Chapter 11 : Sia-sia

1020 Words
Seminggu telah berlalu sejak saat itu, Karel senantiasa berlatih dengan giat agar bisa mengalahkan dirinya yang lain, yaitu Karel Gelap. Akan tetapi, latihannya seperti sia-sia saja, sebab Vilas tak pernah lagi membiarkan Karel untuk mencoba atau melakukan latihan tersebut. Pria itu bilang, belum saatnya Karel melakukannya lagi. Tindakan Vilas memang benar, karena kekuatan Karel juga masih belum meningkat terlalu banyak. Kemampuan fisiknya tentu berkembang, tetapi entah kenapa ia belum juga dapat menggunakan Energi Spiritual. Vilas pun tidak tahu kenapa Karel belum juga dapat menggunakan energi tersebut. Seharusnya, di usianya saat ini, anak itu bisa melakukannya. Kendati demikian, tetap saja Karel berlatih sekuat tenaga, demi dapat mengalahkan Karel Gelap. Menurut perkiraannya, jika ia terus menjadi lemah dan tidak ada perkembangan, cepat atau lambat dirinya yang lain itu akan mengambil alih tubuhnya. Sekarang, Karel tengah mengayunkan pedang, menebas pohon yang ada di depannya. Ia terus melakukan latihan tersebut supaya otot tangannya terbentuk. Namun, tangannya terus saja terpental ketika menebas pohon sekuat tenaga, sebab ia hanya menggunakan pedang tumpul. Keringat membasuh habis tubuh Karel, napasnya terengah, dan tangannya serasa ingin putus. Ia pun memutuskan untuk berhenti sejenak, menimbang hari sudah tengah hari. Duduk di bawah pohon, mata anak ini terus menerawang sekitar, tidak terlihat tanda-tanda kehadiran orang lain di sekitarnya. Karel tahu, hari ini Selly dan Vilas tengah berlatih di tempat lain, makannya ia hanya sendirian sekarang. Akan tetapi, ia tidak mempersalahkan hal itu. Justru ia sangat senang karena dapat berlatih dengan tenang tanpa gangguan dari mereka. Selain itu, Karel juga berencana membuat kejutan dengan menyembunyikan kemampuannya. Walaupun bukan sekarang. “Ternyata menjadi seorang pendekar sangatlah sulit. Dan, kenapa juga aku bisa berada di dunia aneh ini?” Karel bergumam pelan sembari mengembuskan napas panjang. Ia teringat kembali, bahwasannya dulu ia tidak pernah percaya pada kekuatan mistis, tetapi sekarang ia dipaksa mengakui kalau hal tersebut sungguh ada. Usai sejenak beristirahat, Karel memutuskan untuk kembali berlatih. Tapi sebelum itu, ia berencana pulang, sebab sejak pagi ia belum makan apa-apa. Akhirnya Karel berjalan perlahan menyusuri hutan, menenteng pedang tumpul di tangan kanan, pergi ke Klan Taira. Sepanjang perjalanan, suasananya sangatlah hening. Terdengar samar-samar suara nyamuk dan jangkrik, tetapi Karel mengabaikan semua itu. Pikiran anak ini entah kenapa menjadi kosong, seolah hidupnya telah berakhir. Ia tak dapat memikirkan apa pun, dan hanya berjalan dengan langkah gontai. “Sebenarnya, mengapa aku bisa berada di sini? Apakah ini adalah tempat untuk orang mati?” gumam Karel. “Tapi, aku tidak merasa begitu. Ini membuatku frustasi ….” Akhirnya, selepas berjalan cukup lama, Karel sampai di sebuah lapangan luas dengan beberapa batu besar. Ia pun berjalan di antara dua batu besar, lalu mendadak lapangan luas tadi berubah menjadi area perumahan. Ini sudah bukan hal aneh lagi bagi Karel, sebab sudah sangat sering ia melihatnya. *** Jauh di tempat lain, di sebuah padang pasir di bawah teriknya matahari, terlihat dua orang yang sedang berdiri berhadapan dengan pedang di tangan. Mereka adalah Vilas dan Selly.  Sejenak, Vilas menarik napas panjang, kemudian menatap lekat-lekat Selly yang berjarak sepuluh meter di hadapannya. Ia sudah menyiapkan kuda-kuda, tangannya juga telah menggenggam erat sebuah pedang biasa.  Sama dengan Vilas, Selly juga tampaknya telah siap bertarung. Lirikan matanya bahkan sampai mengeluarkan aura intimidasi kepada Vilas. Akan tetapi, sedikit pun Vilas tak terpengaruh oleh aura tersebut. “Maju, Selly!” seru Vilas yang langsung melesat ke depan. “Baik!” Selly juga melesat dengan kecepatan penuh. Benturan pedang terjadi, Selly sedikit terpental ke belakang, hampir kehilangan keseimbangan. Vilas mengayunkan pedang secara horizontal, mencoba menggoyahkan konsentrasi Selly. Tapi, segera Selly bereaksi menahan tebasan pedang tersebut. Keduanya terus menebaskan pedang, menyerang sekuat tenaga tanpa rasa takut. Saat benturan pedang untuk ketiga kalinya, Vilas lantas mundur sejauh mungkin. Ia mengatur kembali pegangan pedang, kemudian melesat ke depan lagi.  Kini serangan Vilas kian brutal, berulang kali Selly dibuat hampir kehilangan keseimbangan. Dengan cepat Vilas mengayunkan pedang ke segala arah, membuat Selly bergerak mundur. Gadis itu terdesak oleh rentetan serangan tanpa ampun dari Vilas. Tak lama, pedang Selly terpelanting ke atas, jatuh beberapa meter ke samping kanan. Gadis itu pun kehilangan keseimbangan dan terjatuh, sementara Vilas menodongkan ujung pedang padanya. “Aku menyerah ….” Selly mengangkat kedua tangan. “Hahaha, kau sudah berkembang rupanya. Tidak kusangka kau bisa menangkis begitu banyak seranganku.” Vilas menyarungkan kembali pedangnya, lalu mengelus rambut panjang Selly. “Kerja bagus, Selly.” Selly hanya berekspresi datar, hingga akhirnya Vilas berhenti mengelus kepalanya. Wajah Selly seketika berubah cemberut, ketika Vilas hendak pergi. “Aku pasti dapat mengalahkanmu lain kali, Guru.” Vilas tersenyum hangat. “Tekad yang bagus. Kau harus dapat mewujudkannya, jangan mengecewakan dirimu sendiri.” Ucapannya terhenti selama beberapa saat. “Baiklah, kita sudahi latihan hari ini. Karel mungkin sudah menunggu kita di rumah.” “Baik.”  Sebelum Selly sempat berdiri, Vilas lantas mengulurkan tangannya pada gadis itu. “Biar aku bantu.” *** Karel berjalan menyusuri jalanan di tengah perumahan. Terlihat cukup banyak orang yang berlalu lalang maupun berjualan di sini. Melihat-lihat sekitar, ia kemudian melihat kerumunan warga yang mengelilingi lapangan yang ada di tengah perumahan ini. Dirasuki oleh rasa penasaran, Karel memutuskan masuk ke dalam kerumunan, ingin tahu apa yang tengah menjadi perhatian orang-orang ini. Ternyata, setelah menerobos keramaian, ia dapat melihat dua orang remaja yang hendak bertarung. Salah satu dari mereka adalah seorang pemuda dengan rambut coklat pendek, yang satunya lagi ialah gadis dengan rambut ungu panjang. Angin berembus, mengurai rambut gadis itu. Karel hanya diam, memerhatikan mereka berdua yang sepertinya akan berduel menggunakan pedang. Sebenarnya Karel tak terlalu peduli, tetapi ia ingin tahu teknik pedang seperti apa yang akan digunakan oleh mereka. Akhirnya, beberapa saat kemudian, mereka mulai bertarung selepas perdebatan panjang. Karel begitu tertarik menyaksikan pertarungan pedang mereka, sehingga terus memerhatikan tanpa ingat untuk berkedip. Si gadis melompat ke belakang, memutar tubuh dan mengayunkan pedang secara horizontal. Tak mau kalah, si pemuda lantas merendahkan tubuh, lalu menebaskan pedang ke atas, menahan serangan gadis itu.  Keduanya mundur beberapa langkah, menjaga jarak satu sama lain. Kemudian, si gadis melesat dengan kecepatan penuh, menebaskan pedang secara brutal ke segala arah. Si pemuda terdesak, hingga bergerak mundur. Akan tetapi, tiba-tiba si gadis mundur. Gadis tersebut membentuk kuda-kuda, lalu pedangnya lantas mengeluarkan kobaran api. Orang-orang yang menonton langsung bersorak, menandakan kalau mereka sangat tertarik untuk menyaksikan. “Tuan Putri, tidak perlu sampai seperti ini juga, kan?” seru lantang si pemuda. “Diam!” Si gadis pun menebaskan pedang ke depan. Dari pedang gadis tersebut, terbentuk serangan api yang berbetuk setengah lingkaran, melesat ke arah si pemuda. Namun, mendadak saja serangan itu meledak ketika berjarak satu meter di depan si pemuda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD