3. Status

1301 Words
Usai Dosennya keluar ruangan, Cyra tanpa aba-aba menarik Nessie agar ikut bersamanya. "Cyra kau mau membawaku ke mana?" Cyra tak menjawab, ia mengeratkan pegangannya pada pergelangan tangan Nessie sembari berjalan cepat. Cyra memang orangnya terlalu santai tapi jika ada orang yang menuduhnya tidak-tidak begini mana mungkin ia bisa santai. Meski bisa tidur lelap, tetap saja ia kepikiran lagi saat bangun. "Kenapa kau membawaku ke kandang singa, Cyra sayang?" tanya Nessie keterkejutannya menatap papan nama di depan pintu. Papan nama yang bertuliskan Zaffar Saghdam jelas terlihat di sepasang matanya. "Jangan memanggilku sayang. Perkataanmu itu bisa menimbulkan kesalahpahaman orang lain, Nes," sentak Cyra sembari melototkan matanya. Tahu temannya marah, Nessie langsung menutup mulutnya menggunakan satu tangannya yang bebas. Ia kemudian bertanya kembali tujuan Cyra membawanya ke ruang sang Dosen yang sejujurnya sangat ingin ia hindari. Siapa yang tidak mau menghindar coba? jika terus diawasi bagai penjahat saja. "Kau masih bertanya, Nessie?" Cyra tidak mengerti seberapa banyak kapasitas memory dalam otak Nessie, hingga menjadi lemot begini. "Iyalah, aku ti--" "Tentu saja untuk menjelaskan kesalahpahaman di antara kita!" "Pak Zaffar menyeramkan Cyra, aku tidak mau bertemu dengannya." Cyra menghempaskan tangan Nessie, tidak cukup pelan, berharap Nessie sadar jika dirinya marah. "Terus? kau mau membuat dia salah paham selamanya. Mau buat dia mengawasi kita terus, gitu, iya?" "Biar saja beliau mengawasi kita Cyra, aku yakin itu tidak akan bertahan satu bulan. Satu Minggu saja tidak mungkin. Pekerjaan beliau lebih penting daripada mengurusi kita mahasiswi baru beberapa bulan di kampus ini dan tidak menunjukkan kepintaran sama sekali. Tidak ada gunanya beliau mengurusi kita, tidak usah diambil pusing," cerocos Nessie, ia dengan percaya diri mengungkapkan hal itu. Bagi Nessie, kesalahpahaman ini hanya perkara remeh saja dan tidak ada benarnya. "Lagipula ya, Pak Zaffar masa tidak tahu. Banyak kok sesama perempuan panggil dengan kata sayang. Itu bukan berarti sesuatu yang sesungguhnya. Tidak ada penyimpangan dalam panggilan itu. Beliau tidak bisa membedakan mana becanda dan mana yang sungguhan." "Karena aku tahu beliau tidak mengerti, kita perlu menjelaskannya. Biar beliau tahu, Nessie." Cyra geregetan sendiri pada temannya ini. Pemikiran Nessie ada benarnya juga tapi entah kenapa Cyra ingin sekali menjelaskan kepada Dosennya itu bahwa dia tidak seperti yang dipikirkan. "Ayolah, Nes. Kita hanya menjelaskan, sudah. Setelah itu terserah beliau percaya atau tidak yang penting masalah kita selesai, titik." Cyra memegang kedua bahu Nessie, wajahnya menyiratkan sebuah permohonan, matanya pun dibuat sesendu mungkin. Cyra ingin Nessie mengikuti keinginannya. "Dimata saya semua sudah jelas Cyra." Cyra tersentak mendengar suara seorang pria yang sedari kemarin menghantui kepalanya dengan tuduhan tak pantas. Ia menoleh ke belakang dan melihat dosennya di sana seraya bersendekap d**a. "Kamu bahkan sudah membuktikannya di depan ruangan saya sendiri." Zaffar mendekati dua mahasiswinya yang sedang menampilkan raut kejut yang sama dan sama-sama tidak bisa berkutik. Ia berniat memisahkan keduanya dengan menarik tangan Cyra agar menjauh dari Nessie. "Kalian berdua memang bebal sekali. Sudah diingatkan malah semakin berani." Zaffar kini berada di tengah-tengah kedua mahasiswinya. "Sekarang Nessie, pergi ke perpustakaan dan tata semua buku di sana. Saya akan memantau kamu melalui penjaga perpustakaan, jangan sampai kamu mencurangi saya kalau tidak mau Dekan tahu perbuatan senonoh kalian." "A-apa, Pak?" Nessie bingung sendiri akan kondisi ini. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Setelah mengalami syok ringan, eh jadi begini. Dipergoki kemudian diceramahi, astaga. "Pergi ke perpustakaan sekarang, Nessie!" Perintah bernada tegas itu tak bisa Nessie hiraukan. Ia langsung berlari begitu saja meninggalkan temannya yang masih dalam cengkeraman sang dosen. "Nessie, tunggu aku!" Cyra yang berniat menyusul temannya itu, tiba-tiba merasa tarikan pada tangannya. Cyra melihat di mana arah tarikan itu dan ia membulat kaget. Sejak kapan dosennya ini menyentuh tangannya? Kok bisa ia tidak sadar. "Mau pergi ke mana kamu?" "Mau i-ikut Nessie, Pak." "Kamu tidak dengar yang saya bilang tadi. Kamu pingsan?" "Sa-saya dengar kok, Pak." "Mau bandel lagi?" "Saya tidak bandel, Pak. Saya juga tidak seperti yang Bapak pikirkan, saya perempuan normal kok, Pak," balas Cyra, ia tak terima saja semakin dipojokkan. Dapat keberanian darimana pun, Cyra tak tahu. Yang penting keluarkan saja unek-unek yang terpendam dari kemarin malam. "Terus yang saya lihat tadi apa?" "Apa yang Bapak lihat? saya tidak berbuat apa-apa." "Bukannya kamu mau mencium temanmu?" "Astaga, Pak!" seru Cyra, tak menyangka akan pikiran dosennya itu. "Sudah, kamu tidak bisa membohongi saya. Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri. Kamu tidak bisa mengelak." Tadi Cyra yang menarik Nessie, sekarang giliran Cyra yang ditarik oleh dosennya sendiri masuk ke dalam ruangan. Tuhan cepat sekali memberi balasan. "Mata Bapak pasti salah." "Tahu apa kamu tentang mata saya? kamu tidak perlu mengelak lagi." "Coba periksakan deh, Pak. Takutnya Bapak memiliki riwayat sakit mata yang parah." Zaffar menghentikan langkahnya secara tiba-tiba, hingga membuat Cyra menabrak punggungnya. "Mata saya sehat, Cyra." "Kalau begitu, otak Bapak yang tidak sehat." Zaffra berdecak. "Kamu tidak perlu mengalihkan pembicaraan saya. Tidak usah menuduh saya yang tidak-tidak. Bagi saya itu tidak berarti apa-apa." "Nah itu." Cyra menjentikkan jarinya, Cyra bersyukur disaat seperti ini otaknya bisa diajak sama bekerja dengan baik sehingga ia mampu melawan dosennya. Tak seperti kemarin, dirinya layaknya orang bodoh tanpa bantahan apapun karena terlalu terkejutnya. "Bapak tidak suka dituduh-tuduh, 'kan? sama Pak. Saya juga tidak suka dituduh. Lebih baik kita akhiri ini, dan lupakan tuduhan Bapak yang tidak berdasar itu." "Saya tidak asal menuduh kok, kalian terlalu mesra untuk ukuran teman sesama perempuan." Cyra mengepalkan tangannya. Dosennya ini keras kepala sekali. Ia sampai menggemeletukkan giginya sangking kesalnya. Seakan semua penjelasannya tak ada artinya. "Memang Bapak tidak begitu bersama teman Bapak? Bapak punya teman, 'kan?" Hanya membalikkan kepala, Zaffar menatap Cyra tajam. "Saya akan sangat tidak nyaman, Cyra dan kamu perlu tahu, saya tidak memiliki teman." "Bapak tidak pernah bercanda sama teman Bapak berarti." Zaffar diam, itu tandanya dugaan Cyra benar. Lalu Cyra menambahkan perkataannya kembali. "Kalau sama istri Bapak, Bapak pernah bercanda tidak?" Entah ada angin apa, tiba-tiba Cyra mengatakan hal demikian. Cyra mungkin lupa atau tak sengaja, tetapi perubahan aura di sekitar Dosennya, Cyra bisa merasakannya. Aura yang tak enak itu tiba-tiba menciutkan nyalinya. Mulutnya seakan terkunci tak mampu bicara lagi. Bahkan rasa sakit pada pergelangan tangannya, tak ia pedulikan. "Alangkah baiknya kamu diam, Cyra. Kamu tidak tahu apa-apa mengenai istri saya." Tak membalas, Cyra hanya sekedar menganggukkan kepalanya. "Atas perbuatan kamu, kamu bantu saya membereskan semua buku ini dan menata lembaran di sana sesuai urutan nama." Perintah itu terdengar dingin di telinga Cyra, ia tidak bisa membantahnya. Ia hanya bisa mendesah melihat seberapa banyak buku yang berserakan dan seberapa tingginya lembaran kertas yang Dosennya tunjuk. Cyra tak memiliki pilihan lain selain mengerjakannya, sesekali ia melirik Dosennya itu yang seenaknya menggenggam dan menghempaskan tangannya begitu saja. Tidak merasa bersalah lagi atas merahnya pergelangan tangannya. Cyra merasa bisa melakukan visum dan menuntut ini. Bukankah ini namanya pelecehan? ah harusnya begitu. Biar heboh sekalian. Tenang, Cyra tak akan melakukannya. Nanti tuduhan terhadapnya juga heboh dong. Ia akan berbesar hati memaafkan. Yah, mau bagaimana lagi. Dirinya memang orang baik. Cyra tak tahu berapa lama ia berada di ruangan ini. Syukurnya sekarang telah selesai. "P-pak saya sudah selesai," lapor Cyra dengan sedikit gugup. Zaffar melihat sekitar lalu menganggukkan kepalanya. "Kamu boleh pergi." Rasa senang hinggap di hati Cyra. Bolehkah ia berteriak? "Sebelum itu, saya tidak mau melihat kamu dan Nessie bersama di dalam kampus ini. Saya tidak peduli pada kalian di luar kampus. Tapi jangan nodai nama kampus ini." "P-pak--" "Kamu boleh pergi," potong Zaffar tanpa melihat Cyra sekalipun. Cyra menurunkan kedua bahunya. Usahanya membenarkan benang yang kusut sia-sia. Harusnya ia menyetujui ucapan Nessie tadi. Tidak usah peduli dan biarkan, toh nantinya akan lupa sendiri. Ia menyesal, sangat. "Kalau begitu saya permisi, Pak," pamit Cyra dengan lirih, ia lemas seakan tak memiliki tenaga lagi meratapi nasibnya yang buruk. Baru akan menutup kembali pintu ruangan Dosennya setelah berhasil keluar, Cyra dikejutkan kembali dengan suara sang Dosen yang mengatakan, "saya seorang Duda, Cyra." Sial, ia melupakan yang Nessie katakan. Ah, pantas marah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD