2. BERTEMAN LUKA

1127 Words
Pernikahan itu akhirnya terlaksana. Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat ini. Rumah tangga yang aku pertahankan dengan susah payah, rumah tangga yang aku jalani dengan banyak pengorbanan, akhirnya ternoda. Awalnya aku tak pernah menyangka jika ini akan benar-benar terjadi. Dulu, saat kami masih hidup susah, Mas Farhan selalu mengatakan ingin menikah lagi jika telah sukses. Saat itu aku mengira hanya candaan semata. Bahkan selalu aku jawab, "Jangan bicara seperti itu, nanti ada malaikat lewat yang mengaminkan!" tapi kenyataanya, itu benar-benar terjadi. Aku tidak hadir di sana. Hanya ibu dan adik Mas Farhan yang datang menemani ke rumah orang tua Nadia. Aku lebih memilih menjalani kehidupan seperti biasa. Mengurus anak-anak yang akan ke sekolah, dan hari ini aku yang akan mengantarnya. Mereka bertanya, "Ayah mana, Ma?" aku hanya bisa menjawab kalau ayah mereka sedang ada urusan di luar kota bersama temannya. Setelah mengantar anak-anak ke sekolah, aku lebih memilih untuk menyibukkan diri di warung makan kami. Membantu sang koki meracik sayuran, karena memang aku tidak ahli dalam hal memasak. Tak ada makanan enak yang dapat kubuat. Saat sedang memotong sayuran, tiba-tiba aku teringat Mas Farhan dan Nadia. Apa pernikahan mereka berjalan lancar? Bagaimana kelanjutan rumah tanggaku? Akankah menghangat? Atau justru semakin hambar karena yang kurasakan, kami hanya menjalankan hak dan kewajiban kami sebagai suami dan istri, juga sebagai orang tua. Tanpa sadar, pisau yang kupegang menggores jari. Aku meringis, kemudian mencuci tangan di tempat cucian piring. Koki yang melihat air yang mengalir berwarna merah karena bercampur darah, langsung bertanya. "Ibu nggak apa-apa?" "Enggak, kok, cuma tergores sedikit. Ya sudah, saya ke depan dulu, ya?!" "Iya, Bu." Kemudian, aku berjalan meninggalkan dapur. Karyawan kami sudah mengetahui bahwa bosnya menikah lagi. Sesekali aku dengar mereka membicarakan kami. Mereka merasa iba padaku, dan seketika mereka akan diam saat menyadari keberadaanku. *** Sudah satu minggu Mas Farhan dan Nadia menikah. Mereka juga sudah kembali ke kota tempat kami tinggal. Mas Farhan sudah membeli rumah untuk Nadia. Rumahnya berada satu kilometer dari rumah kami. Dia membagi waktunya tiga hari bersamaku, dan tiga hari bersama Nadia. Hari Minggu Mas Farhan memberikan waktunya khusus untuk anak-anak. Aku mengatakan pada anak-anak, kalau Mas Farhan menginap di warung saat anak-anak menanyakan ayahnya. Kekosongan mulai terasa. Meskipun sebelum Mas Farhan menikah lagi, aku sudah terbiasa saat dia tak ada, tapi kini terasa lain. Karena ketidakadaan Mas Farhan sekarang sedang berada bersama wanita lain. Wanita yang sama-sama sudah menjadi istri sahnya. Wanita yang mungkin sangat dicintainya. Kuraba d**a, menekannya agar sakit yang kurasa sedikit berkurang. Agar aku bisa berperan dengan baik di depan anak-anak. Bahwa semuanya baik-baik saja. Aku ralat, bukan hanya di depan anak-anak, tetapi juga harus bisa menunjukkan bahwa aku baik-baik saja di depan semua orang. Termasuk di depan Mas Farhan dan Nadia. Ya, aku sudah biasa berteman dengan luka. Kenapa aku harus tidak baik-baik saja? *** Suara deru mobil terdengar memasuki pekarangan rumah. Mas Farhan. Harusnya kemarin dia pulang ke rumah. Nyatanya baru pagi ini dia pulang. Aku tetap sibuk dengan kegiatanku, bersih-bersih rumah. Kegiatan setelah mengantar anak-anak ke sekolah. "Assalammu'alaikum...." Suara Mas Farhan mengucap salam sambil membuka pintu terdengar. Tumben sekali. "Wa'alaikumsalam," jawabku. Aku masih sibuk mengelap debu-debu yang ada di meja. "Suami pulang, selalu saja sibuk sendiri." Aku menghentikan kegiatanku. Mengerutkan kening, ada apa dengannya? Bukankah memang sudah terbiasa seperti ini? "Mas mau minum kopi?" Bukannya istri yang tidak baik, tapi memang semenjak dulu saat Mas Farhan terkena batu ginjal, dokter memang menyarankan untuk tidak sering-sering meminum kopi, apalagi teh. Jadi, aku hanya akan membuatkannya ketika dia meminta. "Nggak usah, udah ngopi tadi di tempat Nadia. Di mana anak-anak?" "Udah berangkat sekolah, Mas...." "Naik ojek lagi?" "Enggak, tadi aku yang antar." Mas Farhan hanya ber'oh' saja menanggapiku, kemudian berlalu menuju kamar kami. Aku hanya bisa tersenyum. "Mas mau ke warung?" tanyaku saat melihat Mas Farhan keluar kamar sudah menggunakan baju yang berbeda. "Iya. Seperti biasa." "Hari ini aku libur ya, Mas. Capek." "Terserah kamu. Lagi pula, memang kamu selalu seperti itu, 'kan?! Sedikit-sedikit mengeluh." Mas Farhan mencibirku. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. "Jangan lupa jemput anak-anak!" pesannya. "Iya...." Setelah itu Mas Farhan pergi menggunakan mobilnya. *** Luka? Bicara luka, kini aku seolah tak lagi merasakannya. Terlalu sering mendapat cacian, bentakan dari suami sendiri membuat hatiku seolah kebal. Meskipun terkadang masih merasakan seperti sakit saat dicubit, tapi dalam sekejap rasa sakit itu hilang. Kenapa aku harus bertahan? Apa karena aku terlalu mencintainya? Aku juga tidak tahu. Karena aku tidak tahu bagaimana sesungguhnya cara mencintai seorang suami. Begitu juga sebaliknya, bagaimana caranya seorang suami memperlakukan istrinya. Apakah semanis cerita novel? Atau, masih berlakukah sikap manis Rasul pada istri-istrinya di zaman sekarang? Menyerah? Dulu iya, aku ingin sekali menyerah. Namun urung, saat aku melihat anak-anak. Saat aku mengingat betapa buruknya masa kecilku, saat aku harus tumbuh di kondisi broken home. Mereka berhak bahagia. Mereka berhak mendapatkan apa yang tidak aku dapatkan saat aku kecil. Sekarang pun sama. Keinginan untuk mundur kadang muncul. Tapi kembali lagi, sudah terlalu banyak pengorbanan. Sudah terlalu panjang perjuangan yang kami lalui. Aku tak ingin hanya karena terlalu mementingkan perasaanku, lantas harus mengorbankan perasaan anak-anak. Setidaknya anak-anak bahagia dengan adanya kami. Setidaknya Mas Farhan menyayangi anak-anak. "Masih kuat?" tanya Vira, satu-satunya sahabatku yang tahu segala hal tentangku, yang sengaja berkunjung ke rumah saat tahu hari ini aku di rumah. "Kenapa mesti nggak kuat?" "Suami kamu beneran bisa adil?" "Kepo!" "Aku beneran nanya!" "Kamu tahu sendiri 'kan, gimana dia. Buatku sekarang yang penting anak-anak bahagia. Udah itu aja." "Anak-anak udah tahu?" Aku menggeleng. "Nanti pelan-pelan bakalan aku kasih tahu." "Mertua kamu diem aja gitu waktu tahu anaknya nikah lagi?" "Mana berani protes, orang yang biayai hidupnya anaknya." "Aku jadi penasaran, kaya apa sih, madumu itu?" "Cantik, masih muda." "Terus?" "Dia berhijab. Dan kayaknya agamis banget." "Kalo agamis banget, kok mau-maunya sih jadi pelakor?! Nggak punya perasaan!!" "Bukan pelakor. Dia kan nggak merebut suamiku. Aku masih jadi istri sah. Belum bercerai." "Sama aja! Udah tahu laki-laki beristri. Mau-maunya dinikahin!" "Kok jadi kamu yang emosi...." "Aku kesel. Gregeten sama tuh orang. Pengen aku cakar mukanya, pengen aku jambak rambutnya!" ucap Vira dengan menggebu-gebu. "Kalo kamu mau ngelakuin itu, ngomong ke aku ya, biar aku bantuin." "Ngawur, kamu!" "Eh, kenapa kamu nggak permak aja muka kamu? Nyalon kek biar cantik, tuh kaus sama celana jeans ganti kek sama baju yang lebih elegan. Kamu kan istri bos sekarang." "Males...." "Tuh kan, kamunya nggak mau usaha buat ngambil hati suami." "Aku udah pasrah, Vir. Aku udah capek. Yang aku lakukan sekarang cuma bisa jaga sikap, biar nggak ngelawan suami. Aku capek kalo harus berantem tiap hari kaya dulu." "Terserah, deh...." Mau berubah bagaimana pun, tidak akan merubah keadaan. Karena aku tahu yang Mas Farhan rasakan pada Nadia memang benar-benar cinta. Perlakuan Mas Farhan kepada Nadia benar-benar berbeda dengan cara dia memperlakukanku. Sekalipun perlakuannya kepadaku saat kami baru menikah dulu. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD