Bab 1

3043 Words
Aku mencintaimu. Sampai bertemu besok malam di pesta. Itu adalah pesan terakhir yang diterima Alby dari tunangannya, Jovanka Lovata, sebelum dikabarkan menghilang. Keluarga Jo melaporkan kepada pihak berwajib tentang hilangnya putri mereka setelah tidak ada kabar selama dua puluh empat jam dari Jovanka. Siang itu Jo pamit kepada kedua orang tuanya untuk bertemu dengan teman-temannya, katanya mereka akan makan siang bersama. Namun sampai malam tiba, Jo belum juga pulang ke rumah. Saat dihubungi ponselnya tidak aktif, selalu pesan dari operator yang menyahut. Khawatir dan curiga, orang tua Jo mendatangi kafe yang dituju putri mereka, tetapi mereka tidak menemukan Jo di sana. Bahkan saat teman-teman Jo dihubungi, mereka juga tidak tahu-menahu. Terakhir mereka bertemu Jo setelah makan siang. Tidak adanya kabar dari Jo membuat orang tuanya melaporkan kasus hilangnya putri mereka kepada pihak berwajib. Dugaan sementara Jovanka Lovata telah diculik, karena petugas menemukan ponsel dan tas tangan milik Jo tidak jauh dari kafe tempat Jo makan siang. Hilangnya Jo tidak hanya memukul keluarganya, tetapi juga Alby, sang tunangan. Alby Daviandra Sanjaya, pria berusia dua puluh lima tahun pemilik Diamond Cafe adalah putra tunggal dari Alvian Abimana Sanjaya dan Karina Debora Sanjaya. Alby dan Jovanka sudah beberapa tahun menjalin kasih dan mereka berniat untuk meresmikan pertunangan. Malangnya Jovanka menghilang tepat sehari sebelum pesta berlangsung. Alby yang tidak percaya kalau tunangannya menghilang begitu saja ikut mencari bersama petugas. Alby yakin kalau Jovanka pasti bisa ditemukan. "Mas Alby, masih belum ditemukan apa-apa soal Mbak Jovanka, Mas," lapor salah seorang anak buah yang ditugaskan Alby untuk menyelidiki kasus Jo. Selain ikut mencari bersama petugas kepolisian, Alby juga meminta orang-orang ayahnya untuk menyelidiki. Sementara dirinya mengikuti perkembangan kasus melalui hasil laporan itu dari rumah. Alby tidak menjawab, tidak juga mengangguk ataupun menggeleng sebagai respon. Pria bertinggi badan lebih dari enam kaki itu bergeming. Mengerti kalau bos mudanya kesal dan kecewa, pria yang melapor tadi langsung membungkuk setengah badan mohon diri. Dia tidak ingin menjadi pelampiasan kemarahan Alby. Emosi bos muda kurang terkontrol beberapa Minggu belakangan ini. Seiring dengan belum ditemukannya nona Jovanka. Jangankan ditemukan, kabarnya saja tidak terdengar. Alby mengepal kuat. Sudah lebih dari dua Minggu, tapi Jovanka masih belum ditemukan. Alby menyalahkan pihak berwajib yang dinilainya lamban dalam menanggapi kasus ini. Pihak berwajib bahkan akan membekukan kasus ini kalau dalam empat minggu tidak didapat kemajuan. Mendengarnya Alby semakin berang, karena itu dia minta bantuan sang ayah untuk mengerahkan anak buahnya ikut mencari keberadaan Jovanka, yang sayangnya sampai sekarang masih belum ditemukan apa-apa. Bahkan sampai beberapa Minggu setelahnya, Jovanka tetap tidak ditemukan. Perempuan berusia dua puluh empat tahun itu seolah raib ditelan bumi. Ditambah dengan tidak adanya bukti dan saksi, membuat hilangnya Jovanka menjadi misteri. Sebenarnya, kasus penculikan ini merupakan pekerjaan rumah yang berat bagi pihak berwajib. Karena penculikan bukan hanya menimpa Jovanka, tetapi juga beberapa orang lain di daerah yang berbeda. Hanya yang paling menonjol adalah kasus Jovanka, mungkin dikarenakan keluarga Jo merupakan salah satu keluarga terpandang sehingga kasusnya menjadi sedikit lebih heboh. Selain itu juga karena hilangnya Jo seahari sebelum pesta pertunangannya berlangsung. Suara ketukan di pintu tidak mengagetkan Alby. Pria itu tetap.pada posisinya semula, tangan terkepal di atas meja. Sesosok perempuan memasuki ruang kerja yang tanpa penerangan. Siluetnya terlihat sangat anggun melangkah menghampiri Alby. "By, kamu udah makan, Sayang?" Suara lembut Karina Sanjaya membelai gendang telinga Alby. Namun Alby tetap bergeming, tak merespons pertanyaan dari ibunya. "Mama nggak mau kamu sakit. Kalo kamu sakit nanti nggak bisa lagi ikut nyari Jo. Kamu makan ya, Sayang? Mama suapin ya?" bujuk Karina. Beberapa detik masih tak ada jawaban. Karina menggeleng pelan. Kekeraskepalaan Alfian menurun kepada putra mereka. Alby tidak akan mau menyentuh makanannya kecuali dia yang menginginkan. Dalam beberapa Minggu terakhir Alby sangat kurang makan. Dia lebih suka mengurung diri di dalam kamar ataupun ruang kerjanya, kalau tidak berada di apartemen. Bahkan kafe miliknya sekarang dikelola sepenuhnya oleh sang manajer. Beberapa Minggu terakhir ini Alby malahan tidak pernah menjenguk kafe-nya. Alby menggeleng. "Aku nggk lapar, Ma." Suara pertama Alby sejak beberapa jam yang lalu. Terdengar serak dan berat, juga sedikit putus asa. Karina menghela napas berat. "Coba sedikit aja, ya?" Karina masih terus membujuk. Dia tidak ingat n putranya sakit karena masalah ini. "Beberapa suap aja." Akhirnya Alby mengangguk juga. Terpaksa. Dia tidak ingin membuat sang mama cemas. Senyum ibunya adalah yang paling berharga, apalagi di saat seperti ini. Alby membuka mulut, membiarkan sendok demi sendok makanan masuk ke dalam mulutnya. Sungguh rasanya tawar tetapi dia tetap menelannya. Alby tak ingin senyum hangat di wajah mama surut. "Udah, Ma, Alby udah kenyang." Alby menggeleng, menolak suapan terakhir mama. Karina mengembuskan napas pelan. Masih tersisa separuh, tapi tak apalah yang penting sudah ada makanan yang masuk ke dalam perut putranya. "Ya, udah, kalo gitu mama beresin ya?" Alby mengangguk, meletakkan gelas air putih yang sudah kosong di atas nampan. Dia tadi sudah meminumnya. "Kamu mending istirahat, By. Udah malam lho ini," ucap Karina sambil membereskan peralatan makan Alby tadi. Karina tak yakin kalau Alby akan menuruti saran dan kata-katanya, yang penting dia sudah menyarankan. Alby kembali tak menyahut, dia hanya mengangguk dan menyunggingkan senyum tipis sebagai respons. Sekali lagi Karina mengembuskan napas melalui mulut. Sikap Alby yang memang sudah dingin sekarang semakin menjadi-jadi. Senyumnya juga semakin sulit dilihat. Sepertinya saat hamil Alby dia lupa untuk tersenyum. "Mama keluar dulu ya?" Karina mengusap rambut legam putra semata wayangnya, mengecup dahi Alby lama. "Kamu balik ke kamar ya, Sayang. Istirahat!" Alby hanya menggumam. Terlalu malas menjawab perkataan mama. Lagipula dia tidak ingin berbohong dengan mengatakan iya, padahal dia tidak akan ke mana-mana, tetap di ruang kerja saja. Dia masih berjaga-jaga, siapa tahu ada laporan dari salah satu anak buah atau petugas kepolisian tentang kasus ini. Sungguh, Alby tidak ingin kasus ini ditutup. Kalau sampai hal itu terjadi, dia akan menuntut para aparat hukum itu dengan tuduhan tidak becus dalam bekerja. Penyelidikan kasus ini tidak boleh dihentikan apalagi sampai dibekukan yang berarti dianggap tidak ada. Jovanka harus ditemukan. Seandainya saja diperbolehkan, Alby pasti akan turut serta mencari. Sayangnya tidak. Jangankan ikut mencari, keluar rumah saja dia dikawal oleh sang mama. Mobil juga sopir yang menyetir, tidak boleh dikendarai sendiri. Mama terlaku mengkhawatirkannya. Mama menilai kondisi emosinya sedang tidak stabil sekarang, karena itu harus selalu ditemani. Seminggu yang lalu Alby melayangkan protes. Bukannya dituruti kunci mobilnya justru disita sang ayah, padahal mobil itu dibeli Alby dengan hasil jerih payahnya sendiri. Sampai sekarang papa masih belum mengembalikan kunci kontak mobilpadanya. Alby hanya ingin ikut mencari Jovanka. Mungkin dengan dia terjun langsung ke lapangan, dia dapat menemukan barang bukti atau apa pun itu yang berhubungan dengan kasus penculikan ini. Kekhawatiran mama yang berlebihan menjadi hambatan bagi Alby. Sekarang, ke mana pun dia pergi, mama selalu ingin ikut. Seolah dia anak kecil saja. Alby menyandarkan punggung ke belakang, kepalanya mendongak dengan mata terpejam rapat. Semua kenangannya bersama Jo kembali berkelebat, baik itu kenangan indah maupun kenangan yang menyedihkan. Masa pacaran tujuh tahun bukanlah waktu sebentar, mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Apalagi mereka berteman sejak di sekolah dasar, tentu mereka sangat dekat. Memutuskan untuk bertunangan empat bulan yang lalu dan meresmikan pertunangan tiga bulan setelahnya. Sayang bahagia tidak berpihak pada mereka. Jo hilang tepat sehari sebelum pesta pertunangan mereka berlangsung. Awalnya keluarga dan polisi menduga ini hanya masalah dua irang kekasih yang saling bertengkar. Jo mungkin ingin menyendiri dulu sebelum pertunangan mereka diumumkan. Awalnya dia juga menduga demikian. Namun dugaan mereka semuanya dipatahkan dengan ditemukannya ponsel dan tas tangan Jo di dekat kafe tempat Jo makan siang bersama teman-temannya. Memang sepertinya kedua benda itu sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya, tapi beberapa hari kemudian diketahui kalau Jo buoanlah kasus orang hilang satu-satunya. Beberapa kasus serupa juga ditemukan di beberapa tempat yang sama. Kepala Albu rasanya mau pecah memikirkan semua ini. Tidak mungkin Jo melarikan diri darinya, mereka tidak bertengkar ataupun ada masalah, hubungan mereka baik-baik saja. Jo pasti diculik, tapi siapa yang menculiknya sampai sekarang masih menjadi misteri. Tidak ada permintaan tebusan dan lain sebagainnya sebagaimana kasus penculikan yang sering dilihatnya di film-film dan televisi. Seolah Jo pergi sendiri. "Jo, kamu di mana?" Seiring dengan pertanyaan lirih menyerupai bisikan itu, obsidian Alby terbuka. Tangannya terangkat mengusap wajah kasar, mengembuskan napas dari mulut sama kasarnya, Alby berdiri. Mungkin menuruti perkataan mama untuk beristirahat di kamar tidak buruk. Dia memerlukan tidur lelap malam ini. *** Alvian Sanjaya mengusap wajahnya. Pria berusia pertengahan lima puluh itu menarik napas panjang. Perkataan kepala polisi yang menangani kasus hilangnya Jovanka sedikit membuat jantungnya melompat di tempatnya. "Bisakah kalian menambahkan waktu lagi?" pinta Alvian lirih tapi masih bisa didengar oleh dua orang petugas polisi di depannya. Salah seorang dari petugas itu, yakni yang memimpin penyelidikan, menggeleng lemah. "Maafkan kami, Pak. Tim kami sudah berusaha tetapi tidak mendapatkan hasil apa-apa." Alvian menengadah, menatap langit-langit ruang kerjanya yang berwarna keemasan. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat beberapa menit. Alvian sengaja meminta para perwira ini datang pada jam sekarang ini, saat putranya kemungkinan besar sudah mengurung diri di kamar atau di ruang kerjanya. Alvian tidak ingin Alby mengetahui tentang kedatangan para petugas ini. Apalagi mereka menyampaikan berita yang kurang baik. Alvian takut kalau-kalau Alby mengamuk mendengarnya. "Menurut prosedur, kasus akan ditutup kalau dalam waktu empat sampai lima minggu tidak ada kemajuan." Alvian mengangguk lemah. Mata tuanya yang biasanya bersinar tajam menatap luruh pada dua orang pria di depannya. Alvian paham, mereka berdua harus memtaati prosedur. "Aku mengerti," jawab Alvian. "Hanya saja ... bisakah kalian tidak mengatakan apa-apa kepada putraku?" pintanya. "Dan bisakah kalian juga mengatakan diam-diam saja kepada keluarga Lovata? Agar putraku tidak tahu. Masalahnya aku tidak ingin putraku tau dan mengamuk." Kedua petugas mengangguk. Mereka juga mengerti, mereka pernah beberapa kali bertemu Alby Sanjaya. Emosi pria itu mudah meledak, padahal dari luar Alby terlihat dingin. "Tentu saja, Pak. Anda tidak perlu khawatir, kami mengerti." "Terima kasih." Alvian mengembuskan napas lega melalui mulutnya. "Aku sangat menghargai bantuan kalian." "Tidak masalah, Pak. Ini memang sudah menjadi tugas kami." Kedua petugas itu tersenyum ramah. Siap pun orangnya pasti mengenal Alvian Sanjaya. Salah satu pebisnis ulung Indonesia. Pemimpin Sanjaya Group yang bergerak di bidang real estate dan perhotelan. Diusianya yang sudah kepala lima, Alvian Sanjaya masih aktif memimpin beberapa perusahaannya. Sementara Alby lebih memilih membuka usaha sendiri. Alby memilih kuliner untuk dijadikan usaha, dan berhasil. Diamond Cafe milik Alby menjadi salah satu kafe favorit di ibukota. Alvian berdiri, mengulurkan tangan kepada kedua petugas dari kepolisian pusat itu. "Sekali lagi terima kasih," ucap Alvian ketika mereka berjabat tangan. Kedua petugas kembali mengangguk, nyaris bersamaan. Mereka senang bekerja sama dengan Alvian Sanjaya. Pria itu tidak menyulitkan petugas, malah bekerja sama dengan mereka. Alvian juga tidak seperti orang kaya kebanyakan, dia termasuk orang yang ramah kepada orang yang dianggapnya teman. "Kami permisi , Pak." Alvian mengantarkan kedua tamunya sampai di depan pintu ruang kerja. Segera kembali ke dalam begitu seorang pelayan di rumahnya mengambil alih mengantr kedua petugas keluar. Alvian tidak sadar kalau Alby sejak tadi mendengarkan semua pembicaraan mereka. Alby tahu kalau penyelidikan akan dihentikan seminggu lagi kalau seandainya tidak ada hasil. Alby mengepal. Melangkah cepat menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Alby membanting pintu kamarnya kuat. Kesal dengan ayahnya yang menyetujui penghentian penyelidikan, padahal Jovanka masih belum ditemukan. Alby mengusap wajah, membaringkan tubuh kasar di atas tempat tidur berukuran king size dengan kasar. Memejamkan mata, bayangan Jovanka kembali melintas. Alby memgerang, membuka mata dengan cepat. Dia sangt merindukan Jovanka sekarang, mereka tidak pernah tidak bertemu dan tidak berhubungan selama ini. "Astaga, Jo! Kamu di mana? Kenapa sampai sekarang nggak ada kabar?" Alby duduk, tangannya yang terkepal memukul tempat kosong di sampingnya. Kesal dan marah menjadi satu, membuat wajah tampan itu memerah. Alby sangat ingin keluar rumah, seandainya ibunya tidak melarang sudah dilakukannya sejak tadi. Dia sangat penasaran dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang itu sehingga sampai sekarang masih tidak menemukan apa-apa. Bukankah sidik jari di tas tangan Jovanka yang tertinggal sudah cukup untuk dijadikan bukti? Lalu, kenapa penyelidikan akan dihentikan dan kasus akan ditutup? Kalau seperti ini, Jo tidak akan ditemukan sampai kapan pun. Alby kembali membaringkan tubuh kasar. Kedua tangannya meremas rambut hitamnya frustasi. Dia harus melakukan sesuatu, mungkin menyelidiki secara diam-diam? . . . . . . . . . . . . . . . Setahun kemudian.... Perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu tergesa memasuki kantornya. Hari ini adalah hari pertama dia bekerja di kesatuan pusat setelah setahun bekerja di daerah. Rasanya sangat tak terbayangkan saat surat pemindahan tugas diterimanya. Dia tidak menyangka kalau akan dipindahkan ke pusat. Kegembiraan yang sebentar lagi akan berubah menjadi memalukan, karena dia terlambat. Zeline Zekisha mempercepat langkah. Lima menit lagi acara penyambutan akan dimulai. Akan sangat tidak lucu kalau dia justru telat hadir. Penyambutan itu bukan hanya untuknya tetapi juga untuk seorang lagi. Dari selentingan kabar yang dia dengar, orang itu juga intel sepertinya. Zeline berharap semoga mereka ditempatkan dalam tim yang sama, agar pekerjaannya menjadi lebih mudah. Bukankah dua kepala lebih cepat menyelesaikan masalah? Zeline meringis, dia benar-benar terlambat. Ketika tiba di aula, acara sudah dimulai. Atasan langsung memperkenalkannya sebagai salah satu anggota kesatuan mereka. Atasan juga mengenalkannya kepada dua orang pria yang akan menjadi rekannya. Mereka adalah Prasetyo Riyadi dan Buana Chandra. Khusus untuk Buana Chandra, pria itu seusia dengannya. Buana baru lulus dari akademi tahun ini, dia petugas junior. Mereka bertiga mendapatkan satu ruangan yang sama. "Selamat datang, Zeline. Aku harap kita bisa bekerjasama dengan baik." Prasetyo mengulangi sesi penyambutannya. Sebagai petugas senior, dia merasa harus melakukan hal itu lagi. Zeline mengangguk. "Terima kasih, Pak!" sahutnya. "Iya, selamat datang, Zeline. Mohon bimbingannya." Buana ikut-ikutan. Posisinya sebagai petugas junior membuatnya merasa harus bersikap lebih sopan kepada mereka yang lebih senior. Begitu juga terhadap Zeline. Meskipun Zeline seusia dengannya tapi dia sudah berpengalaman dalam bekerja. Berbeda dengannya yang baru lulus tahun ini. Zeline mengangkat sebelah alis mendengar sambutan kedua rekan barunya. Menurut zeline, mereka berdua sangat lucu. Yang satu terlihat kaku dan yang satu begitu santai dan kocak, begitu kontras. Zeline yakin dia tidak akan merasa bosan kali ini. "Aku juga masih perlu bimbingan, Buana." Zeline tersenyum. "Jadi kita sama-sama saling bimbing ya?" Buana tersenyum lebar, mata hitamnya berbinar. "Wah, benaran nih? Nggak ada istilah senior-junior kan ya?" Zeline mengangguk. "Nggak perlu!" tegasnya. "Iya kan, Pak?" Zeline bertanya pada Pras yang sejak tadi hanya mengawasi mereka dengan mulut tertutup rapat. Pras tidak menjawab, tidak juga mengangguk ataupun menggeleng. Yang dilakukannya hanya mengangkat bahu kemudian duduk di kursinya. Zeline dan Buana saling pandang, sama-sama mengangkat bahu dan tertawa kecil tanpa suara. Namun mereka segera menghentikan tawanya, atasan memasuki ruangan mereka. Zeline dan Buana segera menegakkan tubuh mereka dan mengjormat. Pras juga melakukan hal yang sama. Pria itu berdiri dengan cepat begitu melihat atasannya. "Selamat bergabung, Zeline, Buana." Kedua orang itu mengangguk bersamaan. "Saya belum menyambut kalian secara pribadi." "Terima kasih, Pak!" Zeline yang menyahut. Sementara Buana hanya diam, hanya senyum lebar saja menghiasi wajah tampannya. Buana adalah seorang pria muda berkulit sawo matang. Tingginya sekitar enam kaki. Rahang tegas, alis tebal, dan mata hitam yang selalu tersenyum. Buana adalah tipe penebar ceria. "Saya tau mungkin ini masih terlalu dini bagi kalian, terutama Zeline dan Buana buat bekerja. Masalahnya kasus ini tidak bisa menunggu." Kepala kepolisian pusat bernama Hartono Sudibyo, pangkatnya komisaris besar. Pak Hartono terlihat tegas dan santai pada saat bersamaan, tapi tidak mengurangi kewirausahaannya. "Sebagai petugas senior di sini, Pras pasti sudah tau kasus apa ini." Pak Hartono meletakkan sebuah map berisi berkas kasus di atas meja. "Kasus penculikan terhadap beberapa orang setahun yang lalu." Zeline mendengarkan dengan seksama. Dia tahu betul tentang kasus penculikan itu. Waktu kasus itu terjadi, dia masih berstatus sebagai intel junior. Kasus itu sempat viral karena penculikan hampir terjadi di waktu bersamaan. "Saya ingin kalian memecahkan kasus yang sudah mengendap ini." "Tapi, Pak, bukannya kasusnya udah ditutup ya?" Pras menggeram tertahan mendengar pertanyaan Buana. Menurutnya pertanyaan itu tidak berbobot. Pak Hartono menaikkan sebelah alisnya menatap Buana, membuat pria yang ditatap itu langsung menundukkan kepala takut-takut. "Kasusnya kembali dibuka, Buana, dan saya minta kalian untuk menangani kasus ini." "Siap, Pak!" Zeline dan Buana berjengit mendengar jawaban Pras yang sangat bersemangat. Mereka menatap pria itu bingung. Pras terlalu antusias, pikir mereka. "Baiklah kalau begitu." Pak Hartono mengangguk. "Saya menunjuk Pras sebagai ketua tim ini." Pak Hartono menunjuk Pras kemudian menepuk bahunya sebelum meninggalkan ruangan mereka. Buana langsung duduk di kursinya, menghela napas lega sekaligus kesal. Lega karena atasan mereka yang ternyata mengerikan sudah keluar dari ruangan, kesal karena Pras menerima kasus yang diberikan kepada mereka. Buana tahu, seharusnya dia bersemangat karena ini adalah kasus pertamanya. Namun, semangat itu menguap mengetahui kaalu kasus yang akan ditangani adalah kasus penculikan setahun lalu yang belum terpecahkan. "Kenapa bapak menerima kasusnya sih?" tanya Buana lesu. Zeline tak menyahut, hanya menatap Buana saja. Lagipula bukan dia yang harus menjawab pertanyaan itu, melainkan Pras. Buana tadi bertanya padanya. Pras mendelik tajam. "Saya tidak pernah menolak setiap kasus yang diberikan kepada saya. Kamu mengerti?" Buana mengerjap beberapa kali mendengar betapa kaku dan formalnya jawaban Pras. Zeline yang melihatnya hanya mengikik geli. Benar bukan kalau kedua rekannya begitu kontras? "Maaf bertanya, Pak." Zeline mengangkat tangan. "Tapi, apa bapak tau kenapa kasus penculikan kemaren itu ditutup? Apa karena bukti-bukti belum ketemu?" Pras menghela napas kemudian mengangguk. "Lalu sekarang kenapa dibuka lagi? Apa bapak yakin kita akan mendapatkan bukti?" Pras berdecak. Pertanyaan Buana lagi-lagi dinilainya tidak berbobot. Pertanyaan yang tidak perlu untuk ditanyakan, karena dia juga tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Mereka belum memulai kasus ini, tapi sepertinya Buana sudah pesimis saja. "Kamu kalau tidak berminat dalam kasus ini bisa mengundurkan diri. Saya akan dengan senang hati menandatangani pengunduran diri kamu agar kami secepatnya mendapatkan pengganti." Datar dan langsung menuju sasaran. Sepertinya Pras memang tipe yang seperti ini, tak suka berbasa-basi. Jujur saja, Zeline lebih suka dengan orang seperti Pras. Namun tidak dapat dipungkiri, rekan seperti Buana bisa menghidupkan suasana. Memiliki rekan seperti Pras dan Buana membuat hidupnya lebih berwarna. Buana menggeleng cepat. "Tidak, Pak!" sahutnya secepat gelengan kepalanya. "Saya menerima kasus ini!" Zeline memalingkan muka, menyembunyikan tawa. Buana hanya badannya saja yang besar, tetapi nyali sebesar semut. "Bagus!" Pras menepuk bahu Buana kuat. "Kalau begitu jangan bertanya lagi!" "Siap, Pak!" Pras mengangguk. "Bagus!" Buana juga mengangguk. "Baik, Pak!" "Zeline!" Zeline menatap Pras sebagai jawaban. "Bagaimana denganmu? Apa kau sudah siap?" tanya Pras. Zeline mengangguk mantap. Kasus apa pun dia sudah siap untuk menanganinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD