Chapter 02

1478 Words
Terjebak di antara wanita-wanita berumur dengan segala ambisi memuakkannya membuat Diandra merasa sangat tidak nyaman. Apalagi, mereka sibuk berlomba-lomba memamerkan segala hal dan seakan tidak ingin saling mengalah. Pantas saja, ibunya sering sekali membandingkannya dengan yang lain. Ternyata, pergaulannya seperti ini. Kalau boleh Diandra menuduh, semua ini karena pengaruh mertuanya yang entah sejak kapan akrab dengan sang ibu dan membawanya ke pergaulan semacam ini. Diandra lebih baik menghabiskan waktunya seharian di butik atau menyelesaikan rancangannya daripada berada di tempat ini. Entah, apa yang ada dipikiran ibu dan mertuanya. Kehadirannya digunakan sebagai ajang pamer. Menjelaskan tentang semua pekerjaannya dari a hingga z yang sebenarnya tidak perlu. "Eh, Diandra belum isi, ya? Anak saya, Luna sudah isi, lho. Padahal, kayaknya nikahnya duluan kamu dama Jendra, kan?" celetuk salah seorang di sana yang Diandra tidak tahu namanya. Diandra yang sebelumnya tengah sibuk bermain ponsel pun akhirnya menegakan tubuhnya. Pertanyaan semacam ini yang paling tidak disukainya. Apalagi, kalau sampai dibandingkan dengan orang lain. Memang, sebelum menikah, ia selalu mendapat cibiran. Setelah menikah pun ternyata masalah tidak hilang begitu saja. Rasanya, ia ingin sekali menjauhkan ibunya dari pergaulan semacam ini. Diandra ingin hidupnya tenang. Tidak harus terus-menerus mengikuti aturan masyarakat yang sebenarnya tidak juga harus diikuti. Setiap orang kan punya hak hidupnya sendiri-sendiri dan pencapaiannya pun berbeda juga. "Saya masih sibuk, Tante." Diandra menjawab singkat. "Jangan sibuk-sibuk banget, Diandra. Kamu kan punya banyak karyawan. Bahkan, suamimu itu lho, kaya betul. Usia makin tua nanti susah hamil. Kasihan tuh ibu sama mertuamu sudah mau menimang cucu." Diandra rasa, pembicaraan ini sudah cukup keterlaluan. Mereka membahas hal-hal yang di luar batas. Ini bukan ranah mereka. Lagipula, mengenai anak, ia dan Rajendra tidak pernah membahas hal ini sama sekali. Mereka menjalani hidup sesuai dengan apa yang berjalan. Wanita itu mengembuskan napas kasar. Ia ingin menyahut kembali tapi mungkin mereka tidak akan kalah dan malah membuatnya seolah bersalah dengan mengatakan tidak sopan dan lain-lain. Kebetulan, ponselnya berbunyi. Menampilkan nama karyawannya yang langsung membuatnya pamit dari lingkaran setan tersebut. "Di pamit dulu, Ma." Setelah pamit pada ibu dan mertuanya, ia langsung melesat pergi. Ia juga tidak pamit sama sekali pada yang lain. Biar saja, biar mereka tahu kalau bahasan mereka membuatnya tidak nyaman. "Jeng, Diandra itu mesti diomongin. Sudah menikah kok masih sibuk di pekerjaan terus." Pembicaraan masih berlanjut meski Diandra sudah pergi. Yang artinya, wanita itu pasti akan menerima ceramah panjang dari ibu dan mertuanya. *** "Jendra? Ngapain di sini?" tanya Diandra yang melihat sang suami tengah duduk di ruang kerjanya. "Mau ajak makan siang. Eh, kamunya gak ada di kantor dan gak ngabarin." "Kenapa gak telepon sendiri aja?" "Nanti kamu bohong." "Ketampangan, ya?" balas Diandra kesal. Ia kemudian menjelaskan betapa menjengkelkannya ketika harus ikut ke arisan ibu-ibu itu. Ia hanya mengatakan kalau itu membosankan dan lebih baik bekerja tanpa mengatakan apa yang dibicarakan mereka selama di sana. "Udah ngedumelnya? Mau makan di mana?" respon Rajendra setelah ocehan Diandra selesai. Pria itu memang jarang memberikan komentar lain dan lebih baik mengakhiri pembicaraan yang menyebalkan itu. "Males ke luar. Pesan aja, Ndra." "Oke. Mau apa?" "Gak bisa mikir. Mau kayak yang lain aja bilang terserah." Rajendra tertawa dan menepuk puncak kepala Diandra seperti anak kecil. "Beneran, gue males banget. Sumpah masih mau ngedumel tapi habis ini kerjaan masih banyak." "Sini." Rajendra menepuk sofa di sebelahnya yang langsung dituruti Diandra dengan duduk di sana setelah sebelumnya duduk di kursi kerjanya. Rajendra menyandarkan kepala Diandra di bahunya dan mengusap kepalanya pelan. "Jendra kayak orang bener kalo lagi gini," kekeh Diandra sambil melingkarkan lengannya di pinggang Rajendra. "Emang biasanya gak bener?" "Nggak sih. Biasanya ngerusuh terus." "Eh, Di. Panggilnya apa, kek. Mas atau apa. Atau aku-kamu, deh." Rajendra mengatakan hal ini untuk ke sekian kalinya. "Kenapa? Biar kayak orang-orang, ya?" Rajendra mengangkat bahunya yang membuat kepala Diandra sedikit terangkat juga. "Sekali-kali gak harus kayak orang lain banget bisa kali, Ndra. Kalau hidup nurutin terus kata orang, lama-kelamaan kita kehilangan diri kita sendiri." Diandra menyampaikan apa yang sebenarnya sudah bersarang di dalam hatinya. "Senyamannya aja, dong. Kayak percuma aja gue manggil lo mas atau apa tapi gue gak nyaman dan malah bikin canggung." "Iya juga, sih." Diandra terkekeh melihat wajah Rajendra yang sepertinya menunjukan hal yang berbeda dari apa yang dikatakannya. "Mas," panggil Diandra pelan. Rajendra yang tengah melamun itu pun terkejut bukan main karena panggilan Diandra. "Kan? Gitu doang kaget. Sok-sokan banget." Diandra melepaskan pelukannya dan tertawa puas melihat wajah Rajendra yang masih tampak mencerna keadaan. "Makanan udah di depan. Aku ambil dulu, ya." Rajendra berusaha menutupi kegugupannya dengan langsung beranjak dari sana. *** Diandra sengaja pulang terlebih dahulu sebelum Rajendra karena rencananya, malam ini ia akan memasak beberapa makanan kesukaan sang suami yang tengah berulang tahun. Tentu saja, pria sesibuk Rajendra sering kali lupa dengan hari lahirnya sendiri. Setelah selesai berbelanja, wanita itu kembali ke rumah mereka yang tidak disangka ternyata sang mertua sudah menunggunya di depan rumah. "Mama? Kok gak ngabarin dulu mau ke rumah?" tanya Diandra setelah mengeluarkan belanjaannya. "Mau kasih tau kamu kalau suamimu hari ini ulang tahun." "Di tau, Ma. Ini sudah belanja." "Bagus, deh. Kalian pasti lebih sering makan di luar, ya?" Diandra tidak menyahut dan mempersilakan sang mertua untuk masuk. "Jangan sering-sering makan di luar, Di. Kamu jadi istri mesti sering masak di rumah biar suami senang." Adelia, sang mertua yang tampak selalu membanggakan prestasi Diandra di depan teman-temannya tidak begitu kenyataannya. Diandra tahu betul sikapnya. Wanita paruh baya itu yang sangat menggebu-gebu untuk menikahkan putranya. Tetapi, pekerjaannya kalau tidak mencurigai Diandra, menuduh istri yang kurang baik, pasti membicarakan perihal dirinya yang sengaja menunda momongan. "Di sering masak di rumah, kok. Kecuali kalau makan siang, kami masing-masing." Adelia masih terus mengomentari setiap hal yang dilakukan Diandra. Tentu saja, hal itu membuat Diandra tidak nyaman dan antusiasmenya berkutat di dapur menjadi berkurang. Rajendra itu pria yang sudah berusia kepala tiga. Tetapi, tetap diperlakukan seperti anak lelaki yang menginjak usia remaja oleh ibunya. Lalu, tujuan Adelia menikahkan Rajendra itu untuk apa? Bukankah lebih baik kalau anak semata wayangnya itu tetap hidup di bawah ketiaknya? Begitulah yang sering Diandra pikirkan. "Jangan masak sambil melamun, Diandra. Kamu bisa membakar dapur kalau begitu." Mendengar perkataan Adelia, Diandra langsung mematikan kompor di hadapannya. "Mama jadi ragu kalau Jendra makan dengan baik." "Saya gak seburuk itu, Ma. Jendra selalu makan dengan baik. Ini juga karena saya capek aja." Diandra menjawab dengan formal. Artinya, wanita itu sedang tidak ingin beramah-tamah dengan sang mertua yang terlalu cerewet itu. "Makanya, kamu jangan sibuk sama kerjaan terus. Banyakin waktu di rumah. Kapan kamu kasih cucu kalau kerja terus?" "Jendra gak pernah bahas itu, kok." "Ya, Jendra mana bisa protes. Mama tau, Jendra pasti mau bilang gini sama kamu. Tapi, dia pasti gak enak. Makanya, Mama wakilin. Firasat seorang ibu ke anaknya itu gak pernah salah. Di, perempuan kalau sudah ketuaan, nanti susah punya anak, lho." "Saya kira, Mama ngebet nikahin Jendra sama saya mau terima saya yang seperti ini. Ya, saya menikah dengan Jendra memang sudah kepala tiga. Mama tau itu dari awal, kan? Kenapa sekarang jadi saya yang dituntut? Kenapa dulu gak nikahin aja Jendra sama perempuan yang diam di rumah, lebih muda dari saya dan bisa cepat hamil?" Diandra mengatur napasnya yang mulai terasa berat. Selama dua tahun menikah dengan Rajendra, baru kali ini dirinya bisa mengutarakan kekesalannya. Ia sudah terlalu lelah menahan semua ini. "Kok, kamu ngomongnya gini, Di? Mama ini orang tua, wajar dong kalau menasehati? Selama ini kamu gak pernah belajar sopan santun atau bagaimana? Orang tua menasehati itu didengarkan bukan disanggah." "Kenapa Mama jadi bawa-bawa itu? Memangnya, selama ini saya pernah gak dengerin omongan Mama? Saya selama ini diam, lho. Tapi, itu bukan berarti saya gak kesel. Ini rumah tangga saya sama Jendra. Kalau Mama memang berniat menikahkan putra Mama, harusnya Mama juga membiarkan anak Mama punya kehidupannya sendiri. Baik saya ataupun Jendra sudah dewasa, Ma. Maaf, kalau saya kurang ajar. Tapi, saya juga punya perasaan, Ma. Tau begini, saya milih lajang. Biar hanya digunjing tapi tidak harus diatur seperti ini." Setelah mengatakan itu, Diandra meninggalkan sang mertua yang tampak ingin kembali mengatakan sesuatu. Wanita itu langsung mengunci kamarnya dan menangis. Rasanya, sudah lama sekali, bahkan entah kapan terakhir kali Diandra menangis. Tetapi, kali ini rasanya memang sakit sekali. Diandra tidak bisa menahan kekesalannya. Sudah menumpuk emosi dalam kepalanya. Ia juga melupakan acara yang akan dibuatnya tadi. Ia juga tidak peduli kalau nanti dirinya aja bertengkar dengan Rajendra sebab ibunya itu pasti akan mengadu macam-macam kepada putranya itu. To Jendra : Ndra, gue tidur duluan. Lo makan aja. Gue udah masakin makanan kesukaan lo. Btw, happy birthday, Jendra. Takut nanti gue lupa ngucapin. Setelah mengirimkan pesan kepada sang suami, Diandra mematikan ponselnya dan mengubur tubuhnya di dalam selimut. Biar saja nanti Rajendra masuk ke dalam kamar menggunakan kunci cadangan. Sementara itu, Rajendra yang mendapat pesan dari sang istri mendadak panik karena Diandra tidak biasanya seperti ini. Hari masih sore dan Diandra bilang akan tidur. Sangat tidak Diandra sama sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD