bc

Bisikan Mantan

book_age18+
6
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
HE
goodgirl
drama
bxg
campus
small town
like
intro-logo
Blurb

Syaqib tak pernah menyangka jika cintanya akan berlabuh pada seorang gadis penjual bubur ayam. Dia sederhana, tetapi cantik dan saleha. Namun, setiap Syaqib ingin melamarnya Syanum terus menolak tanpa alasan. Belakangan Syaqib terkejut saat tahu alasan Syanum menolak sebenarnya. Akankah ia melanjutkan niat atau mundur teratur?

chap-preview
Free preview
Harapan Ummi
Air yang turun dari langit itu disebut hujan, nama lainnya berkah. Pokoknya berkah saja. Entah akan reda segera atau ia harus menunda datang lebih lama pada acara yang dirinya diharapkan hadir saat ini. Syaqib memandang jendela, tempat pemandangan hujan angin yang sebentar lebat sebentar hanya gerimis yang sulit diprediksi kapan akan berhentinya. Syaqib akhirnya menghubungi temannya Muslim, sekedar pemberitahuan bahwa ia akan telat menjemput dari rencana semula. “Mau ke mana, Nak? Tumben rapi banget.” Laki-laki berkemeja batik yang baru keluar kamar dan fokus pada layar ponsel itu jadi salah tingkah ketika disapa Ummi dengan tatapan setengah curiga. “Anu … teman ngundang Syaqib, Mi.” “Oh!” Beliau yang hendak menjauh tiba-tiba berbalik lagi. “Sama Muslim perginya?” Syaqib mengangguk. Muslim, salah satu teman yang ia bisa akrab dan kebetulan pula kedua ibu mereka pun bersahabat baik. “Heran Ummi, kenapa kalian berdua belum dijemput juga jodohnya? Banyak perempuan saleha di dunia ini, Nak. Masa sih gak ada yang pengen dijadiin istri?” Syaqib hanya tersenyum tanpa menjawab apa-apa. Ia tak nyaman jika harus sangat terus terang jika perempuan di hatinya saat ini memang tidak ada, kecuali Ummi saja. Syaqib sudah berdoa agar Allah dekatkan jodohnya, mau bagaimana lagi kalau Allah belum meletakkan cinta di hatinya pada lawan jenis secara istimewa. “Kamu beneran pergi sama Muslim?” Tanya beliau terdengar lagi. “Iya, Mi. Bentar lagi, nunggu hujan agak reda.” “Acara apa?” Syaqib melihat ibu angkatnya itu sambil berpikir sejenak. Sebenarnya yang langganan di kedai itu bukanlah dirinya melainkan beliau. Syaqib semata-mata hanya kurir yang membawakannya. “Peresmian kedai bubur ayam yang biasa Syaqib beliin untuk Ummi itu. Mau ikut, Mi?” “Boleh, siapa tau Ummi ketemu calon menantu yang cocok buat kamu,” sambut beliau berkelakar. “Aamiin!” seru Syaqib tulus apa adanya. “Ummi ganti baju sebentar.” Syaqib mengangguk. Telinganya masih jelas mendengar suara hujan di luar, pun dalam hatinya Syaqib meminta pula agar doa ibunya dikabulkan. Karena waktunya tepat, doa ketika hujan turun itu mustajab, doa dari seorang ibu kepada anaknya juga menembus langit. Syaqib yakin, jika sudah waktunya, jodoh itu akan hadir sangat jelas. Tak ada salahnya juga membawa beliau berjalan-jalan setelah doa baiknya untuk Syaqib dipanjatkan. Syaqib lalu duduk di sofa, saling berbalas pesan dengan sahabatnya Muslim. Di Kedai SumSumi, dalam ruangan pribadi yang bersih dan rapi. “Allahummaghfirlii, waa tub’alayya, innaka antat tawwabur rohim.” Kalimat terus menerus terucap sembari ibu jari tangan kanan menghitung ruas-ruas jemarinya. Sesekali pandangannya menunduk ke sajadah, kadang tertuju pada sinar yang menembus ruangan melalui jendela. Panggilan terdengar dari balik pintu, lalu terdengar pula daun pintu itu diketuk cepat. “Sya! Di luar udah lumayan banyak tamu yang datang! Udah siap belum?” Sepasang kaki yang tadinya diam terlipat kini beranjak mendekat ke sumber suara, lalu ia memutar kunci dan menarik turun gagang pintu di depannya. “Sebentar lagi, ya.” “Lima belas menit yang lalu kamu bilang gitu juga, Sya! Ngapain kamu sebenarnya?” Perempuan yang sedang diomeli itu malah tersenyum dengan wajah santai, “Salat. Duha dulu, Yas.” “Maasyaallah, Syanum! Kan bisa empat rakaat atau dua rakaat aja. Yang lain lagi sibuk kamu malah makin khusyuk.” Perempuan bermukena yang dipanggil Syanum mengangguk cepat sambil mengangkat telunjuknya ke depan bibir, “Iya, iya, iya, Yasmin. Aku pake hijab dulu, ya.” Yasmin yang kepalang kesal merengut, menyeka keringat di keningnya dengan ujung lengan gamis. Sementara Syanum melangkah masuk kembali diikuti Yasmin. Ia tak akan mengambil hati ucapan sahabatnya yang asal bicara itu. Syanum sudah biasa menolerir tindakan dan kalimat tajam Yasmin semenjak mereka nyaman bersahabat. Apalagi akhir-akhir ini, persiapan peresmian kedai mereka. Mungkin itu manifestasi dari bercampurnya pusing, bahagia, haru dan khawatir Yasmin dengan peresmian kedai yang akhirnya akan terjadi sejenak lagi. Syanum melirik jam tangannya, melepas mukena yang sudah ia lipat sembarangan di atas sajadah lalu mematut diri di cermin. “Masih ada sepuluh menit sebelum acara dimulai.” “Hari ini penting, Sya. Bukan sekedar peresmian, sekaligus promosi juga.” Syanum mengangguk. “Kalo acaranya berjalan lancar, media akan meliput kita. Terus, makin banyak yang tau dan berkunjung ke kedai kita,” lanjut Syanum meniru persis seperti yang disampaikan Yasmin saat gladi bersih dua hari yang lalu. Yasmin tersenyum lebar. Kekakuan di wajahnya sedikit memudar. “Aku harap acaranya berjalan lancar, baik, sesuai rencana. Aamiin,” ucapnya meletakkan tangan pada sandaran kursi yang Syanum duduki. “Aamiin. Insyaallah.” Syanum memoleskan lipstik berwarna naturalnya sekali lagi. Yasmin menampakkan wajah heran. “Harusnya kamu itu tampil, Sya. Pasti besok-besok banyak yang datang---“ Syanum mengangkat tangan kanan untuk menginterupsi. “Kita jualan makanan, Yas. Aku bukan termasuk jenis makanan.” “Kan keren, Sya. Kedai SumSumi, makanannya enak, menunya unik, pemiliknya cantik, tempatnya estetik.” “Enggak.” “Sekalian tebar pesona, Sya. Mana tau calon jodohmu juga datang,” goda Yasmin. “Ya, kan?” “Tebar pesona? Astagfirullah, Yasmin. Perempuan itu aurat. Gak perlu ditebar-tebar juga udah semerbak fitnahnya. Setiap perempuan keluar dari rumahnya, maka syaiton menghiasi dirinya. Bagus apanya dijadiin umpan sama syaiton.” Yasmin berkelit, “Tapi ini kamu gak perlu keluar rumah, Sya.” Syanum tersenyum lebar sambil menggeleng tak berkutik. “Laa hawla walaa quwwata illa billah.” Semuanya membahagiakan sampai tiba-tiba saja Syanum gentar saat ingin menuruni anak tangga. Pasalnya, di ujung sana beberapa orang dengan kamera siap menyambut dirinya. Syanum sendiri bukan termasuk perempuan yang amat sangat percaya diri untuk tampil di depan khalayak. Memotret diri sendiri saja ia tak suka. Apalagi saat banyak pasang mata fokus memperhatikan dirinya, Syanum merasa seolah dirinya tengah ditertawakan. Dengan perlahan dan hati-hati Syanum melangkah. Ia menganggukkan kepala dan tersenyum lebar kepada orang-orang yang menanti kedatangannya. Syanum sedikit merasa bangga atas kehidupannya hingga detik ini. Bukan semata bangga atas pencapaiannya, hanya saja hatinya dipenuhi syukur setelah melewati saat-saat berat dan terpuruk sebelumnya tanpa meninggalkan Allah. “Langsung saja ke tempat dudukmu,” bisik Yasmin. “Katanya ada yang mau ketemu sebelum acara mulai?” “Nanti,” potong Yasmin sambil memberi kode Syanum agar mengikutinya. Syanum tanpa protes mengekor di belakang Yasmin. Ia lalu duduk di tempat yang telah disediakan. Salah satu pegawainya beralih tugas menjadi pembawa acara. Beberapa kalimat diucapkan, doa, puji-pujian dan ucapan terima kasih mengawali pembukaan acara. Syanum menyimak sambil memperhatikan sekeliling di depannya. Cukup risi dengan cahaya kamera yang membuat pandangannya yang tak terbiasa seolah membuta. Syanum terus menerus memamerkan senyum manisnya meskipun tak begitu nyaman dirasa. Di pintu masuk, Syaqib di sisi kanan Ummi, sementara sahabatnya Muslim di sisi kiri beliau. Syukurnya hujan telah reda saat mereka akhirnya sampai pada acara pembukaan kedai tersebut. Seperti yang sudah Syaqib prediksi mereka terlambat dan tertinggal acara peresmian potong pita. Syaqib tersenyum begitu ia melihat sosok Yasmin yang nampak sibuk sekali, lalu pandangannya berhenti pada sosok tersenyum Syanum, pemilik kedai yang sedang beramah-tamah dengan tamu. Gadis itu memang sederhana sekali, selalu sederhana penampilannya. Yasmin malah tampak lebih berubah dandanannya daripada pemilik kedai itu sendiri. “Sya!” Ummi menyikutnya. “Iya, Mi?” “Tau deh kenapa Antum sering ke sini, Sya. Ada calon mantu Ummi ternyata di sini,” ujar Muslim kepada satu-satunya perempuan di tengah mereka. Ummi mendongak sambil tersenyum. “Siapa dia?” Tanya penuh arti beliau membuat Syaqib tergagap singkat. “Bu---bukan, Ummi. Dia Syanum, pemilik kedai ini.” “Iya, Sya,” bantah Muslim sambil jelas sekali mengoloknya. “Kalo bukan dia kamu pasti nanya lebih dulu, gadis mana yang Ummi maksud.” Syaqib benar-benar tak bermaksud begitu, tetapi … refleks saja jawabannya jadi begitu. Tadinya ia sedang mengamati Syanum, sampai lupa bahwa banyak gadis yang lebih mencolok hilir mudik di depan mereka, lebih dekat pula jaraknya. “Subhanallah, bukan Mus,” ujarnya terus menyangkal. Ummi tersenyum-senyum ikut memperhatikan sosok Syanum yang dimaksud putranya. “Cantik kok, kenapa gak mau?” “Cantik banget itu. Paling Syaqib udah ditolak, Mi.” Muslim yang menjawab dengan nada meremehkan, pun senyumnya makin lebar saja menguliti temannya secara tatap muka. Daripada ia lelah berkilah sia-sia, Syaqib lalu membawa mereka menuju gadis itu. Ucapan selamat dan tukar kata sapa singkat pun terjadi. Selagi beramah-tamah dengan mereka, tanpa sengaja, satu hal yang janggal terasa oleh Syanum. Jantungnya tiba-tiba saja berdebar cepat, sementara segala sesuatu yang ada di sekitarnya melambat sejenak. Syanum tertegun saat matanya menangkap sosok lelaki berjaket hitam dengan kaos putih berbalik menghadapnya di antara kerumunan. Dunia Syanum seolah berhenti sesaat, selagi menunggu senyum mengambang di wajah lelaki itu. Dan tepat saat pandangan mereka bertemu, Syanum tahu, dia adalah laki-laki yang sama dengan yang dulu membuatnya dimabuk asmara. Di lain sisi Syaqib menangkap kesan tersendiri, ia yakin jika Syanum tengah fokus pada satu sosok di antara tamunya. Selama ia mengenal Syanum, baru kali ini gadis itu tampak terpesona pada seseorang laki-laki. Saat Syanum kembali ke pembicaraan, pandangan mata Syanum dan Syaqib tak sengaja bertubrukan. Detik berlalu terasa lama meskipun singkat sekali apa yang terjadi. Kini benar-benar kata tak nyaman itu seutuhnya Syanum rasakan. Dunia seakan tengah mengepungnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.0M
bc

The Heartless Alpha

read
1.5M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
474.5K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
521.1K
bc

The Perfect Luna

read
4.1M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
613.6K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
473.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook