1. The Inspiration

2936 Words
“Finally! Selesai!” Lanitra meletakkan spidol ungunya setelah ia menandatangani lembar terakhir dari total dua ribu eksemplar halaman depan novel yang harus ditandatanganinya. Tidak perlu ditanya apakah Lanitra kelelahan, karena jawabannya tentu saja! Sejak kemarin hingga hari ini, total sudah lima ribu eksemplar novel yang ditandatangani olehnya. Dan pekerjaan itu dilakukannya dari pagi hingga menjelang sore, seperti sekarang. Rasanya Lanitra tidak bisa lagi merasakan jari-jari tangan kanannya akibat terlalu pegal. Namun, meskipun kelelahan seperti ini, dirinya masih merasa sangat senang. Menandatangani halaman depan novelnya untuk para pembaca kesayangannya adalah salah satu bagian favorit Lanitra setiap kali novelnya terbit. Sejak novel pertamanya sudah begitu. Biasanya, novel edisi bertandatangan penulis hanya bisa didapatkan ketika pembaca mengikut pre-order novel sebelum tanggal novelnya dirilis secara resmi. “Minum dulu, Lan.” Alvaro, editor novel Lanitra sejak lima tahun lalu, menyodorkan sebotol minuman dingin berasa. “Iya, Mas Al, thank you!” Lanitra terlebih dahulu meregangkan badan sebelum membuka minuman pemberian Alvaro dan meminumnya. Lalu, ia memijat-mijat pelan bahunya yang juga pegal. “Capek?” tanya Alvaro. “Ya iyalah, Mas!” dengus Lanitra. “Sekali duduk, tanda tangan dua ribu lembar. Belum lagi aku suka ngasih tulisan lucu-lucu gitu, jadinya ya sekarang tangan aku kayak mau lepas.” Alvaro tertawa kecil. “Tapi senang, kan?” “Of course!” Kedua mata Lanitra berbinar menatap tumpukan kertas yang menggunung di atas meja di depannya dan Alvaro sekarang. Ada rasa bangga dan haru yang ia rasakan untuk dirinya sendiri karena mampu melangkah sejauh ini. Lanitra sudah suka menulis sejak dirinya masih SMP dan dari dulu ia selalu berkeinginan untuk menjadi seorang penulis yang terkenal dan memiliki karya yang mampu dipajang di rak best seller. Karir kepenulisan Lanitra dimulai sejak dirinya aktif menulis novel di sebuah platform menulis online saat SMA. Dari sana, Lanitra menemukan pembaca-pembaca yang selalu setiap menanti setiap karyanya. Lalu, setelah tiga tahun aktif menulis di platofrm tersebut, Alvaro yang merupakan seorang editor di salah satu penerbit terbesar di Indonesia menemukan novel Lanitra dan menawarinya untuk menerbitkan novel tersebut. Dari novel pertama hingga sekarang, total sudah lebih dari sepuluh novel yang berhasil Lanitra terbitkan dan semuanya selalu berhasil menempati posisi best seller. Dan dua di antaranya bahkan sudah diadaptasi menjadi film layar lebar. Menjadikan seorang Lanitra Ellena seorang penulis yang namanya cukup di kenal di negara ini, khususnya di kalangan anak-anak muda. “Nggak nyesel aku waktu itu meminang novel pertama kamu, soalnya novel kamu selalu jadi best seller. Yang sekarang juga aku yakin bakal jadi best seller, pre-order yang cuma dibuka dua hari aja tembus lima ribu eksemplar, apalagi kalau udah masuk toko buku nanti,” tutur Alvaro. Kesuksesan Lanitra memang ikut memengaruhi kesuksesannya sendiri. Kini mereka berdua terkenal sebagai duo penulis dan editor muda yang sukses ketika usia mereka bahkan belum mencapai tiga puluh tahun. Dan tak jarang, hubungan mereka yang bertahan cukup lama sebagai penulis dan editor membuat banyak orang berspekulasi kalau mereka punya hubungan khusus yang lebih dari rekan kerja. Padahal, kenyataannya tidak begitu. Tidak juga. “Hehehe, semoga aja. Tapi ini juga kan berkat Mas Al, kalo bukan Mas, nggak mungkin aku bisa sampai kayak gini.” “Aih, bisa aja kamu.” Alvaro tersipu malu dan mengusap pelan puncak kepala Lanitra lembut. “Oh iya, abis ini kamu langsung pulang?” Karena pertanyaan Alvaro, Lanitra jadi ingat kalau dia harus pergi ke suatu tempat setelah ini. Duh, hampir saja lupa! “Untung Mas Al ngingetin!” “Apa?” tanya Alvaro bingung. “Bagian novel yang untuk aku udah jadi, kan, Mas?” Bukannya menjawab kebingungan Alvaro, Lanitra justru balas bertanya. “Udah kok, kan tadi aku taruh di sini.” Alvaro mengambil lima buah novel Lanitra yang akan terbit dari kursi yang terletak di sampingnya. Setelah menerima novel-novel tersebut, Lanitra segera membereskan barang-barangnya. “Aku mau pergi dulu ya, Mas.” “Loh? Beneran mau langsung? Nggak istirahat dulu?” “Buru-buru soalnya,” kata Lanitra setelah memasukkan semua barang-barangnya ke dalam tas yang dia bawa, termasuk novelnya yang diserahkan Alvaro barusan. Hanya butuh beberapa menit bagi Lanitra untuk membereskan semuanya dan dia pun siap pergi. Oh, yang membuat Alvaro heran, Lanitra juga sempat merapikan rambut dan memeriksa dandanannya. “Mau kemana sih?” Gadis itu memberikan Alvaro satu cengiran sebelum menjawab, “Ada deh!” Alvaro mendengus. “Rahasia-rahasiaan banget nih ceritanya?” Hanya senyuman lebar yang diberikan oleh Lanitra sebelum dirinya berpamitan pada Alvaro dan pergi dari kantor. Alvaro tidak perlu tahu bahwasanya Lanitra hendak pergi untuk berterima kasih kepada sumber inspirasi novelnya kali ini. *** Cielo Café adalah sebuah kafe yang didatangi oleh Lanitra enam bulan yang lalu. Ia tidak sengaja menemukan kafe tersebut ketika sedang jalan-jalan sore di area sekitar kompleks apartemen tempatnya tinggal. Sebenarnya, Cielo Café tidak jauh berbeda dari kafe-kafe pada umumnya. Mereka menjual berbagai macam minuman dan makanan. Namun, sejak pertama kali Lanitra datang ke sana, ia langsung suka dengan suasana kafe tersebut yang memiliki interior bagus dan langsung membuatnya nyaman. Terlebih lagi di bagian lantai dua kafe memiliki atap transparan dan dihiasi ornamen-ornamen lampu berbentuk bintang, sehingga membuatnya nampak cantik, apalagi saat senja dan malam hari. Di kunjungan pertamanya, Lanitra hanya memesan Americano dan menghabiskan waktu sebentar di sana. Suasana kafe yang tidak begitu ramai dan tenang membuat Lanitra merasa nyaman dan pada keesokan harinya, ia datang lagi dengan membawa laptop dan menghabiskan waktu cukup lama untuk menulis ditemani minuman dan makanan yang dipesannya. Dan sejak saat itu, Lanitra jadi pelanggan setia Cielo Café. Terhitung hingga hari ini, ia sudah mencicipi hampir semua menu yang ada di sana. Namun, tidak hanya suasana kafe tersebut yang membuat Lanitra sangat suka. Ia juga punya makanan favoritnya di sana, Cinammon Cheesecake, makanan yang tidak akan pernah bisa ditemukannya di tempat lain dan kalaupun ada, rasanya pasti tidak akan sama dengan yang dijual di Cielo Café. Dan satu hal lagi tentang kafe ini, Lanitra suka alias naksir dengan pemilik sekaligus orang yang pertama kali merekomendasikannya Cinammon Cheesecake, yang dikenalkannya sebagai signature dish Cielo Café karena resep Cinammon Cheesecake itu dibuat olehnya sendiri. “Saya ulangi lagi pesanannya ya, Kak, satu Cold Fresh Milk Brown Sugar dan satu Cinammon Cheesecake?” Lanitra mengangguk dan tersenyum singkat pada pegawai kasir yang melayaninya. Sekarang, dirinya sudah berada di Cielo Café, tempat yang memang sedari awal hendak ditujunya setelah proses menandatangani halaman awal novelnya selesai. “Totalnya lima puluh lima ribu.” Kepada pegawai kasir, Lanitra menyerahkan selembar uang seratus ribu. Selagi petugas itu mengambil kembalian untuknya, mata Lanitra sibuk menyusuri ruangan, berharap menemukan seseorang yang memang sedang dicarinya. Namun, nihil. “Ini kembaliannya, Kak. Mau duduk di lantai atas atau-“ “Di sini aja, Mbak. Deket jendela sana.” Lanitra menunjuk satu tempat di dekat jendela yang menghadap langsung ke pintu masuk serta ke meja kasir dan ruangan staff yang ada di balik meja kasir. Tempat itu sangat strategis baginya untuk melihat orang-orang yang keluar masuk. “Oke, Kak. Nanti pesanannya kita antar ya atas nama Kak Lani di meja nomor empat. Mohon ditunggu, terima kasih.” “Iya, Mbak, Makasih.” Lanitra tersenyum sopan, kemudian ia memberanikan diri untuk bertanya, “Oh iya, Mbak. Maaf mau tanya, owner kafe ini lagi nggak ada ya?” “Mas Langit maksudnya?” Lanitra mengangguk. Itu memang nama orang yang sedang dicarinya sekarang. “Mas Langit belum datang, Kak. Kurang tau juga sih hari ini datang atau enggak soalnya beliau lagi ada urusan di luar, jadi belum tentu datang ke kafe. Kalau boleh tau, ada perlu apa ya? Biar nanti saya telepon Mas Langit kalau sekiranya memang penting.” “Oh, nggak usah, Mbak. Nggak apa-apa kok, saya tunggu aja. Makasih.” Lanitra buru-buru menuju tempat duduk pilihannya setelah mengatakan itu kepada pegawai kasir. Ia menghela napas setelah duduk manis di tempatnya, sebab merasa kecewa dengan jawaban yang didapatnya tadi. Pantas saja orang yang dicarinya tidak kelihatan, ternyata laki-laki itu memang belum datang. Padahal biasanya ia ikut menunggu di dekat meja kasir, atau di meja bar menemani barista membuat minuman. Kadang-kadang, ia juga sering membantu pelayan mengantarkan pesanan. Dan kadang-kadang lagi, di malam hari ia suka menyumbang penampilan di panggung yang memang khusus menampilkan live music. Kenapa Lanitra bisa tahu itu semua? Tentu saja karena ia terlalu sering mendatangi Cielo Café selama enam bulan belakangan sehingga ia memerhatikan dan tanpa sadar hapal sendiri mengenai hal-hal tertentu tentang kafe ini, khususnya yang bersangkutan dengan laki-laki itu. Oke, mungkin Lanitra sedikit terdengar seperti penguntit sekarang, tapi sebetulnya tidak seperti itu. Lanitra memang naksir pemilik kafe ini yang ditemuinya enam bulan lalu. Hanya naksir sebatas mengagumi, tidak lebih. Dan Lanitra juga tidak memiliki maksud aneh dengan mencari orang itu sekarang. She just wants to say thank you, that’s it. Lanitra tahu, memang ada kalanya pula laki-laki tidak terlihat di kafe karena mungkin memiliki kesibukan lain, seperti sekarang ini. Ia hanya bisa berharap semoga saja nantinya laki-laki itu tetap akan datang. Karena jika hari ini ia tidak bertemu dengannya, Lanitra tidak bisa menjamin jika esok hari keberaniannya untuk menemui laki-laki itu masih ada. Omong-omong, laki-laki itu, Langit. Hanya sebatas itu yang Lanitra tahu karena sering mendengar pegawai di sini memanggilnya begitu. Entah apa nama lengkapnya, Lanitra tidak berani untuk mencari tahu dengan cara berkenalan langsung. Selama ini, ia hanya mengaguminya dalam diam, tanpa berminat untuk berkenalan atau lebih dekat dengan sosok Langit. Dirinya hanya sebatas suka dan kagum atas kebaikan-kebaikan lelaki itu yang pernah dilihatnya, serta karena cinammon cheesecake ciptaannya, dan senyumannya yang manis. “Welcome to Cielo Café! Mau pesan apa, Kak?” Pertemuan pertama mereka terjadi di kunjungan ketiga Lanitra ke Cielo Café. Waktu itu, Langit yang menyambutnya di meja kasir. Lanitra membaca menu yang ditulis di board dengan kapur berwarna-warni di belakang Langit, bingung harus memilih apa, dan pada akhirnya ia menyerah. “Ada rekomendasi, Mas?” Lanitra memilih bertanya kepada Langit yang hari itu sedang bertugas di meja kasir. “Berhubung di luar lagi panas, saya rekomendasiin Kakaknya untuk pesan minuman yang segar kayak mango squash atau lemon peppermint soda,” Langit menjawab dengan sangat ramah. “Lemon peppermint soda sounds great. Itu deh, satu.” “Makanannya?” “Ada rekomendasi lagi?” Langit tersenyum simpul, tapi waktu itu Lanitra belum tahu kalau nama laki-laki itu adalah Langit. Berbeda dengan pegawai lain di kafe yang memakai seragam dan name tag, Langit justru memakai setelan kemeja hitam yang digulung sampai siku dan jins navy, membuat Lanitra menebak kalau dirinya bukanlah pegawai biasa. “Snack atau main course?” “Snack.” “Okay. Kalau Kakak mau yang savory, saya rekomendasiin tuna & cheese puff. Untuk yang manis, cinammon cheesecake, our signature dish.” “Berhubung saya nggak pernah suka rasanya cinammon, so one tuna & cheese puff please.” Langit mencatat pesanan Lanitra di tablet yang ada di meja kasir, dan mengulangi lagi pesanannya, “Oke saya ulangi lagi pesanannya ya, Kak. Satu lemon peppermint soda, satu tuna & cheese puff, dan satu cinammon cheesecake.” “Hah? Saya kan nggak pesan cinammon cheesecake, Mas.” “Iya, tau kok,” kata Langit, masih tersenyum. “Itu gratis untuk Kakak dari saya, biar saya bisa mengubah pikiran Kakak tentang cinammon.” “Hng?” “Trust me, our cinammon cheesecake is really good, you will fall in love with it.” Awalnya Lanitra sangat sangsi dengan perkataan Langit. Karena sedari dulu, ia tidak pernah menyukai makanan apa pun yang mengandung cinammon. Baginya, rasa dari cinammon sangatlah aneh dan sama sekali tidak cocok dengan lidahnya. Namun, begitu pesanannya diantarkan oleh salah seorang pelayan, di atas salah satu dari beberapa tisu yang ikut diberikan, ada sebuah tulisan. Try the the cinammon cheesecake and prove my words, Miss. – L, Cielo’s owner aka the one who made this wonderful cake Tulisan Langit, tentu saja Lanitra langsung tahu. Terlebih lagi ketika dirinya menoleh ke arah laki-laki itu yang masih menjaga kasir, Langit tersenyum padanya. Lanitra mengedikkan bahu, kemudian menyendok cheesecake dengan sendok kecil yang disediakan. Masih merasa sangsi, ia memasukkan sesendok cinammon cheesecake yang katanya bisa membuatnya jatuh cinta itu. Dan ternyata memang benar. Rasa kue itu membuat Lanitra jatuh cinta bahkan hanya dalam satu kali cicipan. Ia buru-buru menatap Langit lagi dengan mata melebar dan mulut setengah menganga yang cukup untuk menjelaskan isi pikirannya waktu itu yang menjerit-jerit, “What is this?! A cake from heaven?!”  Langit tertawa kecil, lewat ekspresinya ia seolah berkata, “I told you, didn’t I?” Itu adalah pertemuan pertama mereka dan kali pertama Lanitra jatuh cinta kepada cinammon cheesecake milik Cielo Café. Saat itu pula Lanitra tahu kalau Langit adalah pemilik kafe sekaligus yang menciptakan cinammon cheesecake. Hanya saja, ia baru mengetahui bahwa huruf L yang ditulis di tisu saat itu adalah inisial nama ‘Langit’ pada suatu hari ketika dirinya tidak sengaja mendengar salah satu pegawai kafe memanggilnya dengan sebutan ‘Mas Langit’. Itu adalah interaksi satu-satunya yang pernah terjadi di antara mereka. Setelahnya, Langit tidak pernah mengajak Lanitra bicara lagi meskipun mereka sering bertemu di kafe. Laki-laki itu hanya tersenyum simpul padanya, sama seperti dirinya tersenyum kepada pelanggan lain. Dan Lanitra pun bukan orang yang berani untuk memulai suatu obrolan dengan orang baru. Meskipun Langit memberinya cinammon cheesecake gratis yang dilengkapi sebuah notes yang ditulisnya sendiri, hal itu sepertinya bukan sesuatu yang pantas dianggap spesial oleh Lanitra. Mungkin, kepada pelanggan lain yang meragukan cinammon cheesecake ciptaannya, Langit juga begitu. Sangat besar kemungkinan, Lanitra bukan satu-satunya. So, that’s why he doesn’t seem to remember her after that. Namun, sejak saat itu Lanitra seolah selalu mencari Langit setiap kali datang ke kafe. Entah sejak kapan ia jadi mengagumi laki-laki itu, Lanitra tidak tahu. Mungkin memang sedari awal Langit melayaninya di kasir dan memberinya cinammon cheesecake gratis, atau ketika dia melihat senyuman Langit yang manis pertama kali, atau lagi sejak dilihatnya Langit sering menolong orang-orang di sekitarnya, seperti para pegawainya dan pengemis di depan kafe yang pernah diberinya banyak makanan. Atau bisa juga karena Lanitra menyadari bahwa arti namanya dan arti nama Langit sama sehingga membuatnya sempat berpikiran konyol kalau mungkin saja…mereka berjodoh. Entahlah, perasaan kagum dan suka terhadap Langit datang begitu saja tanpa tahu jelas apa alasannya. But you don’t really need a reason to like someone, right? It can happen anytime and the reason could be anything. Dan karena rasa itu, Langit sampai jadi inspirasi bagi Lanitra untuk menulis sebuah novel. Yap, novel barunya yang akan terbit sebentar lagi terinspirasi dari Langit. Judulnya bahkan diambil dari nama kafe ini; Cielo, yang dalam bahasa Spanyol ternyata juga berarti langit. Karena alasan itulah Lanitra sekarang berada di Cielo Café, menunggu Langit. Ia sudah membulatkan tekad dan memberanikan diri untuk berterima kasih kepada laki-laki itu karena telah memberinya inspirasi dalam menciptakan sebuah novel. Terserah Langit mau menanggapi Lanitra nanti seperti apa, yang penting dirinya harus berterima kasih dulu. Tapi ya, Lanitra juga berharap semoga Langit tidak akan menilainya aneh karena telah menjadikannya inspirasi dalam menulis sebuah novel tanpa minta izin sebelumnya. Sayangnya, rencana Lanitra tersebut tidak berjalan dengan lancar. Sebab tiga jam sudah berlalu, bahkan Lanitra sudah menghabiskan semua makanan dan minumannya, namun Langit tak kunjung datang. Dan mau tidak mau, Lanitra harus menelan rasa kecewa. *** Di jam keempat dirinya menunggu, akhirnya Lanitra menyerah dan memutuskan untuk pergi dari Cielo Café karena yakin kalau Langit benar-benar tidak akan datang. Pegawai kasir yang tadi melayaninya sempat menawarkan lagi untuk menghubungi Langit, namun Lanitra menolak tawaran tersebut secara halus. Dirinya dan Langit tidaklah seakrab itu, oh bahkan mereka tidak saling kenal. Urusan Lanitra dengan Langit pun bisa dibilang tidak penting, jadi jika tiba-tiba Langit mengetahui kalau Lanitra mencarinya, yang ada laki-laki itu justru akan merasa kebingungan, sementara Lanitra akan membuat dirinya sendiri malu. Sebelum pergi, Lanitra pun berkata kepada pegawai kasir tadi untuk tidak memberitahu Langit bahwa ia mencarinya. Pegawai kasir itu mengiyakan, meskipun Lanitra tidak benar-benar yakin apakah ia akan menjaga ucapannya terhadap Lanitra atau justru memilih memberitahu bosnya. Dari Cielo Café, semula Lanitra berniat untuk langsung pulang ke apartemennya. Namun, niat itu batal dilakukannya karena ada pesan dari Alvaro yang mengajaknya untuk makan malam bersama dengan beberapa rekan kerja kantor penerbit mereka yang lain, di restoran sushi favorit Lanitra. Berhubung di apartemennya hanya ada mie instan yang bisa dimakannya untuk makan malam, Lanitra pun mengiyakan ajakan Alvaro. Restoran sushi itu terletak di salah satu pusat perbelanjaan besar yang ada di Jakarta Selatan. Untungnya jarak antara Cielo Café dan pusat perbelanjaan itu tidak begitu jauh, sehingga tidak membutuhkan waktu lama bagi Lanitra untuk sampai disana. Lanitra memarkirkan mobilnya di parkiran basement. Bersamaan dengan dirinya keluar dari mobil dan hendak berjalan menuju pintu masuk yang ada di basement, ponselnya berbunyi karena ada telepon masuk dari Alvaro. “Iya, Mas, kenapa? Ini aku udah di parkiran,” ujar Lanitra sesaat setelah ponselnya ia tempelkan di telinga, membuat satu tangannya sibuk memegangi ponsel sementara satu tangannya yang lain sibuk membuka tas yang tersampir di bahunya untuk memasukkan kunci mobil. “Ohh, kukira kamu masih belum sampe. Mau nanya doang, kamu mau pesan apa? Ini kita udah mau pesan,” ujar Alvaro di seberang sana. “Sushi-nya ngikut kayak Mas Alvaro aja, terus aku mau yakiniku ju.” “Chuka iikado mau?” “Itu juga mau! Minumnya orange juice ya, Mas.” “Oke. Kamu buruan kesini ya, jangan lama-lama.” “Iyaaa, ini udah di dalam kok, lagi mau masuk lift. Udah dulu ya, Mas. See you.” Sesuai dengan perkataannya pada Alvaro sebelum memutuskan sambungan telepon, Lanitra memang sudah sampai di depan lift yang letaknya tidak jauh dari pintu masuk basement. Lanitra masih sibuk memasukkan kunci mobil ke dalam tas saat menunggu pintu lift terbuka. Tadi ia sulit melakukannya dengan satu tangan, sekaligus juga sedang sibuk bicara lewat telepon dengan Alvaro sehingga fokusnya terpecah. Lanitra memang tipikal orang yang tidak bisa melakukan dua hal sekaligus dalam satu waktu. Bertepatan dengan kunci mobilnya yang sudah tersimpan aman di dalam tas, pintu lift terbuka. Lanitra mendongak, menunggu beberapa orang yang ada di dalam lift tersebut keluar. Hanya saja, ia sukses dibuat terpaku ketika melihat orang terakhir yang keluar dari lift dan baru saja berjalan melewatinya. Lanitra menoleh ke belakang hanya untuk melihat sekali lagi orang yang baru saja lewat dan ternyata benar saja, orang itu adalah laki-laki yang tadi ditunggunya selama empat jam namun tidak memunculkan batang hidungnya sama sekali. Langit. Dan…Langit tidak sendirian. Ada seorang perempuan cantik yang berjalan di sampingnya. Mereka berdua terlihat akrab dan tertawa bersama. Pandangan Lanitra terpaku pada mereka hingga keduanya menghilang dari pandangan. Pintu lift bahkan sudah tertutup dan lift sudah naik sebelum Lanitra sempat masuk ke dalamnya. “Hah? Kok bisa sih?” gumam Lanitra pada diri sendiri. Mempertanyakan mengapa dirinya bisa bertemu dengan Langit di tempat ini dan melihat laki-laki itu bersama seorang perempuan yang membuat perasaan Lanitra jadi tidak nyaman sendiri. Oke, memang rasa suka Lanitra terhadap Langit tidak lah seserius itu. But it’s still not good to see your crush with someone else, right? Right????! Lanitra menghembuskan napas dalam. Setelah ini ia yakin sekali, sushi yang akan dimakannya nanti pasti tidak akan terasa seenak biasanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD