Malaikat Maut

1605 Words
Esok harinya, Kavya bangun jam 4 subuh untuk menjahit pesanan baju pesta tetangganya. Ia harus menyelesaikan itu secepatnya agar bisa mendapatkan uang untuk melunasi hutang ibunya. Kavya tahu menjahit beberapa potong pakaian tidak akan mampu membayar hutang itu bahkan separuhnya saja tidak bisa menutupi semuanya. Suara kokok ayam berbunyi sebagai tanda fajar akan menyingsing. Gadis itu harus semangat bekerja atau hal buruk akan terjadi pada keluarganya. Mata Kavya memandangi ibunya yang masih tidur di ranjang. Rumah mereka tak luas sama sekali. Ruang tamu di jadikan kamar tidur untuk mereka bertiga, serta dapur kecil di dalamnya. Bangunan ini sebenarnya tak layak di sebut rumah. Ya, bentuknya yang teramat kecil berdinding papan dan beralas tanah. Mereka semua tidur tanpa ranjang, hanya beralaskan selembar karpet. Suhu udara yang dingin apalagi tanah yang lembab menyebabkan mereka merasakan kedinginan sampai menembus ke tulangnya saat di malam hari. Nasib tragis menimpa hidup mereka yang berada dalam garis kemiskinan. Ah, begitulah rasanya jika tak punya seorang pria sebagai tulang punggung. Kavya menangis mengingat semua kepahitan hidupnya. Air mata berderai di atas jahitannya, ia menangis sesenggukan. Dia menguap lebar-lebar menahan kantuk akibat sedikit tidur. Beberapa menit kemudian Kavya tak sanggup menahannya lagi dan menyandarkan kepala di mesin jahitnya. Pagi harinya dia terbangun dan melanjutkan jahitannya lagi yang tertunda. Satu jam kemudian pesanannya sudah selesai, ia bergegas melipatnya dan memasukkan ke dalam plastik. Ibunya sudah bangun dan memasak nasi di dapur. Kavya menghampiri Ria yang sibuk menyalakan api dengan meniupnya di dalam tungku yang terbuat dari tanah liat. "Ma, aku pergi dulu bawa pesanan Bu Odah. Dia pasti sudah menunggu pesanannya," ucap Kavya sambil tersenyum menatap wajah ibunya menempel sebuah arang hitam di jidatnya karena menepis keringat. "Hati-hati Kavya! Setelah kamu mengantar pesanan jangan pergi kemanapun." Ria memperingati anaknya agar mengingat pesannya. "Iya, Ma." Kavya mengangguk dan meninggalkan rumah. Ia menggayung sepedanya yang tampak usang. Sementara di rumah Ria mempersiapkan hidangan sarapan pagi. Ia mendengar ucapan salam dan ketukan pintu. "Assalamualaikum," "Waalaikumsalam, siapa itu?" jawab Ria membuka pintu. Di cukup kaget melihat sahabatnya yang datang setelah sekian lama. Ria terkejut melihat tampilannya yang sangat cantik. Tas mahal dan pakaian branded tidak menunjukkan kalau dia orang miskin yang tinggal di desanya. Dia bertanya-tanya dalam hati kenapa dalam sekejap bisa menjadi kaya raya. "Aku Lala sahabat kamu, Ria. Apa kamu sudah lupa sama aku ini?" Ia memeluk Ria yang terbengong di tempatnya. "Astaga, Lala ... Aku tidak percaya kamu secantik ini sekarang. Enak banget, yah hidup kamu sekarang. Ayo masuk!" kata Ria membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan dia duduk. "Maaf, yah. Lala aku tidak punya kursi di rumahku. Aku hanya memiliki satu-satunya karpet ini. Semenjak suamiku meninggal beginilah keadaanku." Ria bersedih malu pada sahabatnya karena kondisi rumahnya yang begitu sempit. "Tidak apa-apa, Ria. Aku tidak masalah dengan semua ini. Kedatanganku kemari hanya mampir, aku merindukanmu beberapa tahun tidak bertemu." Lala duduk di tikar dengan sopan. Matanya mengamati seluruh isi rumah ini yang cukup memprihatinkan. "Ngomong-ngomong, kamu kenapa bisa berubah seperti ini? Aku rasa hidupmu semakin enak sekarang," ucap Ria penasaran dengan sahabatnya itu yang tiba-tiba kaya. "Ceritanya panjang, aku menikah dengan orang kaya di China," bisik Lala di telinga Ria. Wanita itu langsung terkejut tidak menyangka Lala akan berubah seperti ini. Tiba-tiba Kavya sudah datang masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam. Lala menoleh dia terkejut melihat Kavya. "Kavya sini, Nak kenalan sama Tante Lala sahabat Mama dulu," ajak Ria dengan antusias. "Iya, Ma." Kavya mengulurkan tangan kemudian di sambut oleh Lala lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Ini anakmu Ria yang aku gendong dulu saat dia kecil? Kau cantik sekali sayang mirip orang China. Kulitmu putih dan mulus. Aku tidak menyangka kau punya anak semanis ini." Lala tersenyum puas memperhatikan sekali lagi pada Kavya yang cocok dengan targetnya. "Benar, dia anakku," Ria membetulkan perkataannya. Ia merangkul anak perempuan kesayangannya. "Ini adalah aset untukmu di masa depan," jawab Lala menoel dagu Kavya. Gadis itu merasa risih dengan tingkah Lala yang sedikit aneh. Ria hanya tersenyum, sedikit terbesit di dalam hatinya ingin menceritakan pada Lala mengenai permasalahan yang ia alami kemarin. Mungkin saja ia bisa membantunya meminjam uang. "Se-sebenarnya aku ingin meminta tolong padamu Lala," pungkas Ria terbata ragu mengatakannya. "Katakan saja. Mungkin aku bisa membantumu." Ria mulai menjelaskan semua yang di alaminya mulai dari pertamanya meminjam uang sampai rentenir itu datang menagih hutang di rumahnya. Ia menangis pada Lala, tidak tahu harus mengambil uang di mana lagi. "Ria uang sebanyak itu cukup sulit aku berikan padamu karena suamiku pasti akan mencarinya. Tapi, aku punya solusi itupun jika kamu mau menerimanya. Itu terserah padamu." Lala memulai aktingnya agar tampil natural. Mendengar itu Kavya senang ia mendekati Lala dan berkata akan siap dengan segala persyaratannya. "Katakan saja Tante bagaimana caranya. Aku tidak mau rumah peninggalan ayahku di sita," seru Kavya memohon pada wanita itu. Ria juga menyetujui ucapan Lala. "Dengan cara kamu menikah Kavya," ucapnya pelan. Kavya terkejut dengan ucapan Lala, di ikuti oleh Ria yang tidak mengerti. "Maksud, Tante apa?" "Begini Kavya, ada teman suami Tante dari China yang mencari seorang istri di Indonesia. Dia rela membayar mahar yang tinggi asalkan calon istrinya itu ikut bersamanya di China," Jelas Lala menawarkan ide piciknya itu. "Kenapa teman Tante tidak menikahi wanita di negaranya malah mencari seorang istri di Indonesia." Kavya menyindir Lala yang perkataannya tidak masuk akal. Dia tidak semudah itu percaya pada orang lain apalagi ini tawaran sebuah pernikahan. Kavya takut dengan segala kemungkinan yang terjadi di masa depan. "Kavya, sayang. Kamu tahu, Kan wanita di China itu pernikahan mereka sangat mahal? Dia tak sanggup mengeluarkan uang sebanyak itu karena dia hanya seorang pedagang. Mata uang kita Rupiah sementara mata uang mereka Yuan. Nominalnya itu tidak sama, Tante mengenal orang ini sangat baik. Kamu tidak akan menyesal menikah dengannya." Bujuk rayu Lala ia keluarkan semua agar Kavya mau menerima tawaran pernikahan itu. "Itu berarti aku menjadi pengantin pesanan?" tanya Kavya melototkan matanya. Istilah itu tidak asing di telinganya apalagi banyak orang yang tidak beruntung saat memilih menjadi pengantin pesanan. "Tepat sekali, kamu bisa bahasa Inggris?" tanya Lala lagi. "Iya, aku bisa bahasa Inggris. Sewaktu sekolah aku menjadi juara olimpiade bahasa Inggris." "Itu bagus, kamu tidak akan susah berkomunikasi lagipula pria ini berjanji jika mempunyai seorang istri dia akan mengajarinya bahasa Mandarin." Lala semakin menambah bumbu percikan kelihaiannya mempengaruhi Kavya yang polos. "Apa Tante pikir aku wanita bodoh? Menjadi wanita pengantin pesanan, lebih banyak yang berakhir buruk daripada bahagia. Aku tidak mau menderita apalagi meninggalkan ibuku di sini," ucap Kavya jengkel dia tahu modus dan maksud wanita ini. "Orang-orang hanya menakutimu, Kavya. Buktinya Tante baik-baik saja sekarang, suamiku sangat mencintaiku bahkan ketika aku meminta pulang ke Indonesia. Dia selalu setuju. Kavya nasib setiap orang tidak sama mungkin saja mereka tidak berperilaku baik makanya dia mengalami penyiksaan. Teman suami tante orang baik aku sangat mengenalnya selama bertahun-tahun." Penjelasan itu berhasil membuat Kavya kembali berpikir. Betul kata Lala, tidak semua orang bernasib sama mungkin saja dia mendapatkan suami yang baik. Ah, itu benar sekali. "Ta-tapi, aku takut hal buruk terjadi padaku." Kavya terbata takut mengambil langkah yang salah. "Tidak akan, aku jaminannya. Kalau sesuatu yang buruk terjadi kau bisa menelponku kapan saja. Aku akan mengantarmu pulang ke Indonesia. Aku janji." "Jangan pergi Kavya! Mama tidak akan mengijinkanmu apalagi kau tinggal di tempat yang jauh. Mama akan menangis setiap hari merindukanmu, Nak." Ria yang sejak tadi diam mulai bersuara. Kehilangan putri semata wayangnya itu begitu sulit. Tidak ada yang tahu hal buruk apa akan terjadi. "Ria mahar pria ini 100 juta. Kau bisa menebus rumahmu dan membuka usaha di desa ini. Aku rasa ini bukan ide yang buruk," ujar Lala mengelus lengan sahabatnya. "Apa kau pikir aku mau menjual anakku demi sebuah uang 100 juta? Aku tidak mau Lala." tangis Ria pecah tidak sanggup menahan kepedihan hatinya. "Kamu tidak menjual anakmu. Mereka menikah secara sah agama dan negara. Uang itu hanya bonus, kehidupan Kavya akan membaik jika menikah dengan orang yang tepat." Lagi-lagi Lala menenangkan wanita itu. "Apa kamu mau hidup gelandangan di kolong jembatan? Tidak, Kan? Aku hanya memberikan solusi untukmu. Jika kamu tidak mau, aku tidak masalah. Aku akan pulang sekarang juga," kata Lala jengkel bersiap untuk pergi. Ia berjalan keluar namun Kavya mengejar wanita itu. "Tunggu! Aku mau menjadi wanita pengantin pesanan asalkan kau bisa menjamin hidup Mamaku baik-baik saja di sini." Napas Kavya terengah-engah karena berlari. "Kavya jangan! Sampai kapanpun Mama tidak akan menyetujuinya." Ria begitu keras kepala dengan keputusan yang tak masuk akal. "Mama ... Kavya sudah besar sekarang aku tidak mau rumah ini di sita. Biarkan aku berkorban satu kali ini saja. Semua akan membaik Kavya janji. Jika aku tinggal di sana, aku bisa mengirimkan Mama uang untuk membuka usaha toko menjahit kita." Kavya meyakinkan Ibunya. Dia sudah memutuskan untuk menerima tawaran Lala yang bisa mengubah nasibnya. Ria tak bisa berbuat apa-apa lagi, keputusan Kavya sudah bulat. Dia pasti tak mau mendengarkannya lagi. Ia memeluk anaknya yang mau berkorban untuknya. "Tante aku menerima tawaran itu," ujarnya berusaha tegar. "Pilihan yang bagus aku akan menelpon teman suamiku dan kalian bisa bertemu dan berbincang sebelum menikah. Kau perlu mengenali dirinya juga. Besok aku akan kesini memberitahumu bagaimana kelanjutannya." Lala senang semua rencananya berjalan mulus. Sebenarnya Lala seorang mak comblang yang mencari mangsa agar para wanita mau menjadi pengantin pesanan. Lala mendapatkan bonus dua kali lipat dari mahar sang pria China berikan. Dia sudah menekuni profesi pekerjaannya ini selama dua tahun. Dia ingin punya banyak uang secara instan itu sebabnya dia mengambil jalur ini. Sudah banyak wanita yang di pengaruhinya bahkan mereka selalu berakhir tragis. Semoga nasib Kavya akan membaik, karena tuntutan ekonomi yang membuat para wanita tergiur dan memilih jalan yang salah. Ini akan menjadi pelajaran untuk semua orang agar tak mempercayai siapapun yang menawarkan langkah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD