Chapter 04

1536 Words
"Jendra? Ngapain?" tanya Diandra saat dirinya kembali ke ruangannya dan mendapati suaminya tengah duduk santai di sana. "Hey. Aku belum ketemu kamu. Kenapa nggak pulang dulu sih tadi pagi?" "Sibuk banget. Sore nanti gue balik, kok." jawab Diandra sambil merapikan mejanya tanpa menghampiri Rajendra. "Makan siang dulu." "Gue tadi sekalian makan siang, kok." "Kok, kamu nggak bilang dulu?" "Lah? Gue aja nggak tau lo mau ke sini. Ada apa? Mama lo nyuruh lo ngomong apa lagi, Ndra?" "Kok kamu jadi bawa-bawa mama, sih?" Diandra hanya memutar bola matanya malas karena nada bicara Rajendra yang selalu lebuh tinggi saat dirinya membicarakan tentang ibunya. Ia sudah menduga kalau suaminya akan seperti ini. "Lupain. Lo masih ada yang mau diomongin, gak? Gue masih harus keluar." "Di..." "Ndra, kalo ada yang mau diomongin, nanti pulang aja. Gue bener-bener nggak bisa mikir. Lagi banyak kerjaan." Diandra kembali meninggalkan ruangannya tanpa berpamitan kepada Rajendra yang masih berada di sana. Pria itu hanya menggeleng. Ia tahu Diandra sudah terlalu lelah dengan semua yang terjadi saat ini. Karena, ia tahu Diandra selalu bisa mengontrol emosinya kalau keadaan tidak terlalu buruk. Tetapi, ia tidak bisa berbuat banyak. Untuk sekedar mengatakan sesuatu tentang istrinya itu kepada sang ibu. Rajendra terlalu lemah jika ibunya sudah menangis. Jadi, sebisa mungkin ia hanya meminta maaf dengan apapun yang terjadi. *** "Mil, kabarin saya kalau Jendra keluar." pesan Diandra. Wanita itu sebenarnya tidak benar-benar bertemu dengan klien. Ia memang hanya ingin menghindar dari Rajendra di jam-jam kerja. Dan sekarang, ia tengah membeli kopi favoritnya. Sebenarnya, ini sudah kali kedua padahal baru setengah hari. "Siap, Bu. Tapi, tadi bapak langsung pergi juga." "Thanks, Mil. Selalu kabarin, ya. Awas, jangan lupa!" "Oke, Bu." Mila hanya menggeleng karena tingkah sang atasan dengan suaminya yang kucing-kucingan seperti ini. "Nyusahin aja, sumpah! Tau nikah ribetnya lebih daripada omongan orang karena nggak nikah-nikah, gue mending nggak nikah sekalian, deh. Nyesel banget dulu malah nurut bukannya kabur ke luar negeri, kek. Atau ke mana gitu biar nggak ribet!" Diandra terus menggerutu sepanjang perjalanan kembali ke butiknya. Wanita itu mengabaikan sisi elegan yang selalu ditunjukkannya. "Udah, Bu. Namanya rumah tangga pasti ada pasang surutnya. Nanti juga ketemu jalan keluarnya. Asal diselesaikan dengan kepala dingin." Mila menyambut Diandra dengan ocehannya. "Alah, Mil. Kamu ngomong gitu karena permasalahan rumah tangga kamu nggak kayak saya." "Ya, Bu. Kan masalah rumah tangga tiap orang beda. Bu Diandra kan keren, pasti bisa selesaikan masalah ini. Segala deadline aja Ibu habiskan." "Ya gitu. Kamu harusnya kayak saya." Diandra meninggalkan Mila yang masih terdiam di tempatnya sambil memandang punggung Diandra yang semakin menjauh. "Ah bentar, gue baru kepikiran, makanan yang tadi pagi gue makan dan nggak apa-apa. Jadi, siapa yang iseng gini sama gue? Ya kali, secret admirer. Orang segue? Gila!" kekeh Diandra. Wanita itu menatap catatan yang sengaja ia ambil dari kiriman tadi pagi. Ia masih mengingat tulisan tersebut. Apakah ia pernah melihatnya? Namun, ia benar-benar tak mengingatnya sama sekali. "Nggak tau, lah!" Ia menaruh kertas tersebut ke lacinya. Tepat di atas kartu yang didapatnya di malam sebelumnya. Diandra kembali bergelut dengan pekerjaannya. Ia usahakan semua selesai tidak sampai malam tiba. Bukan karena ia ingin pulang, tapi kepalanya juga terasa lumayan pening jika terus-terusan dipaksa bekerja melewati batas. Karena, kali ini yang menyebabkannya seperti ini bukan karena dirinya terlalu gila bekerja. Melainkan, melepas semua penat yang dirasakannya. *** Diandra memijat dahinya sambil berjalan menuju parkiran. Ia benar-benar pulang tepat waktu. Semoga saja, tidak ada hal-hal aneh nanti. Karena, ia ingin istirahat. Ia tidak boleh terlihat kacau karena esok hari akan ada pemotretan setelah sekian lama. Ia harus menjaga penampilannya. Terutama wajahnya yang harus terlihat segar. Gerakannya membuka pintu mobil harus terhenti saat ia melihat sesuatu di atas kap mobilnya. 'Selamat istirahat, Di. Jangan stress-stress, ya. Diminum lagi vitaminnya biar besok nggak kelihatan lemas.' "Siapa, sih? Sumpah ya, kalo mau main-main gak usah sama gue!" teriak Diandra. Di tempat itu tidak ada orang satupun. Jadi, teriakan Diandra hanya menggema begitu saja. "Siapapun lo, harusnya lo nggak usah main kayak gini. Ini malah nambahin pikiran gue tau!" Mengabaikan hal tersebut, Diandra langsung memasuki mobilnya. Cuaca terlihat sedang tidak terlalu bagus. Ia tidak ingin terjebak hujan dan macet sekaligus. Itu akan sangat menyebalkan. Ponsel Diandra terus berdering dengan nama Rajendra tertera di sana. Suaminya itu pasti akan menanyakan di mana ia sekarang. Dan memberitahukan kalau ia pulang juga tidak ada gunanya. Toh, nanti juga bertemu. "Lho, Di? Kamu pulang kok nggak ngabarin aku?" tanya Rajendra begitu ia sampai di rumah. "Ya gue kan balik ke sini juga." "Tapi, aku belum siapin makan malam." "Nggak usah repot-repot, Jendra. Gue nggak mau disebut nggak ngurusin suami. Tuh, gue udah beli makanan buat makan malam." tunjuk Diandra ke arah meja makan. "Kamu mau aku siapin air hangat buat mandi?" "Nggak usah, Jendra. Gue bisa sendiri." Diandra langsung beranjak ke kamar mereka. Tidak berbohong kalau ia sangat lelah dan ingin langsung tertidur dan tidak melakukan apapun. Rajendra hanya menatap nanar punggung sang istri yang semakin menjauh dan hilang di balik tangga yang melingkar menuju lantai dua. Baru kali ini, Diandra semarah ini. Entah, rasa menghargainya sudah hilang entah ke mana. Sudah terlalu lelah mencoba menghargai tapi tidak berarti sama sekali. "Teh jahe buat kamu, Di." Rajendra menunjuk mug besar yang berada di atas nakas. "Thanks, Ndra. Tapi lain kali nggak usah. Nanti gue ngerepotin--" "Di, please jangan terlalu nganggap omongan mama. Mama nggak bermaksud kayak gitu." Rajendra memotong pembicaraan Diandra. "Kamu nggak pernah ngerepotin, kamu selalu jadi istri yang baik." "Ya, itu kan lo yang ngerasa. Mama lo tau nggak? Nggak, kan? Udah deh, gue beneran nggak mau bahas ini." "Oke. Tapi, stop ngerasa kayak gitu, Di." Diandra mengangguk sebagai jawaban. Ia sibuk mengeringkan rambutnya. Namun, pergerakan tangannya tertahan oleh Rajendra yang mengambil hairdryer yang tengah digunakannya. "Biar aku aja, Di." Lelah berdebat, Diandra membiarkan sang suami mengambil alih tugasnya dan ia memilih menggunakan rangkaian perawatan kulit mahalnya. "Thank, Ndra." "Di, maaf kalau mama bikin kamu ngerasa terbebani. Yang penting, kamu nggak kayak gitu, kan?" "Tapi, Ndra. Seenggaknya lo ngomong apa, kek. Jujur aja, gue nggak mau berantem. Apalagi, sama orang tua. Tapi, gue juga juga capek kalo terus-terusan kayak gini." Rajendra tidak menjawab dan menarik Diandra ke pelukannya. Diandra hanya pasrah menerima perlakuan sang suami. Karena, kalau boleh jujur, ia butuh pelukan seperti ini saat dirinya terlalu lelah. Di detik berikutnya, Diandra melingkarkan tangannya di perut Rajendra. Rasa kantuknya menyeruak saat suaminya itu mengusap lembut puncak kepalanya. "Pindah, yuk." Diandra mengangguk dan mengikuti Rajendra ke tempat tidur. "Kamu jangan capek-capek, Di." "Gue cuma mau tenang, Ndra. Selain itu, kerjaan gue juga emang banyak." "Besok kamu ada photoshoot, ya?" "Hmm..." Diandra hampir terlelap sampai Rajendra mendaratkan sebuah kecupan tepat di bibirnya. "Ndra..." "Aku kangen kamu, lho." "Jujur, Ndra. Lo jangan mulai, deh. Gue nggak bisa. Mending nggak sama sekali daripada berhenti pas lagi enak-enaknya." Tentu saja, itu semua hanya ucapan dalam hati Diandra. "Gue nggak mau kecapekan terus kesiangan besok." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Diandra. "Tapi, Di..." "Tidur, Ndra." Diandra memejamkan matanya. Rajendra akhirnya hanya mengembuskan napas pasrah dan ikut memejamkan matanya. *** "Ndra, gue nggak sarapan di rumah, ya. Buru-buru, nih." Diandra mondar-mandir membawa barang-barang yang diperlukannya ke dalam mobil. "Lho, Di. Nanti maag kamu kumat." "Udah sedia di sana, kok. Gue udah bilang sama team. Gue takut macet dari sininya." "Oke kalau gitu. Hati-hati. Jangan ngebut." "Ya, Ndra. Gue berangkat dulu." Alasan Diandra berangkat sepagi ini bukan karena jadwalnya memang pagi-pagi sekali. Tetapi, ia sempat mendengar percakapan Rajendra dengan ibunya yang mengatakan akan berkunjung pagi ini. Entah, apa yang ada di dalam pikiran mertuanya itu. Daripada ia telat karena ocehan sang mertua, Diandra memilih beralibi dengan jadwalnya. Dsn sekarang, ia berada di kedai bubur langganannya untuk sarapan. "Mil, lo masih di rumah nggak?" tanya Diandra. "Masih, Bu." sahut Mila yang tampak tengah sibuk dari balik teleponnya itu. "Saya lagi siap-siap takut ketinggalan bus. Soalnya, suami saya berangkat pagi." "Saya jemput aja. Kebetulan, saya lagi sarapan nggak jauh dari rumah kamu. Kamu jalan aja ke sini." "Oh, di bubur, ya?" "Hmm... Jangan lama-lama kalau kamu belum sarapan biar sekalian." "Siap, Bu." Tak lama setelah itu, Mila dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya itu datang. Ya, setidaknya Diandra punya teman bicara pagi ini dan tidak terlihat aneh karena harus sarapan sendirian. "Ibu nggak sarapan di rumah?" tanya Mila. "Nggak. Biasa, mertua konyol banget pagi-pagi gini ke rumah. Bisa telat kan nanti?" Mila mengangguk sebagai jawaban. Diandra sering bercerita kepada Mila yang dianggapnya bisa dipercaya. Selain itu, Mila tidak terlalu kuat mengingat. Mungkin, ia tahu garis besarnya tapi tidak dengan detail setiap ceritanya. "Saya pikir, jadi orang kaya enak banget, Bu." "Semua orang punya enak nggak enaknya, Mil. Cuma, kayaknya saya apes aja karena banyak nggak enaknya. Bahkan, saya sendiri bodoh karena nggak berdaya sama duit sendiri." "Saya yakin, nggak ada kesulitan yang abadi, Bu." "Iya, Mil. Saya tau. Kamu ini lebih muda dari saya tapi kok bisa banget ngontrol emosi, ya?" "Kebiasaan kali, Bu. Saya kan anak pertama, adik saya tiga. Jadi, kebiasaan ngatur mereka. Eh, nggak ada hubungannya, ya?" kekeh Mila. "Ada hubungannya. Kamu jadi lebih dewasa. Saya kebanyakan ego tapi nggak bisa ngapa-ngapain. Emosi doang sendiri." "Ah, tapi Ibu hebat. Mandiri. Bisa punya kemampuan hebat kayak gini." "Kita muji-muji mulu. Ayo, berangkat." "Siap, Bu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD