Chapter 03

2011 Words
"Sorry, Di." ucap Rajendra pelan sambil bangkit dari tempat tidur dan memunguti pakaiannya yang dilempar begitu saja ke lantai. Pria itu beringsut ke kamar mandi dan meninggalkan Diandra begitu saja dengan wajah yang penuh dengan tanda tanya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara gemericik air yang menandakan Rajendra sudah menyibukan dirinya di bawah shower. Sebenarnya, Diandra cukup tahu permasalahan Rajendra. Namun, dulu rasanya tidak terlalu parah seperti ini. Menurut Diandra yang tidak terlalu maniak dengan hubungan badan, yang mereka lakukan sudah cukup. Tetapi, semakin ke sini rasanya Diandra semakin tidak puas. Rajendra sering kali meninggalkannya bahkan sebelum klimaksnya. Padahal, Rajendra selalu agresif dalam memulai. Namun, kegiatan mereka selalu berhenti sebelum tuntas. Ah, atau lebih tepatnya Rajendra selalu mengakhirinya terlebih dahulu. Diandra tidak mengatakan apapun. Ia langsung masuk ke kamar mandi setelah Rajendra keluar. Pria itu juga tampak canggung tanpa bicara apapun lagi. Setelah menikah, mungkin ini adalah kecanggungan mereka yang paling terasa. Hanya ada keheningan di ruang makan meski Diandra masih tetap membuat sarapan untuk mereka berdua. "Makan siang lo. Sorry, buat makan malam kayaknya lo mending makan di luar. Gue lembur lagi. Harus kelarin desain minggu ini." Diandra menggeser kotak makan ke depan Rajendra. "Thanks, Di." Diandra hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban. Keduanya kembali pada pikiran masing-masing sampai ponsel Rajendra berdering memecah keheningan kediaman megah mereka. "Ya, Ma?" jawab Rajendra. Diandra tahu kalau suaminya itu menerima telepon dari sang mertua. Memilih abai, ia kembali fokus pada sarapannya. "Mama, kita udah sepakat nggak bahas ini lagi, kan?" Rajendra tampak menahan agar nada bicaranya tetap stabil. Lagi-lagi, percakapan ibu dan anak itu selalu terdengar menyebalkan bagi Diandra. Mertuanya itu selalu membahas tentang mengajari istri dengan baik. Menyuruh Diandra program hamil. Ketidaksopanannya. Dan semua hal buruk tentangnya. Rajendra memang tak pernah menegurnya sama sekali. Tetapi, suaminya itu juga tidak pernah membelanya sama sekali. Bahkan, hanya dengan mengatakan kalau Diandra sudah melakukan tugas sebagai seorang istri dengan baik. Yang selalu Rajendra katakan hanya berhenti membahas itu, mengalihkan topik. Diandra hanya bisa menghela napasnya. Hari ini ia akan sangat sibuk dan pagi harinya harus diawali dengan hal seperti ini. Mendengar percakapan yang semakin tidak enak diantara mereka, Diandra memutuskan untuk mencuci perabotan bekas sarapan mereka. "Biar Bibik aja, Bu." Sang asisten rumah tangga langsung mencegah Diandra yang sudah terlihat rapi itu. Minah, sang asisten rumah tangga terkadang merasa iba pada Diandra yang selalu mendapat perlakuan seperti itu. Padahal, wanita itu selalu melakukan sesuatu dengan baik. Walaupun, semua orang mungkin tahu rumah tangga mereka tidak dilandasi perasaan cinta. Hanya sekedar sebuah status yang menyelamatkan usia masing-masing. "Oke, Bik. Saya mau siap-siap dulu, ya. Bilang bapak kalau saya berangkat duluan." Diandra sengaja mengambil jalan belakang tanpa melewati Rajendra yang masih sibuk dengan panggilannya. "Kayak sia-sia banget gue selama ini jadi istri yang baik. Ya, biarpun gue nggak bisa punya perasaan lebih buat Jendra, tapi gue nggak pernah kurang apa-apa. Dan gila aja gue masih diginiin." Diandra memukul kemudinya frustasi. Kemacetan pagi ini juga membuatnya semakin dibuat kesal. Mengapa ia jarang sekali mendapat hari baik? Ia melirik ponselnya yang terus berdering dan menunjukkan nama Rajendra di sana. Diandra tidak ingin mendengar kata maaf yang selalu dilontarkan suaminya itu setiap kali ibunya habis mengatakan hal-hal buruk tentangnya. "Jendra tuh kenapa, sih? Dia udah kepala tiga. Bahkan lebih. Masih aja kayak gitu. Aturan dari awal dia nggak setuju buat nikah. Biar sekalian aja tetep ngumpet di ketiak mamanya!" Diandra masih terus mengeluarkan semua kekesalannya sampai ke butiknya. "Pagi, Bu." sapa karyawannya yang hanya dibalas anggukan dan senyum seadanya. Siapapun akan tahu kalau pagi sang bos sedang tidak baik. Jadi, sebisa mungkin mereka melakukan apa yang mereka bisa tanpa bertanya pada Diandra kecuali hal-hal mendesak. Diandra menatap tabletnya dengan pandangan kosong. Seharusnya, desain ini tinggal tahap akhir. Tetapi, rasanya ini akan memakan waktu yang lama karena tingkat konsentrasinya berkurang drastis. "Ada aja, mertua! Suami juga sama aja! Gue bilang juga enakan single! Kenapa sih orang tua harus banget terpenuhi egonya tanpa peduliin anaknya gimana? Huh! Gue ngeluh terus kayak anak baru masuk kuliah, kan!" Wanita itu menyandarkan tubuhnya dengan lemas. Entah, desainnya akan benar-benar selesai hari ini atau tidak. Sepertinya, malam ini ia tidak akan pulang ke rumah sekalian. Ia benar-benar butuh waktu untuk sendiri. Meninggalkan desainnya yang tidak ingin gegabah ia kerjakan, Diandra memilih mengecek e-mail yang dikirimkan oleh sang asisten. "Hallo, Mila. Kamu bisa ke ruangan saya sekarang?" Tanpa menunggu jawaban dari seberang sana, Diandra sudah memutus panggilannya. "Pagi, Bu." "Pagi, Mil. Saya sudah periksa e-mail yang kamu kirim. Tapi, seperti biasa kita nggak nerima semua, ya. Saya harus ngomong ini sama kamu langsung biar kamu nggak lupa lagi." Mila menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Perempuan berusia dua puluh lima tahun itu memang kerap kali lupa kalau Diandra hanya bicara lewat telepon dan ia belum menuliskannya ke dalam catatannya. Diandra sering dibuat pusing dengan hal itu. Tetapi, alasan ia masih tetap mempekerjakan Mila adalah kejujurannya. Mila adalah orang ketiga yang bekerja sebagai asisten Diandra dan bertahan paling lama karena ia tidak melakukan kecurangan. "Silakan kamu catat. Saya ambil sweet magazine buat bulan ini. Untuk jadwal temu, jadwalkan minggu depan." "Sweet magazine yang minta Ibu sekalian jadi modelnya, kan?" "Ya iya, Mila. E-mailnya kan masuk ke kamu dulu. Yang lain sudah saya e-mail balik ke kamu karena hanya pertemuan biasa. Awas lupa!" "Siap, Bu. Mila permisi." "Hm..." *** Diandra masih berkutat dengan desainnya di hari yang sudah petang ini. Sinar jingga menciptakan bias indah di ruangannya yang didominasi kaca. Ruangan yang terasa damai dengan iringan musik klasik yang menemani wanita itu bekerja. Ia juga sengaja mematikan ponselnya yang selalu mengganggu konsentrasinya. "Permisi." Diandra menghentikan aktivitasnya saat pintu ruangannya diketuk beberapa kali. "Masuk, Mil." "Ibu lembur?" "Hm." "Kok, lembur, Bu? Kenapa nggak dikerjain di rumah aja?" Pertanyaan Mila mendapat tatapan tajam dari Diandra yang membuat gadis itu meringis. "Iya, maaf. Ini, saya ikut lembur, nggak?" "Ya nggak. Depan sudah tutup dari satu jam yang lalu, kan?" tanya Diandra. "Sudah, Bu." "Terus, kamu ngapain masih di sini, Mil?" "Eh, ini. Aduh. Vitamin buat Ibu. Jangan kelelahan, Bu. Diminum, ya." "Makasih, Mila. Kamu emang paling pengertian. Suami kamu pasti bangga sama kamu." "Tentu. Ini, suami saya sudah nunggu di depan." "Lah, terus kenapa kamu nanya ikut lembur apa nggak?" Mila tidak menjawab dan hanya tertawa ringan. "Ya sudah. Pulang sana!" "Makasih, Bu." Diandra menatap punggung Mila yang menghilang di balik pintu yang baru saja ditutupnya. Ia tersenyum miris. Mila termasuk karyawannya yang menikah muda. Ternyata, memang tidak semua pernikahan hasilnya getir seperti yang ia rasakan. Mungkin, Diandra bisa mengatakan kalau ia iri dengan pernikahan Mila. Pernikahan dengan landasan saling mencintai, keluarga kedua belah pihak yang harmonis. Mungkin, Diandra tidak akan mengeluh masalah pernikahan seperti sekarang ini. Bayangan bagaimana dukungan mertua Mila pada saat perempuan itu mengali keguguran membuatnya kembali meringis. "Bisa-bisanya gue iri gini sama Mila." Diandra memantik rokoknya dan mencoba menenangkan diri sejenak dengan menatap matahari yang mulai tenggelam. Ia tidak peduli dengan asap yang mengepung ruangannya. Beberapa batang candu itu habis dinikmatinya sampai langit benar-benar gelap. Kebiasaan ini memang masih ia lakukan saat sendiri dalam pikiran-pikiran yang begitu mengganggu. Namun, ia selalu melakukannya dengan sangat hati-hati. Bisa habis ia kalau orang tua atau mertuanya mengetahui ini. Kalau Rajendra, ia tidak peduli. Toh, suaminya itu juga kadang merokok. Jendra : Di, kamu pulang jam berapa? Biar aku jemput, ya. Diandra yang baru saja menghidupkan ponsel itu berdecak mendapati pesan yang dikirimkan oleh sang suami. To Jendra : Gue nggak pulang ya, Ndra. Mau kelarin desainnya malam ini juga. Beruntung, ia membuat kamar tidur yang nyaman di butiknya. Tempat ini menjadi pelarian terbaik untuk Diandra. Wanita itu memutar bola matanya malas saat Rajendra malah meneleponnya. "Iya, Ndra. Gue lagi kerja. Kenapa?" "Kamu serius nggak pulang?" "Ck. Iya. Gue nggak mau kehilangan konsentrasi lagi." decak Diandra. "Sorry ya, Di." "Biasa. Udah ya." Diandra memutus panggilan tersebut secara sepihak. Ia kembali memantik rokoknya dan bukan menyentuh tabletnya. Seperti yang ia duga, Rajendra akan berkata, 'Sorry, Di.' Hal yang membuat Diandra semakin muak dari hari ke hari. "Kayaknya gue harus ngopi." Diandra bangkit dari duduknya dan merapikan penampilannya. Ia juga menyemprotkan parfum demi menghilangkan aroma rokok yang menyengat. Saatnya menetralkan ruangannya. Beruntung, lokasi butiknya berada di pusat kota yang sangat berdekatan dengan berbagai tempat. Termasuk, gerai kopi dengan logo hijau yang sangat populer itu. Ya, gerai kopi kesukaannya sejak lama. "Ice americano, biasa." Sang barista yang memang sudah biasa menerima pesanan dari Diandra itu pun mengangguk paham. Lagi-lagi, kesabaran Diandra dilatih karena antrean yang cukup panjang. Ia sudah kebosanan duduk di tempat itu dan sialnya ia meninggalkan ponselnya. Jadi, ia hanya bertopang dagu menunggu pesanannya selesai. "What the f***." Diandra refleks berteriak ketika rasa panas menjalari pahanya. "Oh my God. Sorry." Seorang pria yang diduga pelaku itu pun membungkuk beberapa kali. Meminta maaf karena tidak sengaja menumpahkan kopi ke paha Diandra. "Hati-hati dong, Mas. Ngambil HP doang sampe kopi tumpah!" Diandra dalam kondisi tidak baik-baik saja memang susah mentolerir kesalahan orang lain barang sedikitpun. "Saya benar-benar minta maaf. Saya buru-buru." Pria itu berlalu begitu saja dan membuat Diandra semakin kesal. Untung saja, tak lama setelah itu pesanannya selesai. "Kak, ada titipan." Diandra mengernyit heran saat menerima sebuah kartu. "Orangnya pergi terburu-buru dan hanya mengatakan ini untuk Kakak." "Salah orang, kali." "Nggak, Kak. Beliau bilang untuk Kak Diandra, kok." "Ah, oke." Diandra masih bingung sambil menatap kartu yang dipegangnya. Alamat sebuah bar yang tak asing baginya. Tetapi, tak ada nama yang tercantum di sana. Diandra juga semakin dibuat kebingungan karena orang yang memberikan ini mengetahui namanya. Ah, harusnya tidak heran karena ia cukup terkenal. Tetapi, siapa yang memberikan itu? Apa mungkin, pria yang menumpahkan kopi ke pahanya? "Gila banget kalo sampe ada yang ngajak gue main kayak gini," kekeh Diandra sambil memasukan kartu tersebut ke dalam sakunya. Diandra kembali ke ruangannya yang kini sudah bebas dari asap rokok yang mengepungnya. Saatnya ia kembali bekerja. Suasana hening seperti ini sangat dibutuhkan dalam waktu yang lama untuk Diandra. Tidak ada ocehan ibunya, mertuanya dan ketidakberdayaan suaminya yang hanya mengatakan maaf berulang kali. Mengingat ketidakberdayaan, Diandra kembali teringat pagi harinya yang cukup memalukan bagi Rajendra. Ia terkekeh pelan. Namun, ia juga berpikir kalau hal itu cukup bagus karena tidak ada alasan tidak melayani suami. Toh, suaminya saja seperti itu. Ia juga tidak perlu repot-repot memikirkan perihal anak yang kemungkinan adanya akan sangat kecil. Hal yang tidak akan merenggut kebebasannya bepergian ke luar negeri dan mengeksplorasi banyak hal mengenai fashion. "Ah, tapi mamanya Jendra kan maksa terus minta cucu. Dia apa nggak tau gimana anaknya?" gumam Diandra. Ia mengangkat bahunya dan kembali bekerja. Mungkin, Rajendra belum menceritakan perihal ini kepada ibunya. *** Bangun pagi tanpa menyapa seseorang di sampingnya ternyata masih terasa menyenangkan. Diandra juga merasa pikirannya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Perasaannya sudah kembali normal. "Ayo, Di. Jangan biarin siapapun merusak hari lo kali ini. Jangan ketemu orang nyebelin. Jangan mikirin omongan orang juga!" Diandra menyapa ruangannya yang masih berantakan karena ia bekerja sampai larut malam. "Pagi, Bu." "Pagi." Diandra membiarkan office boy membersihkan ruangannya terlebih dahulu. "Maaf, Bu. Ini ada titipan buat Ibu." "Dari siapa, ya?" "Saya tidak tau." Diandra kembali ke kamarnya dan melihat apa yang dikirimkan seseorang di pagi hari selain bunga yang tentu saja terlihat mencolok. 'Morning. Kamu pasti kelelahan karena lembur, kan? Ini sarapan saya masak khusus buat kamu. Ada vitamin juga. Jangan dibuang, ya. Saya nggak punya niat jahat sama kamu.' Diandra yang tidak menemukan petunjuk dari surat tersebut pun langsung bergegas menemui office boy yang memberikan ini kepadanya. "Pak Ari, Bapak beneran nggak tau siapa yang ngasih ini?" "Nggak, Bu. Soalnya, ojol yang antar." "Oke, deh. Sorry ganggu, Pak." Diandra kembali memeriksa makanan dan bunga tersebut. Ia takut ini adalah sebuah teror untuknya. "Kalo orang macam-macam, dia nggak mungkin ngasih gue vitamin segala, kan?" Namun, kecurigaannya tak sampai di sana. Diandra membongkar buket bunga yang diterimanya. Takut ada kamera atau apapun yang terselip di sana. Lagi-lagi Diandra tidak menemukan hal janggal apapun di sana. Ia semakin frustasi dibuatnya. Tetapi, siapa orang iseng yang berbuat seperti ini? Sudah dua kali sejak semalam dan Diandra harusnya tidak tinggal diam. Ia memiliki reputasi yang cukup baik di bidangnya. Jangan sampai ada skandal yang membuat namanya buruk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD