2. Book Signing

3261 Words
Dua minggu sudah berlalu sejak novel terbaru Lanitra yang berjudul ‘Cielo’ terbit secara resmi. Dan sesuai perkataan Alvaro waktu itu, novel tersebut berhasil masuk ke dalam jajaran buku best seller di hampir semua toko buku yang ada di Indonesia. Lanitra tentunya merasa senang dengan pencapaian tersebut. Dan selama dua minggu ini, ia disibukkan dengan promosi novelnya. Beberapa kali dirinya mendatangi meet and greet di toko buku beberapa kota besar dan bertemu dengan para pembacanya. Ia pun juga sempat diwawancarai oleh beberapa majalah dan diundang menjadi guest star radio serta channel youtube terkenal untuk membagikan kisah tentang novel dan dunia kepenulisannya. Hari ini saja dirinya ada jadwal untuk menghadiri meet and greet terakhir dalam promosi novelnya ini. Untungnya, event itu dilaksanakan di salah satu toko buku yang ada di Jakarta dan dimulai nanti sore sehingga Lanitra masih punya sedikit waktu untuk bermalas-malasan di apartemennya. Pukul sepuluh siang, Lanitra baru beranjak dari kasur. Setelah mencuci muka dan sikat gigi, ia lantas menyiapkan sarapan simpel, atau tepatnya sudah bisa dibilang brunch, berupa dua lembar roti tawar yang diberi olesan selai cokelat dan kacang. Sambil menyantap rotinya, Lanitra menelepon ibunya untuk menanyakan kabar sekaligus bertukar cerita. Sejak namanya melejit sebagai penulis, Lanitra memang memutuskan untuk tinggal sendiri di ibukota agar memudahkan pekerjaannya. Sementara semua keluarganya tinggal di tempat asalnya, Lampung. Karena itu, setiap hari pasti Lanitra menelepon orangtuanya untuk menanyakan kabar atau sekedar menghilangkan rindu. Terlebih lagi jika dirinya sedang merasa sedih dan kesepian karena tinggal sendirian di apartemennya ini. Usai menelepon sang ibu, Lanitra membuka akun sosial medianya dan membaca semua pesan-pesan dan komentar yang masuk mengenai novel terbarunya. Akun ** Lanitra sendiri sudah memiliki tiga digit followers dengan embel-embel ‘K’ di belakangnya. Jadi wajar saja jika setiap hari ada banyak interaksi yang diberikan oleh pengikut yang rata-rata adalah pembacanya. Dan akhir-akhir ini, yang sering dibahas oleh mereka adalah karakter Cielo yang ada di dalam novel. Lanitra pun suka membaca semua komentar yang diberikan di laman sosial medianya. Di waktu luangnya seperti sekarang sering digunakannya untuk membaca komentar-komentar itu dan kadang juga membalasinya. Suka banget sama karakter Cielo di novel ini huhuhu Thank you Kak Lani udah bikin novel sebagus ini! You are indeed my favorite! Semoga novel Cielo cepat difilmkan!!! Biar bisa liat live action Cielo yang pasti bakal kerennnn! Ada rasa hangat yang mengisi hati Lanitra setiap kali ia membaca komentar yang mengapresiasi karyanya. Mereka-mereka lah yang selama ini memotivasi Lanitra untuk terus menulis. Dan tanpa dukungan mereka yang setia sebagai pembacanya, Lanitra tidak akan bisa mencapai titik ini. Aslinya Cielo pasti ganteng ya kakkkk Dimana ya nemu cowok kayak Cielo di dunia nyata? :( Tapi, membaca komentar yang ditujukan khusus untuk karakter Cielo yang terinspirasi oleh Langit membuat Lanitra tanpa sadar menghela napas. “Di Cielo Café.” Ingin sekali Lanitra menjawab begitu atas komentar terakhir yang dibacanya, tapi tentu saja dia tidak akan melakukan itu. Jika semua pembacanya tahu tentang Cielo Café, maka mereka akan datang menyerbu ke sana dan menemukan Langit, versi nyata Cielo dalam karakter novelnya. Dan Lanitra tidak ingin Langit ditemukan oleh mereka. Omong-omong tentang Langit, sejak tidak sengaja melihat laki-laki itu di mall dengan seorang perempuan, Lanitra jadi mengurungkan niat untuk menemuinya dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Dipikir-pikir lagi, alasan itu sungguh konyol. Sepertinya hanya Lanitra penulis yang memiliki ide konyol untuk berterima kasih kepada seseorang tidak kenal karena ia merupakan inspirasinya dalam menulis. Lanitra pun jadi tersadar, selama ini dirinya mengagumi Langit diam-diam tanpa tahu apakah laki-laki itu masih available atau tidak. Dan melihatnya bersama perempuan sudah bisa jadi bukti kalau Langit bisa saja memang sudah punya pacar. Lanitra tidak seharusnya mendatangi seorang laki-laki yang sudah memiliki pasangan lalu berkata bahwa dirinya adalah sumber inspirasi novelnya, kan? Bisa-bisa itu menimbulkan kesalahpahaman dan ia jelas tidak mau itu. Jadi, lebih baik ide nekatnya itu diurungkan saja. Dan pada akhirnya Lanitra pun juga memutuskan untuk berhenti menyukai Langit. Apakah Lanitra patah hati? Jawabannya tidak juga. Perasaannya pada Langit tidak seserius itu. Lagipula, sedari awal memang ia tidak berniat untuk membawa perasaannya lebih jauh. Lanitra hanya sebatas naksir, dan ia tidak ada keinginan untuk melanjutkan perasaannya ke tahap jatuh cinta. Usia Lanitra masih muda, dua puluh lima tahun. Saat ini, ia ingin fokus pada karirnya terlebih dahulu dan tidak ingin memusingkan masalah hubungan dengan lawan jenis. Menghilangkan perasaannya pada Langit jelas merupakan sebuah perkara yang mudah. So, bye bye Langit-yang-entah-nama-belakangnya-apa! Terima kasih sudah menjadi inspirasi dan mengalirkan pundi-pundi rupiah ke akun rekening Lanitra. Tapi maaf Langit, sepertinya kamu tidak perlu lagi tahu soal itu. *** “Eyy, what’s up best selling writer? Kapan nih mau traktir?” Sapaan itu didapatkan oleh Lanitra ketika ia membuka pintu mobil Mercedes-Benz C300 keluaran terbaru yang terparkir di halaman parkir basement kompleks apartemennya. Pemilik mobil yang sudah duduk manis di dalam mobil dengan setelan mewah dan elegan layaknya model itu tersenyum pada Lanitra ketika Lanitra sudah masuk ke dalam mobilnya dan duduk di kursi penumpang. Lanitra menggelengkan kepala menyadari setidaknya ada tiga brand mahal yang melekat di tubuh temannya ini. Christian Dior, Channel, Givency…itu yang baru tertangkap di mata Lanitra sejauh ini. Dan Lanitra yakin masih ada barang mewah dari brand lain yang dipakainya. Dasar princess sosialita! “Sierra, kamu itu mau datang ke meet and greet novel aku atau mau datang ke Paris Fashion Week sih?” “Duh, Lanitra Ellena, kamu kan tau sendiri. Dalam kamus hidup aku, nggak peduli kemana aku pergi, harus selalu dress up kayak mau pergi ke Paris Fashion Week.” Perempuan itu, Sierra, menjawab dengan santai, lalu ia memasang sunglasses bermerek Gucci miliknya sebelum menjalankan mobil. “Termasuk kalau kamu mau beli kambing di peternakan?” “Ngapain juga aku mau beli kambing di peternakan?!” “Buat peliharaan.”                                    “Ew!” Lanitra tertawa. Jadi geli sendiri membayangkan jika candaannya tadi menjadi kenyataan. Temannya itu ada di kandang kambing dengan setelan ala sosialitanya ini? Tidak mungkin! Dan tidak pantas! Sierra Aneska Yuan adalah definisi dari seorang putri kaya yang selalu berpenampilan mewah. Dari pertemuan pertama mereka lima tahun yang lalu saja Lanitra sudah berhasil dibuat berdecak kagum melihat penampilan high class  serba branded Sierra dari ujung kaki hingga ujung kepala. Bertemu di kantor penerbit, semula Lanitra berpikir kalau Sierra adalah pemilik dari kantor penerbit tersebut. Nyatanya, Lanitra salah. Sierra juga merupakan seorang penulis, sama sepertinya. Bahkan di luar ekspektasi lagi, Sierra merupakan penulis cerita horror. Sejak pertemuan pertama mereka waktu itu, keduanya jadi akrab dan berteman dekat, bahkan sampai sekarang. Karena terlepas dari latar belakang Sierra yang luar biasa hingga membuat mereka terlihat seperti berasal dari dua dunia yang berbeda, Sierra merupakan seseorang yang sangat baik dan humble. Selain itu, Lanitra dan Sierra memiliki beberapa kesamaan. Mulai dari selera musik, selera film, bagaimana cara menyikapi sebuah masalah, hingga banyak lagi sesuatu yang mereka suka dan tidak suka yang sama. Karena itulah, keduanya nyambung jika mengobrol. Dan hal itulah yang menyebabkan pertemanan mereka awet, bahkan bisa dikategorikan sebagai sahabat hingga lima tahun lamanya. Sierra pun merupakan orang terdekat Lanitra yang ada di kota ini selain Alvaro. Perempuan itu selalu ada setiap kali Lanitra membutuhkannya dalam situasi apapun. Bahkan hari ini pun Sierra menawarkan diri untuk menjemput Lanitra dan mengantarnya ke lokasi meet and greet akan dilaksanakan. Padahal, semalam Sierra baru pulang dari Australia karena urusan pekerjaan utamanya sebagai anggota direksi dari anak perusahaan yang dimiliki keluarganya. Dan yap, menulis merupakan pekerjaan sampingan Sierra semata. “Jadi, kapan mau traktir aku?” tanya Sierra setelah mobil yang dikendarainya keluar dari pelataran parkir. “Kamu mau ditraktir apa? Kintan Buffet?” “Nope.” Sierra menggelengkan kepala. “Bosen makan Kintan Buffet. Traktir aku di Cielo aja, biar pas kan traktirannya di tempat yang menjadi sumber inspirasi si novel best seller lahir.” Sierra memang tahu kalau novel Cielo terinspirasi dari Cielo Café dan juga Langit. Sierra pun tahu kalau Lanitra naksir Langit, karena memang perempuan itulah yang menjadi wadah atas semua cerita Lanitra selama ini. Tidak ada yang tidak diketahui Sierra tentang Lanitra, begitupun sebaliknya.  “Yaudah. Kalau sempat nanti kelar meet and greet, kita mampir ke Cielo.” “Mantap,” ujar Sierra sembari mengacungkan ibu jari. Kemudian ia lanjut memberikan sebuah pertanyaan. “Anyway, udah say thank you ke Mas Cielo?” Lanitra meringis. Dirinya memang belum sempat bercerita kepada Sierra tentang pertemuan tidak sengajanya dengan Langit di mall beberapa pekan lalu sehingga menyebabkan Lanitra mengurungkan niatnya. Karena mereka berdua sama-sama sibuk, jadi belum ada waktu yang pas untuk menceritakan ini. “Enggak jadi bilang,” jawab Lanitra kemudian.  “Loh, kenapa?!” “Dipikir-pikir lagi, it’s not a good idea,” jelas Lanitra. Melihat raut wajah Sierra yang hendak protes, ia pun buru-buru melanjutkan, “Lagian, dia udah punya pacar, Si. Aku nggak sengaja ketemu dia beberapa minggu yang lalu di mall, sama cewek. Karena itu ya aku nggak mau bikin dia salah paham dengan muncul tiba-tiba dan bilang kalau dia inspirasi novel aku. Entar dia mikir aneh.” “Ya enggak lah!” Sierra tetap protes. “Cuma bilang makasih aja kok, apa salahnya? Kan itu bentuk apresiasi doang. Nggak ada hubungan sama dia yang udah punya pacar atau enggak.” “Ah, nggak tau lah. Aku udah ngak mood lagi. Biarin aja dia nggak tau kalau dia tuh jadi inspirasi untuk mengalirkan pundi-pundi rupiah ke rekening seorang Lanitra Ellena. Entar kalau dia tau terus malah minta bayaran, gimana?” “Halah. Nggak mungkin! Bilang aja kamu mundur karena tahu dia udah punya pacar, kan?” “Iya. Udah dibilang aku nggak mau bikin dia salah paham dan ngira aku mau deketin dia.” “Loh? Bukannya emang mau deketin?” “Dih, enggak ya!” jawab Lanitra cepat. “Aku emang suka sama dia, tapi cuma sebatas naksir. Nggak ada niat untuk deketin atau apa.” “Masa? Bukannya ide mau bilang makasih ke dia itu muncul karena kamu udah helpless nggak tau lagi gimana caranya buat kenalan sama dia?” Lanitra mendengus. “Sorry ya, aku nggak se-helpless itu. Aku juga udah nggak mau naksir dia lagi. And I can move on so easily, you know? It’s not that serious.” Sierra hanya mencibir. Perempuan itu terlihat sekali sangat gemas atas apa yang baru saja dikatakan oleh Lanitra. Padahal ia sudah semangat sekali waktu Lanitra memberitahunya tentang rencana untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada Langit. Habisnya, selama berbulan-bulan Lanitra hanya bisa memandangi Langit dari jauh. Payah sekali. Namun, alasan Lanitra memang bisa diterima. Having crush on someone’s boyfriend is a big no no. Kalau Sierra jadi Lanitra juga ia tidak akan mau menyukai pacar orang. Dan jika tahu pacarnya disukai oleh orang lain, Sierra juga tidak akan suka. Akan tetapi, ada sesuatu yang masih terasa janggal bagi Sierra. “Bentar deh.” Sierra menyuarakan isi pikirannya. “Tadi kamu bilang Langit udah punya pacar karena apa? Kamu lihat dia jalan di mall sama perempuan lain?” Lanitra menganggukkan kepala. Sierra menurunkan sunglasses-nya sedikit guna menatap Lanitra penuh selidik. “Emangnya mereka jalan kayak gimana? Gandengan? Rangkul-rangkulan?” Lanitra menggelengkan kepala lagi. “Terus?” “Ya, jalan biasa aja. Side by side. Terus sambil ngobrol dan ketawa.” “And because of that, you already assumed if she’s his girlfriend?” Kali ini Lanitra mengangguk. “Sotoy banget, Lani!!!” Seru Sierra. Ia bahkan hampir memukul-mukul klakson akibat terlalu gemas. “Mana bisa kamu langsung nyimpulin gitu aja. Emangnya cuma jalan berdua di mall bisa langsung dibilang pacaran, gitu? Kamu sama Mas Alvaro sering tuh jalan ke mall berdua, tapi kalian pacaran nggak? Enggak kan?” “Hng…” Lanitra tidak mampu menjawab omelan Sierra. “Nggak bisa jawab kan kamu? Itu artinya apa? I’m telling you the right thing and you are so stupid.” Lanitra merasa tertohok mendengar perkataan Sierra. Sungguh, ia ingin sekali memberikan penyangkalan, namun bibirnya sendiri tidak bisa mengatakan apapun karena apa yang dikatakan oleh Sierra ada benarnya. Dasar Sierra dan mulut blak-blakkannya! Lanitra kan jadi kepikiran. Lanitra mendengus dan pada akhirnya hanya mampu berkata, “Udah lah, nggak usah bahas lagi.” *** “Lanitra, bisa ceritain ke kita nggak nih, apa yang jadi inspirasi di balik novel Cielo? Pasti ada inspirasi tersendiri kan, mengingat di novel-novel kamu sebelumnya juga punya inspirasi yang berhubungan langsung dengan pengalaman kamu sendiri.” Pada setiap meet and greet atau talk show yang dihadiri oleh Lanitra selama masa promosi novel terbarunya, pasti pertanyaan mengenai inspirasi di balik novelnya selalu ada. Biasanya ditanyakan oleh MC pada awal acara. Dan Lanitra selalu menjawabnya dengan senang hati karena memang rasanya menyenangkan bisa berbagi cerita di balik inspirasi novelnya kepada orang lain. Sekarang, pertanyaan itu kembali ditanyakan. Lanitra tentunya bisa menjawab itu dengan mudah karena jawabannya sudah ia hapal di luar kepala. “Untuk inspirasi novel Cielo, di meet and greet aku yang kemarin-kemarin udah aku jelasin dan mungkin udah pada banyak yang tau juga.” Lanitra memulai ceritanya diiringi senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Tatapannya tertuju kepada semua orang yang hadir pada acara meet and greet-nya sekarang, termasuk pada Sierra dan Alvaro yang duduk di baris paling depan. “Jadi, ada satu kafe yang dari beberapa bulan lalu sering aku datangin, entah itu untuk ngopi sambil nulis sendirian, atau nongkrong bareng my bestfriend, Sierra.” Sierra yang disebut dan untuk sesaat menjadi pusat perhatian pun tersenyum lebar. Well, tidak ada yang tidak tahu Sierra memang. Selain diketahui sebagai sahabat dan rekan Lanitra sebagai penulis, perempuan itu juga termasuk ke dalam jajaran influencer di Indonesia yang pengikutnya nyaris menginjak angka jutaan. “Aku nggak sengaja ketemu kafe itu waktu lagi iseng jalan-jalan sore di sekitar kompleks tempat tinggal aku. Dan waktu kunjungan pertama kesana, aku langsung ngerasa kalau tempatnya super cozy. Makanan dan minuman disana pun juga enak-enak. Karena itulah, aku jadi sering datang kesana. Aku bahkan jatuh cinta sama salah satu signature dish yang ada di kafe itu, karena jujur, enak banget.” Semua yang ada di ruangan menyimak cerita Lanitra, tanpa terkecuali. “Dan ada seseorang yang sering aku lihat di kafe itu. Katakanlah, orang itu kerja disana, makanya aku bisa sering liat dia setiap datang ke kafe. From what I saw, that guy seems so kind and humble. Dia selalu ramah ke customer kafe dan aku juga sering lihat dia nolongin orang-orang, entah itu sesama rekan kerjanya, orang yang motornya pernah mogok di depan kafe, pengemis yang minta makan, dan masih banyak lagi. Bahkan dia pernah ngasih aku makanan gratis untuk aku coba, karena waktu itu aku bilang aku nggak suka salah satu ingredients yang ada di makanan itu. Surprisingly, karena dia aku jadi suka banget sama makanan itu sekarang. “One day, aku datang ke kafe waktu lagi suntuk banget karena otak aku kayak nggak punya ide. Aku nggak tau harus nulis apa untuk ide novel baruku, mau menggarap ide lama juga nggak mood. Jadinya aku ke kafe, pesan minuman dan bengong doang sambil lihat ke luar jendela. Kebetulan, waktu itu lagi hujan, jadi suasananya agak mellow. Terus, aku nggak sengaja liat dia yang lagi bengong juga ngelihatin hujan. “He looked kinda different that day. Nggak terlihat happy kayak biasanya, bahkan dia nggak masang ekspresi sama sekali. Dan ekspresinya itu…bikin dia jadi terkesan misterius. Aku jadi bertanya-tanya dia kenapa, apa yang lagi dia pikirin, kenapa dia kelihatan sedih. Aku jelas nggak tau apa yang lagi dia pikirin karena kita nggak kenal jadi aku nggak bisa tanya. “Tapi saat itu aku jadi kepikiran, orang yang terlihat paling baik dan bahagia, bisa jadi menyembunyikan sesuatu di balik topeng bahagianya. Gara-gara pikiran itu, aku langsung ambil notes dan nulis beberapa kata kunci yang terlintas gara-gara liat dia begitu. Dan kata kunci itulah yang akhirnya aku kembangkan sampai jadi novel Cielo. That’s it.” Usai Lanitra bercerita, semua yang ada di ruangan itu bertepuk tangan. “Wahhh, memang ya inspirasi tuh bisa datag darimana aja,” ujar sang MC yang memandu acara meet and greet ini. “Bahkan bisa datang cuma karena ngelihatin orang yang lagi mandangin hujan loh. Keren banget Kak Lanitra Ellena ini! Sekali lagi tepuk tangan yang meriah dong.” Semuanya pun kembali bertepuk tangan, sementara Lanitra hanya tersenyum. “Boleh sebutin nggak, Kak, beberapa kata kunci yang waktu itu Kakak tulis di notes?” “Kafe, rahasia, dan langit,” jawab Lanitra tanpa berpikir dua kali. “Kenapa langit?” “Karena waktu itu lagi hujan dan langitnya mendung. So, I just wrote it.” Jawaban itu tidak sepenuhnya benar dan dari semua orang yang ada di ruangan itu, hanya Lanitra dan Sierra yang tahu. Diam-diam mereka saling bertatapan. Sierra memutar bola mata, sementara Lanitra menahan senyum. “Ah, I see. Anyway, kita juga penasaran nih, orang yang sering dilihat sama Kak Lanitra ini siapa?” “Kakak jadi MC ke sekian yang nanyain ini setelah aku cerita tentang inspirasi di balik novel Cielo,” kata Lanitra diiringi tawa kecil. “Dan jawaban aku bakal tetap sama kayak jawaban aku ke yang lain dan kayak yang udah aku jelasin di cerita aku tadi, orang itu salah satu pekerja yang ada di kafe.” “Apakah ganteng?” Pertanyaan itu sukses mengundang tawa. “Hng…” “Pasti ganteng kan, soalnya sering dilihatin sama Kak Lanitra loh! Dan mungkin juga keren kayak Cielo yang ada di novel, soalnya kan orang ini inspirasi dari Cielo.” belum sempat Lanitra menjawab, MC itu sudah menggodanya lagi. “Bener nggak?” “Benerrr!!!” sorakan penonton justru yang menjawab. Dan Lanitra bisa mendengar, sorakan Sierra jadi salah satu yang paling keras. Kurang ajar. “Well, bisa jadi.” Hanya itu jawaban yang mampu diberikan Lanitra setelah sorakan di ruangan tersebut reda. “Oke, melihat wajah Kak Lanitra yang sedikit bersemu, sepertinya asumsi kita tadi benar, pemirsa.” Lanitra meringis. Ini adalah meet and greet terakhir dari rangkaian promosi novelnya dan ia tidak tahu harus merasa bersyukur atau tidak mendapatkan seorang MC yang mampu membuatnya tersipu di atas panggung. “Kalau boleh tahu nih, Kak. Lokasi kafe tempat ide ini muncul dimana? Kita semua penasaran dan pengin kesana juga. Pengin tau se-cozy apa tempatnya, seenak apa makanannya, dan seperti apa sosok inspirasi dari Cielo itu sendiri. Kalau Kakak kasih tahu nama kafenya, secara nggak langsung bisa jadi free exposure loh, Kak, buat kafenya.” Lanitara menggelengkan kepala. “That’s a secret. Can’t tell and won’t tell you anything about that café for privacy purpose. Sorry, guys.” “Too bad.” Tidak ada hanya sang MC, beberapa penonton pun ikut mendesah kecewa akan jawaban Lanitra. Lanitra tahu kok, sejak dirinya mengumbar tentang inspirasi di balik novel Cielo, banyak pembacanya yang jadi bertanya-tanya dimana kafe tempat Lanitra mendapatkan inspirasi tersebut. Jelas saja Lanitra tidak bisa memberitahu mereka dimana letaknya karena jika mereka tahu lokasi Cielo, besar kemungkinan mereka juga akan jadi tahu tentang Langit. And no. That’s the least thing Lanitra wants to happen. Walaupun sebenarnya nama kafe itu ada di depan mata mereka sendiri, tapi sepertinya belum ada yang menyadarinya. Dan semoga saja tidak akan pernah ada. Usai agenda mengobrol seputar novel Cielo dan sharing tentang dunia kepenulisan bersama Lanitra, acara pun dilanjutkan dengan agenda tanda tangan. Semua pembaca Lanitra yang hadir, kurang lebih seratus orang, berbaris untuk mendapatkan tanda tangan Lanitra dan berkesempatan pula mengobrol dengannya selama beberapa saat. Ini adaah bagian favorit Lanitra saat melakukan meet and greet. Karena di bagian inilah dirinya bisa berinteraksi secara langsung kepada para pembacanya dan mengucapkan rasa terima kasih kepada mereka karena sudah mendukungnya dan mengapresiasi karya-karyanya. “Thank you so much ya udah baca novelku,” ujar Lanitra kepada salah satu pembaca yang novelnya baru saja ia tanda tangani. Perempuan manis berambut pendek di hadapannya nyengir. “Thank you juga ya, Kak Lani, udah nulis novel yang bagus banget! Semangat terus, Kak. Ditunggu karya selanjutnya.” Lanitra balas tersenyum lebar. “Siap. Sekali lagi makasih yaaaa.” Kurang lebih seperti itulah interaksi antara Lanitra dengan satu per satu pembacanya. Ia berusaha untuk bersikap seramah mungkin kepada mereka semua. Menuruti permintaan mereka untuk menulis ucapan tertentu di novel mereka, menerima semua hadiah yang mereka berikan, dan mengiyakan permintaan beberapa dari mereka yang menginginkan foto bersama. Tanpa terasa, antrian pun semakin menipis. Yang semula mengular, kini tinggal bersisa beberapa orang saja, mungkin tidak lebih dari sepuluh lagi. Meskipun tubuh Lanitra sudah mulai pegal-pegal karena cukup lama duduk diam, namun senyuman ramah dan lebar masih senantiasa ia berikan kepada mereka semua. Hingga pada akhirnya, di antrian nomor lima terakhir… “Halo, apa ka-“ Lanitra tidak mampu melanjutkan sapaannya ketika ia mendongak untuk menatap orang dengan giliran mendapat tanda tangan selanjutnya. “Halo, Lanitra.” Orang itu jadi menyapa Lanitra terlebih dahulu dan tersenyum canggung. Kemudian ia menyodorkan novel Cielo miliknya kepada Lanitra. “Can I have your signature? I really like your story.” Selama beberapa detik Lanitra terdiam. Otaknya seolah berhenti sesaat dan tidak tahu harus memerintahkan gerakan apa terhadap tubuhnya. Sementara jantungnya berdebar lebih kencang daripada sebelumnya. Lidah Lanitra kelu dan seketika ia menjadi ling-lung. Sebab saat ini, di hadapannya ada seorang laki-laki tampan yang wajahnya kelewat familiar. Langit. Langit yang itu. Yang tadi diceritakannya kepada orang-orang disini sebagai sumber inspirasi dari novelnya. Kenapa Langit ada disini? Why is he looking so good and fine and cute?! And what did he just say????!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD