ia menyerah begitu saja. “Aku heran. Kamu tinggal sendirian. Kamu juga belum memikirkan pernikahan. Padahal safar untuk umroh atau haji saja seorang perempuan butuh mahromnya.” Syaqib diam sejenak. Ia terkesan menggurui Syanum, padahal yang ia inginkan hanyalah hati gadis tersebut dan informasi tentang orang yang bisa menikahkan mereka. “Maaf, aku hanya mengungkapkan apa yang kupikirkan,” tambahnya pelan. “Saya baru tau.” Syaqib takut Syanum marah atau malu atas kalimat pedasnya, tapi Syanum lebih memikirkan hukum safar dan umroh, bukan tindakannya yang hidup serampangan sendirian tanpa mahrom. Syanum tersenyum malu. “Yang saya tau, haji mabrur itu bentuk jihadnya wanita.” Rasanya ingin Syaqib mencubit pipi Syanum karena gemas akan jawaban ppolonya. “Kalo menikah menyempurnakan iman? Tau dong, Sya. Bukan golongan Rasulullah orang yang gak mau menikah.” “Aku tau!” balas Syanum kasar, tegas dan sedikit kesal. “Terus, kapan?” Syanum bergidik apatis. Dulu sudah pernah ada angan, sebelum tragedi mengakhiri semua perjuangan Syanum tentang mimpinya membangun rumah bahagia. “Besok, sama aku, mau?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD