Keesokan harinya Aruna kembali berangkat ke sekolah seperti biasanya. Namun dengan perasaan dan pikiran yang terus menerus memikirkan Ravin. Saat sampai di dalam kelas, Aruna tak mendapati Ravin di tempat duduknya, padahal biasanya dia datang lebih awal dari dirinya. Awalnya Aruna tak merasa ada yang janggal dengan ha itu, sampai jam masuk datang, tapi Revin tak kunjung datang juga.
Aruna menoleh ke arah temannya yang ada di bangku belakang.
"Tau Ravin di mana nggak?"
Semuanya menggeleng, tampaknya mereka juga tak terlalu peduli dengan kondisi Ravin. Hingga tak berselang lama pak guru pun masuk ke dalam kelas. Kedatangannya saat itu sekaligus membawa kabar sedih, bahwa hari ini Ravin tak dapat berangkat ke sekolah karena sakit. Aruna jadi semakin khawatir dengannya, dia berpikir untuk menjenguknya nanti saat sepulang sekolah.
Jam istirahat kembali datang, seperti biasanya, Tasya dan yang lain selalu mengajak Aruna untuk pergi ke kantin bersama. Dan saat ini mereka tengah duduk di kursi kantin seperti biasanya, sembari makan beberapa makanan yang sudah mereka beli. Saat tengah asik berbincang dan bergurau, tiba-tiba saja datang salah seorang teman Tasya ke meja mereka.
"Tasya, ini ada kiriman barang dari kakak kamu, kemaren ngirimnya ke alamat aku ternyata."
"Oh makasih ya bi,"
Sebelum meninggalkan tempat itu, tiba-tiba saja dia berhenti dan menatap Tasya lekat.
"Kamu yang kemaren nolongin Ravin ya?" Tanyanya.
Dengan perlahan Aruna mengangguk mengiyakan pertanyaan itu. Tapi entah mengapa ekspresi dari laki-laki itu terlihat seperti tak suka saat mengetahuinya.
"Lain kali jangan deh," ucapnya sebelum akhirnya pergi dari sana.
Aruna mengernyit heran, kemudian dia menatap aneh ke arah Tasya. "Apa-apaan sih temen kamu."
"Duh maafin Arbi ya Run, dia cuma khawatir aja sama kamu."
Aruna menggeleng pelan, kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Tapi, kenapa kayanya makin lama kamu makin deket sama Ravin ya Run?" Tanya Tasya.
Seketika itu juga Aruna kembali menoleh ke arahnya, bola matanya berputar pelan. Lalu dia berdecak kesal, "ya gimana nggak, kita kan sebangku Tasya..."
"Tapi Run, kamu gak tau ya—"
Belum sempat Tasya menyelesaikan kalimatnya, bel masuk sudah berbunyi saja. Mereka pun akhirnya bergegas menghabiskan beberapa makanan yang belum habis, kemudian kembali masuk ke dalam kelas.
...
Tak terasa jam pulang kembali datang, kali ini Aruna tengah menunggu kedatangan ayahnya di gerbang sekolah. Hari ini dia berniat untuk menjenguk Ravin yang sedang sakit. Aruna juga sudah mencoba menghubunginya, tapi entah mengapa belum ada jawaban juga dari Ravin. Saat ayahnya datang, Ravin juga tak kunjung menjawab pesan darinya.
Sampai saat mereka berada di tengah jalan, tiba-tiba saja Ravin menjawab dengan satu kalimat singkat yang menurut Aruna cukup aneh.
"Makasih, tolong jangan dateng ke rumah."
"Heh?" Bingungnya.
"Kenapa sayang?"
Ayahnya berhenti sebentar, dan memarkirkan mobilnya di tepi jalan. Aruna pun langsung menunjukkan isi pesan itu kepada ayahnya. Beberapa kali dia mengangguk, kemudian mengembalikan ponsel Aruna, lalu mulai menjalankan mobilnya lagi.
"Kenapa gitu ya yah?"
Ayahnya diam sejenak. "Mungkin dia butuh waktu sendiri."
Aruna mengerti, hanya saja bukankah itu terlalu aneh. Apalagi pesan darinya semalam juga tak kunjung dibalas ataupun dibaca, baru saat Aruna mengirimkan pesan akan menjenguknya, barulah Ravin membalas pesannya.
...
Dua hari berlalu, akhirnya kali ini Ravin kembali berangkat setelah beberapa hari berdiam di rumah. Aruna merasa senang saat kembali melihatnya di dalam kelas. Tanpa sedikitpun rasa canggung, Aruna menyapanya, meskipun Ravin sendiri tak menanggapinya.
"Yo! Udah berangkat nih..."
"Gimana kemaren, emang sakit apa sih?" Tanya Aruna.
Ravin terus menunduk, entah apa yang dilihatnya di bawah sana, tapi mungkin menurutnya lebih menarik daripada Aruna yang ada tepat di depannya.
"Cuma demam," jawabnya singkat.
"Wah... kayanya gara-gara yang waktu itu ya, lagian kenapa kamu nolak pulang bareng sama aku sih?"
Ravin hanya diam, sampai akhirnya bel masuk kembali berbunyi. Hari itu pak guru menugaskan siswa dan siswi untuk mengerjakan tugas secara berkelompok. Untuk Aruna, itu adalah tugas yang mudah. Tasya dan yang lainnya sudah pasti akan mengajaknya, tapi tidak untuk Ravin.
Saat hampir semua anak murid mendapatkan kelompok, dia masih berdiam diri saja di tempat duduknya. Terus menunduk, seolah memang dia sendiri yang tak mau bersosialisasi dengan yang lainnya.
"Kasian..." Gumam Aruna pelan.
"Tasya, gimana kalo aku ajakin Ravin masuk ke sini?"
"Nggak!"
Tanpa berpikir dua kali, Tasya langsung menolak ide itu. Meskipun Aruna sendiri sudah tau jawabannya, tapi setidaknya dia sudah mencoba untuk membantu Ravin sedikit.
"Aruna, biarlah dia cari teman satu kelompok sendiri. Kalo dia terus diarahin, mau sampe kapan kita nuntun dia terus?"
Aruna mengangguk, benar juga apa yang dikatakan Tasya. Mungkin memang terkadang Ravin saja yang sungkan untuk berbicara dengan yang lain, padahal ada banyak anak sekelasnya yang mau merangkulnya.
"Kayanya anak-anak di kelas gak seburuk itu." Gumamnya pelan.
"Apa Run?"
Aruna menggeleng, lalu dia duduk di bangku yang sudah tersedia. Kemudian mereka mulai mengerjakan tugas itu, tanpa Aruna harus berpikir berlebihan tentang Ravin lagi. Setelah selesai, mereka langsung mengumpulkan tugas itu ke pak guru. Kemudian satu persatu dari kelompok yang sudah di bentuk, mulai melakukan presentasi di depan kelas.
Hingga akhirnya bagian Ravin datang, tapi kali itu dia hanya maju sendirian. Tak ada seorangpun yang menemaninya.
"Tasya lihat, dia masih sendiri. Tau gitu tadi aku ajakin dia..." Ucap Aruna berbisik.
Tasya yang mendengarnya berdecak kesal. "Itu salah dia sendiri Aruna, bukan kewajiban kita buat selalu bantuin dia. Kalo dia mau, dia juga pasti bisa dapet kelompok kaya yang lain."
"Tadi pak guru juga udah bantuin dia buat masuk ke kelompok lain, tapi lihat apa yang dia lakuin. Dia lebih milih buat sendirian, jadi itu pilihan dia."
Lagi-lagi apa yang diucapkan Tasya ada benarnya juga, tapi Aruna masih terus merasa tak tega melihat Ravin harus berdiri sendirian di sana. Atau mungkin itu semua hanyalah rasa kasihannya saja, seharusnya Aruna bisa lebih berpikir kritis lagi seperti Tasya dan yang lain.
Tugas kelompok sudah usai, anak-anak pun mulai kembali ke tempat duduk mereka masing-masing. Begitu juga dengan Aruna, dia kembali duduk tepat di samping Ravin.
"Ravin, aku boleh ngomong sesuatu ke kamu gak?"
Kali ini Ravin terlihat cukup tertarik dengan ucapan Aruna, dia sedikit menoleh ke arah Aruna.
"Apa?"
"Aku punya saran deh buat kamu,"
Ravin masih diam menunggu apa yang akan Aruna ucapkan padanya.
"Kayanya kamu harus lebih sering ngobrol sama yang lain deh." Ucap Aruna dengan ragu.
Kali itu Ravin tak merespon sedikitpun, dia hanya diam. Tapi kali ini dia kembali memalingkan wajahnya dari Aruna.
"Apa yang kamu tau soal aku, kamu baru duduk di sebelah aku beberapa bulan." Cicitnya pelan hampir tak terdengar.
"Hah?"
Sayangnya Ravin bukan tipikal orang yang akan mengulangi kalimatnya, dia terus diam, bahkan tak meladeni sedikitpun yang Aruna ucapkan atau lakukan kepadanya sepanjang pelajaran berlangsung, sampa jam pulang tiba.