Bab 2

2026 Words
Senyum manis Jovanka masih menghiasi layar ponsel Alby begitu ponsel itu menyala. Foto yang sama sejak setahun yang lalu, pria itu tak pernah menggantinya. Bukan karena ia tidak memiliki foto yang lain, tapi karena ia memang tidak menginginkannya. Meskipun sudah setahun berlalu sejak peristiwa pen*ulikan itu terjadi, ia tetap yakin kalau Jo pasti akan ditemukan, dan Jo masih hidup. Sekarang ia hanya bisa berharap Jo dalam keadaan baik-baik saja dan semoga orang-orang suruhannya segera menemukannya. "Kamu di mana, Jo?" Alby bertanya pada foto Jovanka yang dijadikan wallpaper ponselnya. "Kasih aku petunjuk di mimpi aku buat nemuin kamu biar kita segera ketemu. Aku kangen kamu, Jo." Selalu kata-kata yang sama dan berulang-ulang. yang diucapkan Alby. Sejak pihak berwajib membekukan kasus ini, ia nyaris patah semangat. Ditambah orang-orangnya yang juga belum menemukan bukti ataupun jejak tunangannya. Seandainya saja tidak ada kedua orang tuanya yang mendukung, mungkin ia sudah dirawat di rumah sakit jiwa karena depresi. Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ia jatuh bangun memupuk agar semangatnya tetap menyala seperti biasa, agar ia tidak menyerah, dan terus mencari keberadaan Jo. Alby akui bulan-bulan pertama adalah yang tersulit. Apalagi setelah kasus pen*olokan itu ditutup dan dibekukan. Seandainya saja bisa sudah akan dituntutnya para petugas itu. Sayangnya, semua ada prosedurnya, dan mereka hanya mengikuti jalannya prosedur tersebut. Semua menjadi serba salah baginya. Ia uring-uringan, semua pekerjaannya tak terurus. Sampai Mama turun tangan untuk mengelola kafenya. Manager kafe yang dipercayainya ternyata seorang penjahat. Pria b******k itu berusaha menggelapkan uang keuntungan kafe, dan menggunakan untuknya sendiri. Beruntung Mama segera mengetahui sehingga kecurangan itu terungkap dan Diamond Cafe terhindar dari kebangkrutan. Sekarang ia sudah mulai bisa menerima keadaan, meski belum berdamai sepenuhnya. Setidaknya ia sudah kembali bekerja seperti biasanya. Tidak seperti waktu biasa memang, ia hanya bekerja pada siang hari, malam hari fokus pada pencarian Jovanka. Bukan dirinya yang mencari, masih anak buah papanya. Namun, ia selalu bersiaga di depan ponsel dan laptop. Sampai sekarang Mama masih mengawasinya. Pergerakannya di kafe masih terbatas. Ada beberapa orang penjaga yang ditugaskan Mama untuk menjaganya saat ia pergi ke kafe atau ke mana pun. Ia benar-benar terkekang satu tahun belakangan ini. Alby memeriksa jam digital di atas meja kerjanya. Selain jam dinding, ia juga memakai jam digital di atas meja di ruang kerja. Ia adalah seseorang yang konsisten terhadap waktu, pulang dan tiba harus tepat kalau tidak ia akan uring-uringan tak jelas. Jovanka sudah mengetahui kebiasaan buruknya ini, dan selalu berusaha datang selalu tepat waktu setiap mereka berjanji. Sebab itulah ia sangat mencintai Jo, dan tetap berusaha mencarinya meskipun kasus pen*ulikan terhadapnya dibekukan, bahkan dianggap tidak ada. Jam digital sudah menunjukkan angka nol, empat, tiga, dan lima. Artinya tidak sampai setengah jam lagi ia akan pulang. Alby lebih memilih pulang ke rumah sama seperti orang-orang yang bekerja di kantor. Walaupun ia bisa pulang kapan saja, ia tetap berkomitmen di jam yang sama. Sudah beberapa bulan ini ia melakukannya, terhitung sejak ia kembali menangani kafenya. Manik mata Alby kembali fokus pada layar ponsel, kembali menatap foto Jovanka yang terpampang di sana. Tak peduli dengan dadanya yang terasa sesak, ia kembali hanyut pada kenangan masa lalu bersama tunangannya. "Aku kangen kamu, Jo." Alby mengusap wajah kasar. Menyeka sudut matanya yang berair. Ia selalu menjadi cengeng bila berurusan dengan masalah ini. Kerinduan pada tunangannya yang memuncak, kekhawatiran akan keselamatan Jovanka selalu membuatnya menjadi lemah. Alby melirik jam digital sekali lagi. Sudah hampir jam lima, tinggal lima menit lagi. Ia mulai bersiap untuk pulang. Meskipun kafe akan lebih ramai saat menjelang malam, Alby tetap pulang setiap sore hari. Ia tak ingin membuat Mama khawatir adalah alasan yang selalu diungkapkannya setiap kali ada yang bertanya. Padahal itu hanyalah alasan kedua. Yang pertama tentu saja karena ia bisa lebih mudah memantau perkembangan pencarian Jo yang dilakukan oleh anak buahnya. Kalau untuk kekhawatiran Mama itu terlalu berlebihan, seolah dirinya bayi saja. Seperti pada jam pulang kerja setiap harinya, sore ini pun lalu lintas sama macetnya. Mobil Alby harus merayap di antara ratusan atau bahkan ribuan kendaraan lainnya yang memadati jalan. Kondisi seperti ini tidak terlalu bagus untuknya, ia akan pulang terlambat tiba di rumah. Alby memukul setir setelah lima menit mobilnya masih belum bergerak, Entah apa yang terjadi di depan sana sehingga kemacetan semakin merajalela. Tiga jam kemudian baru Alby tiba di rumahnya. Ia langsung menuju kamarnya di lantai dua, dan lebih memilih untuk makan malam di dalam kamar saja. Alby menyelesaikan mandi dan makan malamnya dengan cepat, ada yang ingin memberinya kabar malam ini. Semoga saja kabar yang dibawa orang itu adalah kabar baik. Duduk di atas tempat tidur dengan laptop di pangkuan sudah menjadi kebiasaan Alby selama setahun terakhir. Ia sering seperti ini bila, akan lebih mudah baginya menyandarkan punggung apabila merasa lelah. Seperti yang dilakukannya sekarang. Punggungnya menempel pada beberapa buah bantal yang ditumpuk ke atas. Sementara jari-jarinya menari di keyboard laptop mengetikkan sesuatu. Tepat puku sepuluh malam, panggilan video yang dinanti Alby tiba juga. Dengan bersemangat ia menjawabnya. Ia memang seperti ini, selalu bersemangat saat menanti semua yang berhubungan dengan Jovanka. "Apa ada yang kamu temukan?" tanya Alby langsung tanpa basa-basi. Satu lagi kebiasaan buruk Alby yang kata Mama hasil turunan dari Papa, ia tidak suka dengan pembicaraan yang berliku. Kalau bisa langsung ke pokok bahasan, kenapa harus membicarakan sesuatu yang tidak penting terlebih dahulu? Wajah di dalam layar laptop terlihat sedikit murung. Alby sudah hafal dengan reaksi tidak menyenangkan itu. Orang suruhannya tidak mendapatkan apa-apa. Alby mengembuskan napas kuat melalui mulut. Ia harus menelan kekecewaan lagi untuk yang entah sudah ke berapa kali. Rasanya sungguh sangat menyesakkan. Meskipun sudah terbiasa tetap saja ia merasa semuanya menyakitkan. "Maafkan saya, Pak! Kami sudah mencari ke sua tempat tapi tetap tidak menemukan satu pun bukti tentang keberadaan Nona Jovanka." Alby membuang muka melihat wajah itu tertunduk. Kegagalan untuk yang kesekian kali. Ia kecewa, tapi tetap tak membuatnya menyerah. Ia akan terus mencari Jo sampai menemukannya. Alby memutuskan sambungan tanpa mengatakan apa pun. Ia menutup laptop, meletakkannya di atas nakas di sebelah kiri –nakas sebelah kanan sudah dipenuhi pigura kecil berisi foto Jovanka dan dirinya, juga ponsel, dan sebuah jam digital yang selalu membangunkan tidurnya setiap pagi tiba. Alby merapikan bantal lantas berbaring dan memejamkan mata perlahan. Ia tidak ingin tidur, belum mengantuk. Ia hanya mencoba membayangkan apa yang terjadi padanya dalam setahun belakangan. Perubahan sikapnya dari yang sudah dingin dan jarang bicara menjadi semakin seperti es. Banyak yang merayu dan menggodanya, tetapi tak pernah berhasil, ia tidak pernah menanggapi mereka. Baik sebelum apalagi sesudah kejadian buruk yang menimpa Jo. Kehilangan Jo membuatnya membangun dinding es di hatinya, tanpa ia sadari. Yang semakin lama semakin tebal dan berdiri dengan kokoh. Tidak ada yang dapat meruntuhkan dinding itu kecuali tunangannya, Jovanka Lovata. *** Perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu memencet pangkal hidungnya. Dua baru saja selesai mempelajari berkas-berkas kasus yang diberikan kepada timnya tadi pagi. Kasus pen*ulikan yang telah terjadi setahun lalu memang sempat viral, tapi entah kenapa kasus itu dihentikan di tengah jalan. Sepertinya karena minimnya barang bukti untuk mengungkap kasus itu, juga karena kasus berjalan di tempat selana lebih dari enam minggu. Sekarang kasus itu dibuka lagi. Mungkin ada beberapa keluarga korban yang memprotes kinerja kepolisian negeri ini atau mungkin mengancam atau apalah, sehingga kasus yang sudah beku selama nyaris satu tahun kembali dibuka. Kasus pelik ini merupakan pekerjaan rumah bagi timnya yang baru saja dibentuk tadi pagi. Juga merupakan sebuah tugas yang sangat penting untuknya. Tugas pertama, tapi sudah serumit ini. Bukankah itu artinya atasan memercayai mereka? Semoga saja dia dan timnya berhasil. Sebab kalau tidak, akan sangat menyebalkan. Kemungkinan besar akan kembali mencoreng nama pihak berwajib karena kegagalan untuk yang kesekian kali. Zeline Zakeisha merapikan beberapa lembar berkas sebelum berdiri dan melangkah ke arah tempat tidur. Dia sangat lelah hari ini, seluruh tubuhnya terasa seperti dipukuli orang sekampung. Padahal dia tidak bekerja di lapangan seperti biasa. Pekerjaan lapangan akan dimulai besok –mungkin. Dia juga tidak tahu karena semua di bawah bimbingan pria berwajah batu yang bernama Prasetyo Riyadi. Mengingat pria itu membuatnya kesal saja. Beruntung pangkat mereka sama sehingga pria itu tidak akan bisa menindasnya. Namun, sepertinya Pras bukan orang seperti itu. Pria itu terlalu kaku untuk menjadi seorang penindas. Semoga saja. Berbaring setelah seharian duduk dan berdiri ternyata sangat nyaman. Zeline baru mengetahuinya sekarang. Meskipun dia lebih banyak menghabiskan waktu di luar daripada di kantor, tapi tak pernah rasanya senyaman ini saat berbaring. Mungkin hal ini disebabkan karena dirinya terlalu tegang tadi siang. Membiasakan diri dengan orang-orang dan lingkungan baru ternyata tidak semudah yang dia kira. Zeline menarik selimut. Tangannya terulur ke arah nakas, meraih jam digital dari sana. Dia ingin tahu pukul berapa sekarang. Zeline mengembalikan jam itu ke tempat semula setelah melihat empat buah angka di sana. Sudah lewat dari pukul sepuluh malam, sudah waktunya dia untuk tidur. Sebagai seseorang yang bekerja di bawah pimpinan, dia harus tiba tepat waktu di kantornya. Celakanya tadi pagi dia terlambat. Yang lebih buruk lagi, selain hari pertama bekerja, tadi pagi juga diadakan penyambutan untuknya yang merupakan petugas baru. Beruntung mereka –para rekan kerja dan atasannya– mengerti, ibu kota yang selalu macet menjadi alasan utama keterlambatan seseorang. Ini adalah pertama kalinya Zeline ke ibu kota setelah bekerja selama dua tahun di kepolisian di daerah asalnya. Dipindahkan karena promosi kenaikan pangkat adalah sesuatu yang sangat hebat, terutama bagi dirinya yang masih bau kencur. Bila dibandingkan dengan petugas yang lain, dirinya hanyalah anak bawang. Usianya juga sangat muda, tidak akan ada yang percaya kalau pangkatnya sudah bukan tamtama lagi. Dia baru berusia dua puluh tiga tahun, usia yang seharusnya baru memasuki zona dewasa. Hanya karena keuletan dan kegigihannya dia bisa berada di sini, dengan pangkat yang lebih tinggi. Zeline memejamkan mata setelah menguap untuk yang kesekian kali. Dia harus tidur sekarang agar besok bisa bangun lebih pagi. Dia tidak ingin terlambat untuk yang kedua kali, tak ingin malu lagi. Sungguh, rasanya sangat menyebalkan saat kau mendapatkan kenaikan jabatan kemudian selalu terlambat tiba di tempat bekerja yang baru. Rasanya sangat tidak profesional, seolah dia lari dari tanggung jawab saja. Itu adalah hal yang buruk baginya. Zeline menggeleng sekali, mengusap wajah, dan memeluk gulingnya erat. Tak lama, dengkuran halus menghiasi kamar itu. . . . . . Udara pagi ini terasa lebih dingin dari sebelumnya, membuat siapa pun akan betah bergelung dalam selimut dan melanjutkan berkelana ke alam mimpi. Namun, tidak bagi Zeline, dia sudah bangun tidur sejak beberapa menit yang lalu, dan sekarang masih berada di dalam kamar mandi. Dia baru selesai membersihkan tubuh. Bukannya Zeline tidak merasa kedinginan seperti penduduk ibu kota lainnya. Hanya saja dia sudah terbiasa dengan suhu seperti sekarang sehingga tidak masalah baginya untuk mandi bahkan tanpa air hangat sekalipun. Menggigil memang, tapi –sekali lagi– dia sudah terbiasa. Kalau di cuaca yang lebih dingin dari ini dia bisa bertahan, kenapa sekarang tidak? Tubuh mulus itu hanya dibalut selembar handuk kecil yang hanya bisa menutupi dari d*da sampai sebatas pangkal paha. Setengah berlari Zeline menuju lemari dan mengenakan pakaian tergesa. Dia kedinginan. Zeline memilih kaus ketat berlengan panjang sebagai atasan dipadu dengan jaket Boomber berwarna hitam, celana jeans model pensil, serta sepasang sepatu sneaker berwarna putih. Bukan warna kesukaannya sebenarnya, tapi lebih pantas dikenakan saat bekerja. Pakaian yang dikenakannya juga sebenarnya kurang pantas untuk dikenakan seorang yang bekerja di kepolisian, tapi dia merasa lebih nyaman mengenakan pakaian seperti ini karena tugasnya di lapangan, bukan di dalam ruangan. Pukul tujuh pagi Zeline sudah siap untuk berangkat ke kantor. Kalau kemarin dia berangkat dati rumah menuju kantor pukul setengah delapan, sekarang dia berangkat lebih pagi. Sungguh, dia tak ingin mengulangi kesalahannya untuk yang kedua kali. Selalu bekerja di tempat asalnya yang tidak terlalu macet membuatnya lupa kalau ibu kota memiliki volume kendaraan terbanyak di Indonesia. Tidak ada mobil, Zeline hanya memiliki sebuah skuter matik yang selalu menemaninya selama dia tahun ini bekerja. Hadiah dari Papa saat dia lulus dari akademi. Kendaraan ini adalah satu-satunya yang dia miliki. Meskipun mampu membeli sebuah kendaraan roda empat, dia tak melakukannya. Menurutnya menaiki kendaraan itu lebih ribet dari kendaraan yang dimilikinya sekarang. Kendaraan roda dua lebih praktis, juga memiliki body yang lebih langsung sehingga memudahkan untuk menyalip bahkan sebuah mobil sekalipun. Pukul tujuh lewat lima menit, Zeline meluncur ke tempatnya bekerja. Untuk menyelidiki sebuah kasus penting yang sedang menunggunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD