Bab 2 - One Night Stand

1208 Words
Robert melepaskan pelukannya juga bekapan tangannya di mulut wanita yang sangat mencurigakan itu lalu memutar tubuhnya agar sepenuhnya berhadapan dengannya. Dia tau betul, jika wanita itu sedang ketakutan sekarang. “Sekarang, jawab pertanyaanku. Kenapa kamu berada di sini? Di kamar ini?” tanyanya bak seorang polisi yang sedang menyidik tersangka. “Aku sedang mencari temanku. Dia mengatakan jika berada di sini,” jawab Queen dengan jujur. “Siapa namanya? Pria atau perempuan? Kenapa harus bertemu di klub dan di kamar segala?” Robert bertanya lagi dengan pandangan menyelidik. Queen menarik napasnya pelan. Pertanyaan konyol macam apa itu? Haruskah polisi menanyakan hal-hal sampai ke akarnya seperti itu? “Saya tau, Anda seorang polisi. Saya hanya ingin bilang, jika Anda sudah salah menangkap orang. Saya bukan buronan yang Anda cari, Bapak Polisi.” Queen lelah. Dia tidak berminat untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan itu. Mengertilah, dia ingin pulang segera dan tidur di kasur empuknya. Jadi, mengakhiri pembicaraan itu mungkin lebih baik, dari pada bertele-tele dan dirinya tetap di curigai. Jika bukan karena Lily, dirinya pasti tidak akan terjebak di tempat ini. Robert tersenyum tipis. Akting wanita di depannya, sangat luar biasa menurutnya karena tak menunjukkan tanda-tanda jika sedang berbohong. “Apa kamu sedang menunggu pria yang akan menidurimu huh?” tanyanya dengan nada ejekan. Robert memang terbiasa memancing emosi lawan, sehingga lawannya akan mudah terpengaruh dan frustrasi dengan jawabannya sendiri. “Jangan gila, Pak! Saya masih waras untuk jual diri!” Queen berusaha melepaskan tangannya dari belikan borgol dingin yang membelit tangannya. Jika saja, tangannya tak diborgol begini, sudah dia beri pukulan polisi tak waras yang bicaranya sembarangan itu. “Lalu, untuk apa kamu di sini?” “Bertemu teman. Namanya, Lily!” “Sekarang dia berada di mana?” “Tidak tahu. Begitu saya sampai, tidak ada Lily di sini.” “Lalu, kenapa kamu masih masuk ke kamar ini, jika tidak ada kepentingan selain bertemu Lily?” “Anda ini, polisi apa wartawan, Pak?” dengus Queen setelah sesi tanya jawab mereka. “tolong, percayalah. Saya masuk ke kamar ini, adalah untuk menumpang kamar mandi. Sekarang, saya mau pulang. Saya lelah.” Lanjutnya dengan wajah memelas. Kenapa juga dia harus berhadapan dengan polisi seperti ini? Urusannya pasti akan panjang.  Robert tak menyerah begitu saja. Wanita itu mungkin memang pandai mengendalikan situasi, bahkan menjawab semua pertanyaannya dengan lugas. Tapi, semua itu bukanlah hal mustahil untuk seorang penjahat. Mereka sudah terlatih, dan terkadang lebih lihai melakukan penyamaran dibandingkan aparat kepolisian. Robert mendekati Queen dan mengangkat tangannya—bersiap untuk menggeledah. Siapa tau, wanita itu membawa sesuatu yang berbahaya atau bisa saja dia incar.  “Anda mau apa?” Queen tersentak dan sedikit memundurkan tubuhnya. Jangan bilang, jika polisi itu mau menggeledahnya. “Hal wajib yang dilakukan semua polisi pada seorang penjahat.” Keputusan Robert final. Setuju tidak setuju, wanita itu harus menerima saat tangannya menyusuri inci tiap inci tubuh wanita itu dengan sedikit kasar dan tidak sopan. Queen hanya bisa memejamkan matanya. Sekuat mungkin, dia menahan kakinya untuk tak terayun dan menendang wajah menyebalkan polisi laknat yang sudah menjamah tubuhnya tanpa permisi. Saat ini, bahkan Robert tak segan menggeledah bagian pinggang dan bokongnya. Sialan! Polisi itu membuatnya panas dingin dengan lutut gemetar. Robert terus menggeledah tubuh Queen dengan rinci. Penjahat bisa saja menyembunyikan barang yang dibawanya di bagian tubuh paling mustahil sekalipun. “Jangan macam-macam, atau saya akan melaporkan Anda atas dasar pelecehan!” berang Queen begitu melihat tatapan Robert yang masih mengincar salah satu aset berharganya yang belum di geledah. Nihil. Robert tak menemukan apa pun yang dibawa wanita itu. Tapi, dia tidak akan percaya begitu saja. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu darinya. Para penjahat pasti sangat lihai untuk mengelak dan menipu seseorang.  Akhirnya, Robert pun menarik tangan Queen untuk keluar dari kamar mandi dan kali ini, tas Queen yang berada di atas ranjang lah yang menjadi target geledahan selanjutnya. “Queen Elena,” ucap Robert begitu membaca tanda pengenal yang ada di tas Queen. Beruntung, Queen sudah meminta Peter untuk memalsukan identitasnya sebelum tinggal di kota itu. Bisa-bisa, penyamarannya sia-sia. “Ya, itu milikku,” jawab Queen begitu polisi itu menatapnya dengan pandangan yang sangat ingin dia semprot menggunakan bubuk cabai yang dia bawa dari rumah tadi. “Apa ini? Apa kamu berniat membuat para pelangganmu pulang dalam kondisi buta?” tanya Robert sambil tertawa pelan. Dia sedikit tak percaya, begitu menemukan alat tempur berbahaya yang berasal dari ruang sederhana bernama dapur. Penjahat wanita yang sangat kreatif. Pikirnya. Queen mendengus sebal. “Sudah saya katakan, saya bukan p*****r, Pak!” teriaknya. Robert tak menghiraukan. Dia kembali ke kamar mandi, dan mengambil jaket Queen tadi. Menggeledahi setiap sakunya di depan Queen yang sudah pasrah melihat kelakuan polisi yang tak mau melepaskannya sebagai orang tak bersalah. “Sekarang, apa kamu masih mau mengelak setelah memiliki benda ini di dalam saku jaketmu?” Robert menyeringai. Wanita itu tak akan bisa mengelak lagi sekarang. Queen membulatkan matanya. Bagaimana bisa benda kecil itu berada di sana? Dia tidak terlalu bodoh, untuk mengetahui jika benda kecil itu adalah obat terlarang yang sangat jarang ditemui di kalangan bawah. Bisa dikatakan, obat-obatan itu hanya diproduksi oleh kalangan pria-pria kaya saja. “A—aku. I—itu. Bagaimana mungkin benda itu punyaku?” Queen tergugu. Bahasa formalnya tadi, ikut terhempas bersama rasa terkejut yang tiba-tiba melandanya. Ditemukannya benda itu di dalam saku jaketnya, akan membuat dirinya menjadi tersangka sekarang dan tak bisa mengelak dari tuntutan. “tidak mungkin. Itu bukan punyaku!” lanjutnya. Dia mulai memberontak. Ditemukannya benda kecil itu, pasti akan membuatnya masuk penjara. Robert menyeringai. Dia mendekati Queen, dan memegang tangan Queen dengan erat. Sekali lagi, dia berhasil melumpuhkan lawan. “Aku punya kesepakatan bagus, jika kamu tidak ingin masuk ke penjara,” ucapnya dengan senyuman licik. Wanita itu, pasti memiliki akses untuk membuka akses kejahatan yang sedang dia selidiki. Queen kembali meronta. Tapi posisinya kali ini sangat tidak bagus, karena polisi itu masih memborgol tangannya. Sudah pasti, rontaanya tidak akan berhasil membuatnya lari dari sana. Lalu masuk penjara? Tidak mungkin dirinya masuk penjara. Dirinya harus ikut kompetisi, dan besok pagi kompetisinya di mulai. Tidak mengikuti kompetisi di hari pertama, maka gagal sudah semua mimpi dan usahanya selama beberapa bulan di kota ini untuk menjadi model terkenal. Sekarang, apa yang harus dia lakukan? “Apa kesepakatannya? Katakan. Aku tidak punya banyak waktu untuk masuk penjara. Aku harus berkompetisi,” jawab Queen—gusar. Mungkin, mengikuti kemauan polisi itu adalah jalan satu-satunya agar dirinya bisa bebas dan lepas. Robert tersenyum angkuh. p*****r yang dia tangkap itu, bisa-bisanya membuat alasan begitu hebatnya. Kompetisi dia bilang? Kompetisi apa yang di adakan di klub pelacuran? Baiklah. p*****r itu berniat untuk bermain-main dengannya. “Tidur denganku. Lakukan tugasmu sebagai Pelacur.” “Whatt?!” Queen tersentak dengan mata membulat. Apa dia tidak salah dengar? Polisi itu menyuruhnya untuk menjadi p*****r yang artinya, tidur bersama? Ya Tuhan, haruskah dia bermasalah dengan polisi tidak waras? Tapi, dia tidak punya pilihan lain. Membuat kesepakatan, adalah jalan terbaik. “Baiklah, kita sepakat. Aku akan menjadi pelacurmu untuk satu malam saja, dan setelah itu, kamu harus melepaskanku!” ucap Queen dengan tegas. Dia sudah membuat keputusan. Tidak masalah melakukan One Night stand dengan polisi itu, yang terpenting, dirinya bisa bebas dan pulang. Anggap semua masalah ini, adalah rintanganmu untuk menuju sukse, Queen. Batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD