Ketiadaan Gema

1435 Words
Satu bulan berlalu, keadaan Gema belum juga ada perubahan. Pria itu layaknya mayat hidup. Bertahan hanya dengan bantuan alat-alat medis yang membuatnya masih tetap hidup. Erina Manno, ibu dari sepasang saudara kembar tersebut juga jatuh sakit. Akibat terlalu memikirkan soal putranya—Gema. Gama mulai terjun mengorek informasi mengenai Pradipta—Ketua Direktur, yang pernah bekerja sama dengannya. Pria itu kini dinyatakan menghilang tanpa jejak, setelah kecelakaan yang menimpa Gema sang adik. Namun, Gama adalah orang yang sangat cerdik. Hingga ke dasar laut sekali pun, pria itu pasti akan menarik musuhnya keluar dari tempat persembunyiannya. “Rupanya kau mau bermain-main denganku Pradipta!” ucap Gama dengan wajah menyeringai bak iblis. Gama meraih salah satu ponsel di lacinya, dan berniat menghubungi seseorang yang entah siapa. “Hallo, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” tanya seseorang dari seberang telepon. “Cari tahu seluk-beluk Pradipta Arganata. Dua kali dua puluh menit, aku sudah harus menerima informasinya secara detail!” ujar Gama penuh penekanan. Membuat wajah seseorang di seberang telepon sana, seketika menjadi pucat pasi. “Ba–baik, Tuan.” Gama mematikan sambungan teleponnya. Pria itu beralih menatap satu lembar pas foto yang tercecer di meja kerjanya. Gama mengeraskan rahangnya. Mata elangnya menatap penuh kebencian pada ke empat orang yang berada di foto tersebut. Foto yang tak lain dan tak bukan, adalah foto Pradipta dan tiga anggota keluarganya. Gama yang tengah diliputi amarah kembali tersadar. Ketika salah satu dari ponselnya mengeluarkan dering. “Selamat siang, Tuan. Saya mau memberi kabar tentang keberadaan Tuan Pradipta, beliau kini tengah berada di Negara bagian timur bersama beberapa bodyguard-nya Tuan,” jelas seseorang dari seberang telepon. Seperti biasa, ketika mengangkat atau menelepon seseorang, Gama tak suka jika dirinya yang harus lebih dulu menyapa. “Bagus, kau memang bisa diandalkan Jaka. Awasi terus gerak geriknya, jangan sampai orang suruhanmu ketahuan. Jika ada celah, tabrak si tua bangka itu. Pastikan dia mengalami hal yang sama dengan adikku. Buat dia lumpuh total. Kau mengerti?” jelas Gama dengan wajah arogansi miliknya. “Baik, Tuan. Saya paham. Saya akan mengabari Tuan lagi, soal perkembangannya nanti.” Setelah sambungan telepon terputus, Gama menyunggingkan senyum penuh arti. “Hitung mundur, menuju kehancuranmu Pradipta!” tutur Gama dengan suara berat. Tiga hari kemudian, Gama mendengar kabar dari Radit asistennya. Bahwa sang adik Gema telah tiada. Kabar yang mengejutkan membuat Gama hampir terserang penyakit jantung. Pria itu membabi buta di kantornya, sebelum akhirnya ia pergi ke rumah sakit. “Tidak, Gema jangan tinggalkan ibu, Nak!” Gama yang baru saja tiba di depan ruang UGD sang adik, mendengar jeritan memilukan dari sang ibu. Membuat kedua tangannya mengepal sempurna. “Selamat siang Tuan,” sapa semua bodyguard berpakaian hitam yang berjejer di depan ruangan Gema. Langkah Gama perlahan membawanya memasuki ruangan yang dipenuhi oleh isak tangis sang ibu. Bola mata Gama memerah menahan tangis. Ketika melihat jasad seorang pria berwajah serupa dengannya, terbujur kaku di hadapannya. Wajah tampan Gema pucat pasi, dengan banyak luka di sekujur tubuhnya. Pemandangan memilukan tersebut, membuat Gama semakin menyimpan dendam pada seseorang yang telah membuat sang adik demikian. Tersadar dari pikirannya, Gama melangkah menghampiri sang ibu. “Ibu.” Gama mengusap lembut pundak sang ibu. “Gama, adikmu sudah pergi. Anak nakal itu meninggalkan kita, Nak,” Erina menatap ke arah Gama dengan tatapan mengadu. “Iya, Ibu. Maafkan aku Bu. Aku tidak bisa menjaga Gema untuk Ibu.” Gama memeluk sang ibu, dan terisak di pelukan wanita setengah baya tersebut. “Tidak Gama. Ini bukan salahmu, Nak. Berhentilah menyalahkan dirimu!” ujar Erina. Wanita itu mengusap lembut surai sang putra. Merasa tak tega melihat salah satu putranya yang lain, seperti kehilangan jati dirinya sendiri. “Gema, kenapa kau meninggalkan kakak secepat ini. Kau sungguh tega Gema, kau membuatku menghadapi dunia ini seorang diri,” ucap Gama sembari mengusap wajah sang adik. Tak dapat lagi membendung kesedihannya, Gama akhirnya terisak. Sekuat apa pun dia, jika menyangkut keluarganya pada akhirnya pria itu juga akan lemah. “Gama sudahlah, Nak. Biarkan adikmu tenang di sana bersama ayah kalian. Ayo Nak, kita akan segera membawa adikmu pulang!” ajak Erina. Wanita tersebut berusaha setegar mungkin. Meski jelas terlihat, air wajahnya memancarkan kesedihan yang amat sangat mendalam. Gama dan Erina berada dalam satu mobil yang disopir oleh Radit. Suara sirene ambulans terdengar ke seluruh penjuru kompleks perumahan elite. Sepanjang jalan menuju rumah, Gama termenung dengan ingatan lampau yang kembali berputar tentang sang adik di kepalanya. Hari itu duka yang mendalam menyelimuti keluarga Afchar. Banyak kerabat dan rekan bisnis Afchar Group yang datang, mengucapkan bela sungkawa atas kepergian salah satu pewaris Afchar. Termasuk seorang pria berpakaian hitam yang berdiri tak jauh dari sudut pagar mansion, dengan topi yang hampir menutupi seluruh wajahnya. “Bos, perawis bungsu Afchar sudah tiada,” ucap seseorang tersebut sembari mendekatkan ponsel ke telinganya. Jasad Gema dikebumikan di makam khusus, tempat di mana Mahendra Afchar—sang ayah, dikebumikan. Gama selalu memeluk tubuh rapuh Erina, ketika menghantarkan Gema ke tempat peristirahatan terakhirnya. “Tenanglah di sana Gema. Aku berjanji, akan membalas dalang dari semua ini. Kupastikan, ia akan bernasib sama denganmu.” Gama berucap dalam hati sembari menatap batu nisan Gema. Di sisi lain, seorang gadis yang tengah menonton televisi pagi itu menjadi gaduh seorang diri. Ketika salah satu siaran televisi menayangkan berita yang membuatnya terkejut. “Astaga ... itu ‘kan, pria yang waktu itu memberiku buket bunga. Tak disangka, umurnya sangat pendek. Untung saja aku tak menerimanya, jika tidak, aku akan menjadi seorang janda.” Gadis tersebut menatap fokus ke arah televisi sembari memangku bungkusan keripik singkong. “Kasihan sekali, pasti saudara kembarnya sangat terpukul,” gumam gadis tersebut. “Sudahlah menonton, Dek. Ayo kita pergi membawa ibu cek up hari ini. Lagi pula, besok kamu sudah harus kembali ke Jerman!" seru seorang pria yang diduga adalah kakak dari gadis itu. “Kak, lihatlah! Pengusaha terkenal itu meninggal dunia,” ujar gadis tersebut. “Iya, mereka kembar. Sepertinya dia adiknya, yang dikabarkan mengalami kecelakaan tunggal satu bulan yang lalu. Sudahlah, cepat bersiap!” ujar pria itu lagi, yang dibalas anggukan oleh gadis tadi. Kembali kepada Gama, pria itu memilih mengurung dirinya di ruang kerja, setelah pulang dari pemakaman sang adik. Ruangan yang ia anggap penuh dengan kenangan Gema. Tok! Tok! Tok! Gama kembali mendapat kesadarannya, ketika seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya dari luar. “Selamat malam, Tuan. Saya membawakan data-data soal keluarga Pradipta Tuan.” Radit membungkukkan tubuhnya. “Duduklah!” titah Gama. “Begini Tuan. Tiga anggota lain yang berada di foto tempo lalu, adalah istri dan kedua anak Pradipta,” jelas Radit. Gama terus menyimak apa yang dijelaskan oleh Radit. “Istrinya dikabarkan sakit, dan tengah menjalani perawatan. Anak pertamanya seorang pria, bernama Erick Arganata yang bekerja di Arganata Group. Sedangkan seorang gadis di samping Pradipta, itu adalah putri bungsunya yang bernama Liana Anatasya. Gadis itu tengah menempuh pendidikan di salah satu Universitas Kedokteran terbaik di Jerman,” jelas Radit lagi. “Lalu, siapa gadis ini?” tanya Gama sembari memperlihatkan sepasang sejoli di layar ponselnya. “Dewi Tuan, gadis itu adalah kekasih Erick,” sahut Radit. Jawaban Radit berhasil mengundang seringai di bibir Gama tersungging. “Berikan data-data soal gadis itu. Jika Gema pernah patah hati karena ditolak putrinya. Maka akan kubuat putranya merasakan hal yang sama seperti Gema.” Gama menatap lurus dengan wajah dingin. Ya, Gama sudah mengetahui sosok gadis yang telah memorak-porandakan hati adiknya dulu. Ia adalah putri bungsu Pradipta, Liana Anatasya. “Tuan, tapi menurut informasi yang saya dapat. Gadis bernama Dewi itu sangat menyayangi dan setia kepada Tuan Erick,” jelas Radit, membuat senyum di bibir Gama spontan memudar. “Kau meremehkan kemampuanku?” tanya Gama dengan tatapan tajam. “Ti–tidak, Tuan.” Radit menundukkan kepalanya. “Lagi pula gadis itu sangat cantik,” celetuk Gama. “Dasar Tuan, matamu itu memang tak pernah salah jika menilai wanita,” ucap Radit dalam hati. “Aku akan blacklist data-data tentang Erick. Agar ketika Arganata Group hancur lebur, dia tidak akan bisa lagi bergelut di bidang bisnis. Dengan begitu ia akan jatuh miskin, dan aku bisa dengan mudah merebut Dewi darinya,” jelas Gama. “Kau memang cerdas Tuan,” puji Radit lagi dalam hati. “Radit, setelah si tua bangka itu hancur, aku akan menjebloskannya ke dalam sel tahanan. Lalu, aku mau kau menculik putri bungsu Pradipta, bawa gadis itu ke vila yang berada di bagian barat. Buat berita seakan-akan gadis itu hilang ditelan bumi. Kau mengerti?” tanya Gama kepada Radit. “Mengerti Tuan,” sahut Radit. “Sekarang, keluarlah dari sini!” titah Gama. Sepanjang jalan, Radit bergidik ngeri membayangkan perkataan Tuannya. Mungkin, jika ia berkhianat. Ia akan bernasib sama dengan Pradipta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD