PART 9 - IDE FAISAL.

1785 Words
Bagi Khansa berpisah dengan suami selalu mengundang rindu. Dulu saat mereka baru berumah tangga, Khansa kerap ikut kemanapun suaminya bertugas. Apalagi saat masih baru menjabat pemimpin di kantor, Rayhan harus mengikuti prosedur dari sang papa untuk mengenal semua seluk beluk perusahaan. Di antaranya para klien yang tersebar di pelosok negeri. Rayhan merupakan supplier mesin dan alat berat dari luar negeri. Biasanya perusahaan garmen yang menjadi konsumennya. Itu sebabnya para konsumennya tersebar di beberapa kota dan pulau. Semalam Khansa agak sulit tidur, hingga pagi saat ia seharusnya beraktivitas, Khansa menyerah akan rasa kantuknya. Ia terbangun ketika ketukan terdengar dari luar kamar. Dengan malas-malasan Khansa bangkit dan membuka pintu. Tampak asisten rumah tangganya berdiri dengan raut wajah tak enak hati. Pasalnya tidak biasa majikannya ini bahkan melupakan waktu sarapan. "Bu, bapak telpon berulang kali. Katanya ibu diminta angkat telepon, kalau sudah bangun." Khansa membiarkan asisten rumah tangganya masuk ke dalam kamar. "Bapak meminta saya bawa sarapan ke sini. Takut ibu lupa makan." Khansa tersenyum. Suaminya bahkan tahu ia telat sarapan. "Iya, nanti saya telpon bapak. Kamu pasti bilang saya bangun kesiangan ya." "Maaf bu, habis saya gak bisa bohong. Bapak tuh kaya punya indra ke enam. Kalau saya bohong pasti ketahuan." "Ya sudah gak apa-apa, nanti saya sarapan sebentar lagi." Khansa mengusap wajahnya. Lalu meraih ponsel. Menyibak tirai dan membuka jendela kamar. Udara sejuk menerpa wajahnya. Ia tersenyum mendapat chat dari Rayhan. Seperti biasa, sekalipun Rayhan jauh dari tempatnya sekarang, tapi chatnya sudah membanjiri ponsel. "Maaf aku ketiduran, lupa membalas pesanmu." Begitu pesan Rayhan ditemukan, saat Khansa membuka satu persatu pesan yang masuk ke ponselnya. "Kamu pasti menunggu kabar dariku." Khansa tersenyum. Semalam ia memang tidak bisa tidur. Menggeleng kala mengingat sorot mata setajam elang itu. Astaga! Cepat-cepat Khansa mengusir bayangan memalukan itu. Khansa berbalik dan menemukan sepiring nasi goreng di atas meja. Khansa menghela napas. Ini bahkan sudah waktunya makan siang. Rasa kantuknya melewatkan waktu sarapan paginya. Pantas perutnya lapar. "Bagaimana harimu? Masih sibuk menulis?" Chat dari Rayhan kembali dibaca. Dengan mulut masih mengunyah sepiring nasi goreng, Khansa membalas. "Gak apa, kalau capek gak usah balas pesanku. Aku hanya khawatir saja." "Jangan lupa makan dan jaga kesehatan ya." "Aku sibuk nulis, tapi kangen suamiku. Cepat pulang ya." Beruntun pesan Rayhan, dibalas Khansa. Ia tahu jam segini pasti suaminya sangat sibuk. Bisa jadi, malam baru dibalas kembali. Rayhan suami yang sempurna untuknya. Kegigihannya dalam bekerja membuatnya cepat dikenal sebagai salah satu pengusaha muda di negeri ini yang terbilang sukses. Ditambah lagi, ia sebagai seorang istri yang terlihat piawai mendampingi Rayhan dalam berbagai acara kantor. Semua menatap penuh kekaguman padanya dan Rayhan. Entah apa yang telah ia lakukan di masa lalu, hingga rumah tangganya selalu berisi kebahagiaan. Senyum terbit di sudut bibir Khansa. Yah, ia merindukan suaminya. Biasanya setelah berpisah, suaminya itu akan meluapkan rasa rindu dengan intens menyentuhnya. Dan sepertinya Khansa harus memanjakan kulitnya dengan luluran. Kalau pergi ke salon, makan waktu. Sepertinya aku luluran saja di rumah. Senyum Khansa yang mengingat suaminya pudar, saat kembali diingatkan akan malam yang membuatnya kesal. Tidak, ia harus menghapus bayangan semalam dan menggantinya dengan perlakuan manis suaminya. Beruntung ia sudah memiliki suami, coba kalau masih gadis mendapatkan perlakuan semalam, bisa trauma ia dengan lawan jenis. Dari semua yang ia alami, sepasang mata yang menatapnya dengan tajam masih saja mengganggu pikirannya. Seolah tatapan itu masih saja nyata di depannya. Setelah menghabiskan sarapan paginya yang kesiangan, Khansa keluar kamar. Ia duduk di meja makan. Mengusap wajahnya kesal. Andai ia bisa memutar waktu dan tidak bertemu mata elang itu. Ah, Khansa menyesali kelakuannya semalam. "Pagi bu." Khansa hampir terlonjak, dan ia menoleh ketika mendapati supir pribadinya menghampiri. "Ya Sal." "Kata mbak, ibu bos panggil saya?" "Oh iya Sal. Duduk dulu sini, kamu sudah sarapan?" tanya Khansa sambil kembali menyesap minumannya. "Sudah bu, sudah sarapan nasi goreng dikasih si mbak." "Duduk dulu, saya mau bicara Sal." Khansa memang tidak membedakan antara pembantu dan supir. Jadi ia tidak masalah harus duduk satu meja di meja makan bersama Faisal. Setelah menghabiskan minuman di dalam gelas, Khansa memfokuskan pandangan ke arah supir pribadinya. "Sal, kamu tahukan saya seorang penulis." "Iya bu." "Nah, kali ini saya membutuhkan seorang nara sumber." "Nara sumber?" "Iya, dan saya butuh bantuan kamu." Khansa tidak menemukan jalan lain selain meminta tolong pada Faisal. Ia tidak mau kembali mengalami kejadian semalam. Faisal menggaruk kepala. "Ibu mau buat novel tentang kisah cinta supir pribadi seperti saya?" Pertanyaan polos Faisal, tak urung membuat Khansa tertawa. Ya Tuhan, Faisal. Sementara Faisal semakin bingung. Gue salah ngomong kali ya. "Bukan, Sal. Bukan itu." Khansa masih saja terkekeh. Faisal ini aslinya baik dan wajahnya lucu menurutnya, apalagi jika kepalanya sudah geleng-geleng saat dengar musik dangdut. Khansa berpikir sebentar sebelum melanjutkan bicara. "Saya butuh bantuan kamu untuk mencari nara sumber seorang wanita malam." "Hah! Wanita malam? Maksud ibu wanita malam yang ...." Faisal tak berani bicara lebih lanjut. "Yang menjajakan tubuhnya demi sebuah nominal." Anggukan terlihat dari kepala Faisal. Ia baru mengerti sekarang. Sudah ge-er duluan tadi dia. "Bisa kamu carikan buat saya?" tanya Khansa kembali bertanya. Kening Faisal melipat. "Bisa saja sih, tapi saya ragu apa dia mau menjadi nara sumber. Ini ibu mau buat cerita tentang kisahnya begitu?" Jari Khansa mengetuk di atas meja sambil memaku tatap pada Faisal. "Kira-kira begitu Sal. Saya akan bayar kok waktunya dia bicara dengan saya nanti. Andai, wanita itu mau menjadi nara sumber saya." "Hmmm berapa lama bu?" "Apanya?" "Ibu mau pake dia?" Khansa menghembuskan napas. "Gak lama lah Sal, paling juga dua apa tiga jam gitu sih." Hening beberapa saat. "Mengenai tempat dan waktu saya serahkan sama dia. Tapi kalau bisa jangan lama-lama ya Sal. Saya perlu banget soalnya. Kalau kelamaan bisa lama juga naskah saya nanti tamatnya. Kamu bisa kan bantu saya? Nanti saya kasih uang jasa deh." Mendengar bonus di telinga, Faisal tersenyum. Baginya yang kerap masuk ke club malam karena ajakan temannya, mencari wanita malam bukanlah hal yang sulit. Mudah, tentu saja. Tapi masalahnya, tidak semua orang mau dibongkar mengenai kisah hidupnya. "Baik bu, saya akan coba cari." Faisal sudah akan bangkit dari duduk, tapi urung saat ingat sesuatu. "Bu, maaf. Ini wanita malamnya itu sudah yang pengalaman atau masih abege ya." Mendengar pertanyaan Faisal, Khansa kembali bimbang. Iya juga ya. "Hmm kalau bisa ya jangan terlalu tua dan jangan terlalu muda. Seumuran saya aja Sal." "Oke bu, saya akan laksanakan." Faisal mengangguk pasti. Melihat sikap supir pribadinya, Khansa yakin Faisal bisa diandalkan. "Kalau bisa dalam minggu-minggu ini ya Sal," pinta Khansa mengingatkan kembali. "Siap bu." Ketika keluar dari ruang makan, otak Faisal berputar. Kira-kira siapa wanita malam yang mau gue ajak ketemu Bu Bos ya? Hadeh, Bu Bos ada-ada saja sih, permintaannya. Tapi kalau gol pasti bonus lumayan nih. Senyumnya mengudara membayangkan bonus yang akan diterima. Pasalnya, Faisal tahu bu bosnya ini orangnya baik hati, jadi jika ia melakukan apa yang disuruh diluar jam kerja, pasti akan dapat tips. Itulah yang membuatnya betah bekerja di sini. Faisal pada dasarnya bukan lelaki alim dan bukan juga lelaki b******k. Berteman pun ia bisa dengan siapa saja. Jika temannya mengajaknya masuk klub malam, ia tak kuasa menolak karena tak enak hati. Apalagi jika semua dibayari. Jadi permintaan Khansa menurutnya bisa ia sanggupi. Malam ini Faisal ikut temannya ke salah satu klub malam yang biasa ia datangi. Robby sebut saja temannya yang suka mengajaknya kemari ketika Faisal bosan. Kali ini merayakan keberhasilan Roby menjadi salah satu pemimpin perusahaan yang baru saja berkembang. "Hebat ya lo, dulu kita sama-sama sekolah bareng mejeng sama anak-anak cewek di kelas sebelah, sekarang udah jadi bos aja. Bagi-bagi rahasianya dong." Faisal menggeleng. Siapa sangka temannya sudah menjadi bos besar, sedang dia masih menjadi supir. Bukan iri, tapi mengingat temannya dulu bandelnya parah, Faisal cukup terkejut juga ketika mendapat kabar jika Robby sudah beda level kedudukan dengannya. "Rahasianya? Hahaha. Warisan bro." "Sialan lo." Faisal menonjok bahu sahabatnya. "Pantesan lo sekarang tajir. Terus kapan dong nikah? Cowok kayak lo tinggal tunjuk aja, cewek mau model apa juga." Faisal menyeruput minuman di gelasnya. "Nikah? Alamak! Hari gini mikir nikah? Kelaut aja lo." Roby mengibaskan tangannya. "Lho memang kenapa? Orang-orang ya kumpulin duit dulu biar bisa lamar anak gadis orang, terus nikah. Lah lo, duit tinggal keruk, kok denger nikah aja sawan? Jangan-jangan lo gak normal?" Faisal bergidik. "Enak aja lo sembarangan kalau ngomong. Gini-gini gue normal abis." "Lah terus kenapa gak mau nikah?" Faisal menggeleng heran. "Nikah itu, terkekang. Nikah itu kudu laporan kemana aja lo pergi. Nikah itu, lo harus membatasi segala gerak-gerik lo apalagi yang berhubungan dengan wanita." Ini otak Faisal yang lemot, atau memang sahabatnya ini agak stress ya. "Yah, nikah itu kan memang begitu. Ini maksud lo apa sih? Asli gue gak ngerti." Faisal masih menatap temannya dengan heran. "Kalau ada dia, kenapa gue harus pusing-pusing mikirin nikah?" Pandangan Faisal mengikuti arah pandang Roby. Dan seketika ia berdecak. "Wow." Seorang wanita dengan tubuh tinggi langsing dan pakaian sexy datang menghampiri dengan senyum di wajah cantiknya. Tentu saja senyum itu bukan untuk Faisal, melainkan untuk Roby yang langsung bangkit berdiri menyambut kehadiran wanita yang sudah beberapa kali menemani malamnya. "Hay." Faisal melihat bagaimana Roby saling mencium pipi dengan wanita yang belum ia ketahui siapa namanya. "Kenalkan ini temanku." Kini arah mata wanita itu tertuju pada Faisal. Beberapa saat Faisal hilang fokus. Pasalnya wanita ini cantik sekali. "Faisal." "Meisya." Mereka saling berjabat tangan. Gila, halus dan lembut banget kulitnya. Robby dapat aja cewek cantik gini. Meisya duduk disamping Roby dengan posisi saling berdempetan, layaknya sepasang kekasih. "Kamu butuh teman?" tanya Meisya melirik pada Faisal. "Ah, gak. Aku temani Roby di sini." Faisal tahu wanita seperti apa teman Roby ini. Tapi kecantikannya sungguh luar biasa. "Dia sebentar lagi mau menikah Mey." Mata Meisya membola. "Wow, congratss ya." "Dia calon tipe laki yang takut istri nanti. Mungkin kemari pun bisanya sebelum nikah aja, udah nikah mana bisa kemari." Roby terkekeh, sementara Faisal merengut. Tak lama ponsel wanita itu berbunyi. "Rob, sebentar ya aku ada perlu. Nanti kalau kamu butuh aku kayak kemarin, kamu hubungi aku saja ya." Lalu setelah memberi kecupan di pipi Roby, Meisya bangkit dan berlalu pergi. "Itu siapa?" Seharusnya Faisal tidak bertanya, tapi ia sungguh penasaran. "Meisya. Kan tadi udah gue kenalin." "Bukan itu, maksud gue dia itu ...." Faisal menyipitkan mata. Tak mengira ada wanita cantik yang tak sayang dengan wajah dan kulitnya yang terawat, sehingga rela menjadi wanita penjaja cinta. "Dia yang bisa menemani gue, tanpa gue harus menikah." Anggukan terlihat dari Faisal. Melihat Meisya seperti melihat artis papan atas. Ia seperti sudah berpengalaman sekali, melihat bagaimana dengan Roby tadi. "Tapi tarifnya mahal lho per malam," ucap Roby. "Iyalah percaya, penampilannya aja ngalahin artis gitu." Faisal menggeleng takjub. "Jadi, jangan pernah lo berpikir bisa sewa dia, gaji lo aja gak akan cukup, bro!" Seketika ide terbit di kepala Faisal. Ini dia yang gue cari!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD