Walaupun telat, Cyra menyempatkan dirinya datang ke rumah makan tempatnya bekerja. Ia menyapa sebagian pekerja di sana sebelum pergi ke ruang ganti. Cyra memang terlihat seenaknya datang sesuka hati ke tempat kerjanya tetapi sebenarnya tidak begitu.
Rumah makan tempatnya bekerja bukanlah rumah makan pertama. Di sini rumah makan cabang kedua dari si pemilik, pemiliknya yaitu anak dari tetangga Cyra. Kakak Mira nama si pemilik usaha yang telah mempercayakan satu usaha miliknya untuk dikelola oleh Cyra.
Cyra memang bukan anak yang berpendidikan tinggi. Bahkan ia baru saja memulai menempuh pendidikan itu dan itu tidak ada kaitannya dengan bisnis, ekonomi, dan sebagainya. Sangat jauh bahkan dari pekerjaannya sekarang. Cyra hanya berpikir jurusan yang dipilihnya saat ini, jurusan yang paling mudah ia tempuh hanya dengan modal ia hobi membaca saja. Hanya sekedar hobi ia sudah merasa pandai berbahasa, padahal kenyataannya tidak. Suka dan ingin mengenal lebih jauh, apa salahnya coba? tidak ada yang salah tentunya.
Kakak Mira memilih Cyra sebagai manager di rumah makan cabang miliknya karena ia merasa Cyra mempunyai jiwa dalam berbisnis. Pasalnya dari kecil Cyra tak pernah malu berjualan, baik di sekolah atau pun di pinggir jalan. Kakak Mira mengagumi kerja keras Cyra dan menurutnya Cyra juga pribadi yang jujur. Jadi, tak ada salahnya mempercayakan usaha miliknya kepada Cyra. Di sisi lain ia tak punya orang lain yang bisa dipercaya. Suami sibuk dengan pekerjaannya dan orang tua sudah bersama Tuhan. Cyra tetangga sekaligus orang yang sudah dianggap adik sendiri oleh kakak Mira. Percaya bukan berarti menyerahkan sepenuhnya. Seminggu sekali Kakak Mira akan mengunjungi rumah makan tersebut untuk mengajari serta memantau kinerja Cyra dan beberapa pekerja yang lain.
Kebanyakan pekerja di sini, anak tetangga yang dikenal baik oleh Cyra dan Kakak Mira. Mereka berdua tak sembarangan memilih juga. Hanya yang serius bekerja dan mempunyai niat sukses bersama lah yang pantas bekerja bersama mereka.
"Maaf, hari ini aku sedikit telat, Kak."
Cyra masuk ke ruangannya, ia mendapati Kakak Mira di sana yang sedang memantau komputer di meja kerja Cyra.
"Tak apa Cyra. Aku mengerti tentang kesibukan perkuliahanmu," balas Kakak Mira disertai senyum di wajahnya.
"Bukan sepenuhnya karena pelajaran kuliah sih Kak."
"Lalu?" Mira menghentikan pekerjaannya memantau laporan keuangan bulanan rumah makan miliknya.
"Yah, sedikit bermasalah dengan Dosen."
"Kau tidak membuat masalah, 'kan?" Mira menaikkan satu alisnya, ia mencurigai Cyra berbuat tidak-tidak selama di kampus. Bagaimana ia nanti lapor pada Ibu Cyra ketika pulang ke rumah? padahal ia telah meyakinkan Ibu Cyra jika Cyra akan baik-baik saja di sini. Cabang kedua miliknya memang jauh dari cabang pertama, jauh juga dari rumah. Mira meminta Cyra untuk tinggal di kos saja yang dekat rumah makan sekaligus kampus. Alasan Mira memperkejakan Cyra di sini salah satunya itu, Cyra mau masuk kampus di daerah sini juga. Sedangkan Ibu Cyra tetap bertetangga dengan Mira. Otomatis nanti saat ia pulang, ia pasti ditanyai mengenai kabar Cyra. Duh, semoga Cyra tidak berbuat macam-macam takut Ibunya nanti khawatir.
"Tidak ada yang perlu dipusingkan, Kak. Dosenku saja yang aneh. Suka nuduh orang yang tidak-tidak."
Lega rasanya Mira mendengar hal itu. "Memangnya apa yang ia tuduhkan?" tanya Mira, ia jadi penasaran, ingin tahu.
Cyra yang tadinya berdiri di samping Cyra, menarik kursi di depan meja kerja agar ia bisa duduk di samping Mira. "Aku dikira suka sesama jenis loh, Kak."
"Suka sesama jenis?" Mira langsung tertawa mendengarnya. Tawanya memenuhi ruangan di mana mereka berada. "Kok bisa? lucu sekali, Cyra."
"Apanya yang lucu, Kak. Semua itu gara-gara temanku. Kakak tahu Nessie, 'kan? dia 'kan begitu suka manggil semua orang dengan panggilan sayang. Mungkin dari situ, Dosenku jadi aneh pikirannya, perlu di sapu karena terlalu kotor," jelas Cyra secara menggebu-gebu. Ia masih tak terima loh dituduh penyuka sesama jenis.
Tawa Mira sudah mereda, tinggal senyumannya saja. "Ya, Nessie memang begitu. Temanku juga banyak yang panggil begitu, menurutku itu biasa saja."
"Nah, Kakak saja bisa mengerti. Kenapa Dosenku tidak coba?" keluh Cyra seraya memijit pangkal hidungnya. Ia jadi pusing sekarang, semoga saja migrainnya tidak kumat.
"Orang beda-beda Cyra. Jangan-jangan Dosen kamu tidak terlalu suka bersosialisasi. Tapi maklum juga sih, pertemanan antar laki-laki itu beda sama pertemanan antar perempuan. Coba bayangkan jika sesama laki-laki panggil sayang, pasti dipikiran orang aneh sama kayak pikiran dosen kamu bahkan bisa saja dipandang lebih buruk," nasehat Mira. "Kamu tidak perlu menyalahkan dosen kamu, tidak perlu memikirkannya juga seiring waktu akan hilang kok pikiran itu dari dosen kamu. Tinggal buktikan saja, kamu tidak seperti yang dia pikir."
Cyra mendesah lelah sembari menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang ia duduki. "Aku jadi menyesal hari ini. Aku berniat meluruskan kesalahpahaman itu, eh, aku sama Nessie yang kena hukum. Harusnya aku tidak datang ke ruangannya tadi. Otakku benar-benar sudah konslet kayaknya, Kak."
"Tak apa, ambil pelajarannya saja," ujar Mira, ia mengelus bahu Cyra guna menyemangati agar Cyra tak putus semangat. "Lagipula, baru tiga bulan kamu masuk kampus juga kok, anggap saja ada kerikil kecil yang harus kamu lewati. Jalan orang tak selamanya mulus bukan?"
"Tak suka aku begini, Kak." Cyra kembali menegaskan tubuhnya, semangatnya mulai tumbuh lagi. "Ucapan Kakak Mira itu benar terus. Tidak suka aku."
Mira terkekeh kecil atas tingkah Cyra. Ada-ada saja, selalu begitu usai dinasehati. Meski bertingkah, Cyra sangat mendengarkan setiap nasehatnya. Cyra anak yang nurut, Mira menyukai itu.
"Tentu saja aku benar. Aku sudah hidup 12 tahun lebih lama darimu."
"30 tahun hanya angka di Kakak, Mah. Meski udah punya anak, punya suami, masih awet muda," ucap Cyra, ia menangkup wajahnya dengan menunjukkan raut cemberut. "Lihat aku, usia memang masih muda, sayangnya wajahku tua."
"Hei, siapa yang bilang? Kamu cantik kok?"
"Ish, Kakak tidak usah bohong ya. Aku menyadari kekurangan ku ini," balas Cyra, ia berekspresi sedih seakan mau menangis.
"Tidak lah, hanya perasaan kamu saja. Buktinya, ada Dosen yang tertarik buat ganggu adik Kakak ini," goda Mira, ia menaik turunkan alisnya, mengejek ke arah Cyra.
"Ah, aku baru ingat!" sayangnya Cyra tak mempan dengan ejekan itu. "Dosenku tadi berubah seram tahu, Kak. Aku serasa mau ditelan hidup-hidup."
"Memangnya kenapa?" Mira mendadak panik. Siapa yang tidak panik? Cyra membuat dosennya marah pasti ada sesuatu perbuatan Cyra yang fatal, lebih dari yang tadi.
"Aku menyinggung soal istri. Aku bilang, apa Bapak tidak pernah bercanda dengan istri Bapak? astaga, Kak Mira. Merasakan aura menyeramkan itu, rasanya aku ingin kabur saja. Sayangnya aku tidak bisa."
"Yah, sayang sekali ia sudah punya istri." kepanikan Mira berubah menjadi kekecewaan ketika mendengar kata istri dari mulut Cyra. Mira membayangkan kisah dosen dan mahasiswinya tadi pada kisah Cyra. Namun, khayalan memang tak pernah menjadi nyata, sayang sekali.
"Tidak kok, Kak."
Mira membulat, ia lalu berkata, "aku tidak salah dengar."
"Kakak tidak salah dengar. Dosenku marah karena aku bicara tentang istri padahal beliau tidak punya istri."
"Masih single dia?" Mendadak Mira menjadi bersemangat. Ia berharap khayalannya terwujud. Ia ingin sekali terjadi di dunia nyata, tak hanya di cerita novel yang sering ia baca. Ia suka sekali tema novel yang begini.
"Duda, Kak."
"Wah, makin mantap itu, Cyra."
"Mantap apanya, Kak. Pikiran Kakak tidak usah aneh-aneh deh. Aku bilangin Mas Rendi loh."
Mendengar nama suaminya di sebut, nyali Mira langsung ciut. " Ye, bukan buatku juga tahu. Aku masih mencintai suamiku dan selamanya akan terus begitu." Cyra agak geli mendengarnya, selamat ini ia tak percaya cinta. Dan sering dipamerin cinta oleh pasangan ini, Mira dan Rendi. Cyra sampai mau muntah lihatnya.
"Terus?"
"Buat kamu lah."
Cyra menggebrak meja. Matanya pun ikut melotot. "Mana sudi aku, Kak. Aku juga masih 18 tahun. Harusnya Kakak mendukungku tidak berhubungan dengan laki-laki."
"Cyra, pamali tahu. Perkataan kamu tadi bisa jadi membuat kamu jadi jodohnya loh."
"Amit-amit, Kak." Cyra mengetuk kepalanya kemudian meja berulang kali. Ia tak mau memiliki suami seperti Pak Zaffar, si tukang tuduh. Masa sama muridnya aja nuduh yang tidak-tidak.
"Kenapa Cyra? aku yakin di tampan? jika tidak, Dosen mudalah? kalau Dosen yang sudah berumur tak akan peduli dengan pertemanan antar perempuan begitu."
Cyra memutar sepasang bola matanya mendengar perkataan makin ngawur Mira padanya.
"Ah, mungkin ya, Cyra. Dosen kamu lagi ada di fase hormon sedang tinggi-tingginya. Dia lagi ingin dan ada yang ingin dia lampiaskan. Pantas saja ia melihat segalanya jadi kotor pikirannya. Sayangnya dia tidak ada istri, tidak ada tempat melampiaskan. Dia sudah berapa lama duda ya, Cyra? kasihan sekali dia. Tepat juga dia melihatmu, dia mungkin tertarik. Hati-hati Cyra, nanti kamu diapa-apain lagi."
Wajah Cyra sudah sepenuhnya memerah. Ia malu atas perkataan menjurus ke dewasa dari mulut
kakaknya Mira ini. Astaga, ia jadi membayangkan ini loh.
"Stop, Kak. Terserah pikiran gila Kakak saja. Aku mau bekerja!"
Tawa Mira benar-benar meledak kali ini. Ia suka sekali menggoda Cyra, jadi hiburan tersendiri baginya. Ia tak sabar mau menceritakan hal ini pada suaminya.
"Cyra-Cyra, lucu sekali."
Mira memandang nanar pintu yang Cyra tutup secara kasar. Mira berpikir, andai adiknya masih ada ia tidak akan sebatang kara di dunia ini. Kehadiran Cyra membuat Mira merasa masih memiliki satu orang keluarga yang harus ia jaga dan lindungi. Meski ia telah bersuami, keluarga sendiri dan keluarga suami itu rasanya beda. Mira bersyukur Cyra ikut memberi warna dalam kehidupannya. Harinya jadi tidak seburuk yang ia bayangkan setelah kedua orang tuanya pergi untuk selama-lamanya.