Prolog

693 Words
“Are you sure you want me to do this?” Di tengah remangnya lampu kamar, Lanitra masih bisa melihat bagaimana Langit menatapnya dengan penuh arti. Di sepasang mata gelap laki-laki itu, ia bisa merasakan kelembutan, keseriusan, dan ketulusan yang Langit berikan padanya. Dan itu jelas membuat perasaannya menghangat, sehangat bagaimana Langit memeluknya saat ini. Damn. She really loves him. She really does. Baru kali ini Lanitra jatuh cinta hingga sejatuh-jatuhnya pada seseorang. Langit adalah orang pertama yang mampu membuatnya merasakan buncahan perasaan seperti ini. Maka bagaimana mungkin Lanitra berkata tidak saat Langit menginginkannya, sama besarnya seperti ia menginginkan laki-laki itu? “Seharusnya kamu nggak perlu nanya lagi.” Lanitra menjawab lembut. Ada senyuman kecil yang menghias bibirnya, dan ia membawa jemari Langit untuk menyentuh lengkungan senyum tersebut. “Of course I’m so sure. No doubts on that.” Detik setelahnya, ganti Langit yang tersenyum, sebelum dirinya menjemput senyuman di bibir Lanitra untuk bersatu dengan senyuman miliknya sendiri. Keduanya memejamkan mata, menikmati bagimana bibir mereka saling bertautan dengan lembut. Ada berbagai macam perasaan yang tersalurkan seiring dengan setiap kecup yang mereka berikan satu sama lain. Rasa sayang. Rasa cinta. Rasa tidak ingin kehilangan. Rasa ingin memiliki selamanya. Lanitra bisa merasakan itu semua pada setiap sentuhan yang diberikan Langit pada tubuhnya. Dan ia harap, Langit pun bisa merasakan hal yang sama dari bagaimana ia menyebut nama Langit dalam desahnya, dan bagaimana ia memeluk laki-laki itu erat pada setiap kenikmatan yang laki-laki itu berikan. Ini adalah kali pertama Lanitra melakukannya. Jujur, rasanya ia sedikit takut. Takut mungkin rasanya akan sakit. Namun, ketika melihat Langit, Lanitra percaya bahwa dirinya tidak akan apa-apa. Langit tidak akan menyakitinya. Langit akan selalu memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. Dan memang benar begitu. Tidak ada rasa sakit, yang bisa dirasakan Lanitra hanya perasaan baru yang membuatnya seolah melayang dengan cara yang menyenangkan dan membuatnya merasa puas sekaligus ingin meminta lagi dan lagi. Her first time was good. No. it was great. Really really great. And it’s because she did it with someone she truly loves. With Langit, the one who holds her sky. “I love you,” bisik Langit tepat di telinga Lanitra sebelum dirinya turun dari atas tubuh kekasihnya itu dan ganti berbaring di sampingnya, kemudian menarik selimut untuk menutupi mereka berdua. Lanitra mendongak untuk memberi satu kecupan singkat di bibir Langit. “I love you too.” Dari dalam selimut, Langit kembali melingkarkan lengannya di tubuh ramping Lanitra, memeluknya erat.  “Selamanya kamu bakal terus sama aku, kan?” tanya Langit. “Selamanya,” jawab Lanitra tanpa ragu. “Oke. Selamanya. Aku pegang kata-kata kamu.” Lanitra hanya tersenyum geli dan balas memeluk Langit erat, menyandarkan kepalanya di atas d**a bidang laki-laki itu. Tidak ada lagi yang berbicara di antara mereka setelahnya, yang terdengar hanya deru napas masing-masing dan suara pendingin ruangan yang samar-samar terdengar. Ketika Lanitra mendongak tidak lama kemudian untuk melihat Langit, laki-laki itu sudah memejamkan mata dengan napas yang teratur. Memandangi Langit yang sedang tidur adalah salah satu hobi Lanitra. Jadi, meskipun dirinya juga mengantuk dan ingin segera istirahat, ia masih menyempatkan diri untuk memandangi wajah tidur laki-laki itu selama yang dia bisa selagi menikmati otaknya memikirkan bagaimana bisa seorang Lanitra Ellena bisa sejatuh cinta itu pada Langit Dawana, terlepas dari semua kelebihan dan kekurangan yang laki-laki itu punya. Jemari Lanitra bergerak untuk menyentuh wajah Langit, menyusuri setiap lekuk wajahnya. Kelopak matanya yang terpejam dan dihiasi bulu mata panjang, alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung, rahangnya yang tegas, dan bibirnya…yang selalu mampu membuat Lanitra kehilangan akal. Lanitra mengusap pelan bibir Langit, lalu mengecupnya selembut yang dia bisa sebagai ciuman selamat malam. Ia sudah ingin tidur setelahnya, namun mata Langit justru terbuka lagi, membuatnya sedikit merasa bersalah karena telah membuat laki-laki itu terbangun. Langit mengerjap pelan beberapa kali sebelum tatapannya jatuh pada gadis yang ada di pelukannya. Lanitra sudah ingin meminta maaf karena membuatnya terbangun, namun kata-kata itu justru tertahan di ujung lidah akibat keterkejutan melihat tatapan Langit yang terlihat berbeda. Tidak ada lagi tatapan penuh ketulusan dan kelembutan seperti sebelumnya, yang ada hanyalah tatapan dingin dan kelam. Saat itu Lanitra langsung tersadar, di hadapannya sekarang…bukan lagi Langit Dawana. Jantung Lanitra spontan berdetak lebih kencang. Ia ingin menarik diri menjauh, namun Langit justru mendekapnya erat. Satu seringai kecil muncul di wajah laki-laki itu, membuat Lanitra menahan napas karena takut. “Who are you?” Lanitra membisikkan pertanyaan dengan sisa keberaniannya yang ada. Dengan santai laki-laki itu menjawab, “Not the f*****g loser Langit Dawana, of course.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD