Chapter 01

1549 Words
Diandra Michaela. Seorang desainer terkenal yang setiap kaum elit pasti mengenalnya karena rancangannya yang terkenal mewah dan elegan. Bahkan, rancangannya pernah digunakan oleh peserta ajang bergengsi dan selebriti papan atas yang berasal dari luar negeri. Bukan hanya itu, butiknya pun tersebar di beberapa negara yang memiliki selera berbusana yang cukup baik. Tak heran, jika Diandra dijuluki wanita tanggung dan berbakat. Namun, siapa sangka, dibalik semua kesuksesan yang diraihnya, ia tetaplah wanita yang berasal dari keluarga yang menganut 'sesukses-suksesnya wanita, jika belum menikah tidak bisa dikatakan sempurna.' Diandra memang cukup cuek menghadapi segala perkataan bahkan sampai cibiran yang menerpanya. Entah, keponakannya yang baru berusia dua puluh tiga dan sudah memiliki anak, dan lain sebagainya. Masih banyak perbandingan yang dirinya terima. Padahal, jika dilihat, mereka yang diagung-agungkan sebab statusnya itu, kondisi hidupnya tidaklah lebih baik darinya. Diandra tetaplah Diandra, yang jika sudah kembali mendapat perkataan seperti itu, maka dirinya akan melarikan diri ke luar negeri dengan alasan pekerjaan. Sampai, akhirnya ia tiba pada hari di mana dirinya tidak bisa lari dari rencana yang entah sejak kapan orang tuanya susun itu. Ya, perjodohan. Diandra sudah berkali-kali mengatakan kalau hal seperti ini sudah sangat membuatnya muak. Tetapi, seperti kesabarannya sudah habis menghadapi putri semata wayangnya, orang tua Diandra benar-benar memaksanya kali ini. "Kami mencarikan jodoh yang sepadan buat kamu, Di. Jangan khawatir kalau nanti karirmu lebih bagus dari suamimu kelak." Perkataan sang ibu hanya dibalas decihan pelan oleh Diandra. Sebenarnya, ia bukan tidak ingin menikah. Tetapi, bukankah segala sesuatu memang sudah digariskan? Kalau memang belum bertemu, kenapa harus memaksa? Toh, nanti juga akan tiba sendiri. Namun, tentu saja prinsip orang tua tidaklah demikian. Diandra harus pasrah berdiri di antara kedua orang tuanya untuk menemui keluarga yang katanya calon suaminya tersebut. Ia tidak terlihat seperti wanita berusia tiga puluh kali ini. Bahkan, ponselnya pun disita karena kebiasaannya yang selalu berpura-pura mengecek pekerjaan demi membunuh waktu dan membuat orang yang ditujukan kepadanya merasa risih. "Ah, Diandra. Saya sering lihat kamu di majalah-majalah, lho." Sapaan wanita yang sudah cukup berumur itu membuat Diandra tersenyum singkat. Ya, hanya sekedar menghargai. Diandra tidak melihat siapapun bersama dengannya. Yang artinya, kali ini dirinya akan terbebas dari perjodohan konyol ini. Ia terus mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena hal ini. Pasti, pria itu berpura-pura sibuk agar melewatkan pertemuan malam ini. Namun, semua di luar dugaan Diandra. Karena, baru beberapa menit ia dan kepala cantiknya itu berasumsi, pria yang terlihat tidak terlalu jauh usianya dengan Diandra itu pun menyapa semua orang yang berada di sana. Diandra memicingkan matanya saat pria itu duduk tepat dihadapannya. "Jendra? Lo, Rajendra?" tanya Diandra untuk meyakinkan. "Gak nyangka, kan ternyata kita ketemu di sini." Pria itu, Rajendra Winata. Pernah duduk satu himpunan dengan Diandra saat kuliah dulu. Ya, bisa dikatakan pria itu tidak asing baginya meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Namanya juga sering wara-wiri di media sosial karena bisnisnya yang sukses. Rajendra merupakan seorang pemilik perusahaan dagang berbasis elektronik yang memang cukup diminati di zaman serba digital seperti sekarang ini. Kalau yang dikatakan ibu Diandra mereka memang sepadan, memang tidak bisa dipungkiri. Mereka sama-sama pekerja keras yang tidak bisa dikatakan main-main. Karena Diandra dan Rajendra yang tenyata sudah saling mengenal itu membuat kedua keluarga saling yakin akan perjodohan ini dan langsung menentukan hari baik untuk pernikahan mereka. Bagi Diandra, memang tidak ada salahnya. Rajendra bukan orang asing meskipun ia tidak bisa menaruh hati kepada pria itu. Tetapi, mungkin menikah dengan Rajendra lebih baik daripada ia harus menikah dengan pria asing yang untuk bicara sekalipun ia tidak ingin. Semua memang terlihat baik-baik saja. Semua berjalan lancar karena Diandra tidak lagi menolak semua ini. Pernikahan mereka digelar empat bulan kemudian dan mengusung tema yang cukup mewah mengingat siapa keduanya. Baik Diandra maupun Rajendra, tidak melakukan pendekatan apapun sebelum menikah. Keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan jika orang tua mereka meminta mereka untuk melihat progres persiapan pesta pernikahan mereka, keduanya akan pergi bersama. Terlebih Rajendra yang ternyata sangat penurut dan selalu mendengar apa yang ibunya katakan. "Jendra, kok lo mau sih dijodohin gini?" tanya Diandra ketika keduanya sudah berada di dalam kamar. "Awalnya juga ogah-ogahan. Tapi, waktu mama sebutin nama mama kamu, aku jadi ingat kamu. Dan setelah dicari tahu, ternyata memang kamu. Apa salahnya? Toh, kita memang sudah saling kenal, kan?" "Gak salah juga, sih. Cuma, gue bingung aja kita nikah kenapa, sih? Gue aja gak ada rasa apa-apa sama lo. Kasihan aja sama jodoh kita nanti." Diandra mengutarakan apa yang memang ada di dalam pikirannya. Tetapi, Rajendra malah menanggapinya dengan kekehan seakan Diandra tengah bergurau. "Di, coba jangan pake lo-gue. Kita bukan rekan satu himpunan sekarang. Tapi, rekan satu kamar." Diandra membalas perkataan Rajendra dengan melemparkan sebuah bantal yang ternyata tepat mengenai wajah pria yang kini menyandang status sebagai suaminya itu. "Serius, Di. Kamu mau dilihat aneh sama orang lain?" Diandra cukup menimbang apa yang dikatakan oleh sang suami. Wanita itu mengangguk tanda mengerti maksud Rajendra. "Iya, deh." Diandra menjawab pelan. "Kita hidup demi memenuhi ketidakpuasan manusia lain, ya?" Wanita itu meringis sambil membayangkan beberapa hal yang menurutnya selama ini memang bukan jalan hidupnya. "Namanya juga manusia, Di. Mau gimana lagi?" "Ya tapi kayaknya lo ikhlas banget, Ndra. Apalagi sama perkataan mama lo. Kayaknya manut banget. Gak ada niatan berontak gitu." Rajendra tertawa pelan mendengar keluhan Diandra. Pria itu tahu betul kalau memang Diandra masih belum bisa menerima semua ini. Mereka masih tampak baik-baik saja bukan karena menerima, melainkan hanya sebatas dua orang yang memang sudah saling mengenal dan tidak ada alasan untuk bersitegang. "Malah ketawa, lo! Serius ini." Diandra memutar bola matanya malas. "Kata siapa? Aku sering ngelawan, kok. Ini iya aja pada akhirnya karena kamu. Kayak, ah orangnya kenal ini. Gak bakal susah bangun suasana atau basa-basi." "Kok lo gak pernah bilang?" kekeh Diandra. "Gue juga mikirnya gitu. Udah males aja. Pas ketemu lo, ya udah. Why not?" Keduanya tertawa di tengah malam yang mulai menuju pagi. Mereka melupakan betapa sibuknya pekerjaan siang tadi dan betapa menumpuknya pekerjaan esok hari. Rumah tangga mereka memang berjalan baik-baik saja. Mereka tidak pernah berseteru tentang hal apapun. Terkadang, menceritakan berbagai kejadian setiap harinya. Atau bahkan tidak sampai bertegur sapa karena kesibukan yang tidak terelakkan. Ah, entah apa ini disebut rumah tangga atau tidak. Karena, mereka lebih tampak seperti kedua teman yang hidup bersama. "Pagi, Di." Rajendra mengucek matanya yang terasa perih sebab semalam harus terpaksa mengerjakan semua pekerjaannya demi akhir pekan yang tidak terganggu oleh pekerjaan apapun. "Pagi. Gue kira lo gak bakal bangun jam segini." Diandra masih sibuk dengan nasi gorengnya saat balik menyapa sang suami. "Kebiasaan, Di. Paling, nanti siang coba tidur lagi." Rajendra menghampiri Diandra yang tengah menata piring-piring di atas meja. "Wangi banget, Di. Mau ke mana?" Sebenarnya, Diandra masih cukup terkejut dengan perlakuan Rajendra yang tiba-tiba memeluknya. Tetapi, ia mencoba tenang dan membiarkan pria itu mendekap tubuhnya. Toh, Rajendra juga punya hak atas itu semua mengingat pria itu adalah suaminya. Dan kali ini, Rajendra memeluknya dari belakang dan menaruh dagunya di bahu Diandra. "Ada meeting yang super mendadak. Ngejar waktu katanya." Jawaban Diandra membuat Rajendra semakin mengeratkan pelukannya. Pria itu menempelkan hidungnya di perpotongan leher sang istri. Menghirup wangi yang menenangkan dari Diandra. "Ayo sarapan dulu. Gue gak lama, kok. Paling, pas makan siang juga kelar." Diandra memberi kode agar Rajendra melepaskan pelukannya. Namun, bukannya mengindahkan perkataan Diandra, Rajendra malah mengecup leher jenjang tersebut beberapa kali. Membuat Diandra agak merinding dibuatnya. "Jendra!" Peringatan kedua diberikan oleh Diandra tapi kembali diabaikan oleh sang suami. "Jendra, gue gak bercanda. Ini gue harus ketemu orang pagi ini." Diandra kembali memperingati Rajendra. "Jangan gue-guean dong, Di. Apa susahnya sih aku-kamu?" "Iya, nanti gue coba, deh. Sekarang, lepas dulu, Ndra." Sebelum melepaskan pelukannya, Rajendra membuat tanda di leher Diandra yang membuat wanita itu memekik dan langsung memukul lengan Rajendra cukup keras. "Ya, lagian weekend masih kerja aja, Di." "Kan sebenarnya kerjaan gue di luar kantor gak kenal hari, Ndra." Diandra menata rambutnya yang sudah agak berantakan karena ulah sang suami. "Ih! Kenapa sih lo iseng banget? Ini ngebekas tau!" tunjuk Diandra ke lehernya yang berwarna keunguan. "Biar paham, kalau weekend itu klien harusnya gak bikin janji temu," kekeh Rajendra. "Ndra," panggil Diandra. Rajendra hanya mengangkat alisnya tanpa menoleh ke arah Diandra. Pria itu kini sibuk menikmati nasi gorengnya. "Jendra!" "Iya, Di. Kenapa?" "Lo suka sama gue gak sih? Sorry, nih. Gue kok kayak biasa aja gitu." "Gak tau. Lebih ke terbiasa aja." Jawaban Rajendra membuat Diandra lega. Setidaknya, hubungan yang sebenarnya dibangun bukan atas dasar perasaan itu masih bisa berjalan dengan baik. "Biasa enak ada yang ngelonin, ya?" Diandra menaik turunkan alisnya. "Di, katanya mau pergi. Jangan sampai gak jadi, ya." "Bercanda! Gue berangkat, ya. Kalau gue belum balik pas makan siang, lo duluan aja." "Oke. Hati-hati, Di." "Thanks. Lo tidur deh, Ndra. Mata lo jelek." Setelah Diandra keluar, Rajendra tidak melanjutkan makannya dan memilih merapikan meja makan. Ia mengingat kembali pertanyaan yang dilontarkan sang istri. Tentang perasaan mereka. Sebenarnya, kalau dikatakan nyaman, ia memang nyaman tinggal bersama Diandra. Tidak ada masalah. Tetapi, di satu sisi, ia juga memikirkan hal yang akan terjadi kedepannya. Tidak bisa juga selamanya mereka hidup bersama tanpa perasaan yang mengikat. Ia bisa saja mencoba mencintai Diandra, tapi kalau tanpa kesepakatan, Rajendra tidak ingin menanggung resikonya sendiri. Katakanlah ia memang cukup pengecut, tapi mencintai seseorang yang dikira memiliki perasaan yang sama ternyata tidak itu rasanya begitu menyakitkan. Dan Rajendra tidak ingin merasakan itu kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD