PART 8 - RASA ASING.

1721 Words
Mata tajam bak elang itu menatap sesosok wanita yang masih terlihat shock berat. Dari raut wajah yang memucat dan naik turun napasnya, sudah menunjukkan jika wanita di depan Arsel ini sangat ketakutan. Mungkin baru kali ini wanita itu menemukan perlakuan kasar seperti tadi. Bahkan tubuh wanita di depannya ini masih terlihat gemetaran. Sekalipun tangannya mengepal, tapi Arsel yakin rasa takut masih merajai tubuh mungil di depannya. "Nona, kamu tidak apa-apa?" Arsel mengulangi pertanyaannya. Ia melihat wanita di depannya ini masih belum sepenuhnya sadar. Entah apa yang ada di dalam pikiran wanita ini. Karena saat sepasang mata nan lentik itu terarah kepadanya, tatapannya seolah kosong. Wanita itu mengerjap sebentar sebelum memusatkan pandangan ke arahnya. Jika tadi wanita itu yang terlihat bingung, kini berbalik pada Arsel. Jika orang mengatakan mata adalah jendela cerminan kehidupan, maka bagi Arsel sepasang mata dihadapannya ini adalah awal dari perasaan asing yang menyusup ke dalam hatinya. Apalagi secara refleks tubuh itu nyaris limbung andai Arsel tidak menyangga tubuhnya. Hingga aroma yang keluar dari parfum wanita itu terhirup Arsel. Yah, awalnya Arsel hanya bermaksud membantu wanita ini. Sejak masuk ke dalam club miliknya, salah satu karyawan memberi kode. Kode dimana Arsel memusatkan perhatian pada tamu yang menurutnya aneh. Memesan air mineral, dan saat wanita ini mengikuti langkah lelaki salah tamunya, entah kenapa Arsel mengikuti hingga ia mendapati wanita ini hampir menjadi korban pelecehan. Lagipula siapa wanita ini? Dari tingkah laku dan raut wajahnya, ia seperti orang yang baru menjejak bumi. Jangan bilang dia belum pernah masuk ke dalam dunia malam begini. Mendapat perlakuan tadipun serasa ia shock luar biasa, karena begitu lengan mereka bersentuhan. Arsel merasakan kulit yang dingin sekali, sedang dahi wanita itu sudah menimbulkan titik-titik air. Di ruangan sedingin ini ia berkeringat? Aneh sekali! "Sebaiknya kamu duduk dulu," pinta Arsel. Ia kasihan melihatnya. Apakah ia masih gadis orisinil? Lalu untuk apa datang ke tempat ini? Apa sedang mencari kekasihnya? Khansa yang baru sadar hampir jatuh dalam dekapan Arsel, segera melepaskan pegangannya. "Te-terima kasih," ucapnya dengan tubuh masih gemetar. Sungguh, apa yang tadi ia terima, perlakuan lelaki b******k itu membuatnya takut. Khansa tidak pernah dikasari oleh siapapun, apalagi oleh orang asing yang baru ia kenal. Khansa pun duduk, menenangkan jantungnya yang masih saja berdebar. Arsel menyipitkan matanya. Berusaha memastikan apakah ia pernah melihat wanita ini? Wajahnya sepertinya pernah ia lihat tapi ia lupa. Khansa yang merasa diperhatikan, menunduk dengan membetulkan letak kacamatanya. "Kamu kenal lelaki yang tadi?" tanya Arsel lagi. Mata indah yang tertutup kaca mata itu mengerjap. Lalu mengangkat kepalanya dengan menggelang. "Gak, aku gak kenal, aku ...." Ketika bicara dan menatap lelaki di depannya, Khansa beberapa saat hilang fokus. Jantungnya berdebar dan ia tak tahu mengapa. Sorot mata lelaki di depannya terlalu tajam dan seketika Khansa bergidik. Suaminya tak pernah menatapnya seperti ini. Khansa biasa mendapatkan tatapan hangat dari Rayhan. Jelas, karena Rayhan adalah suaminya. Tapi lelaki ini, dia hanya orang asing, dan entah mengapa ditatap seperti ini Khansa mendadak panas dingin. Ia meneguk salivanya saat sadar jika keringat kembali hadir di pelipisnya. "Aku ... aku sebaiknya pulang." Khansa bangkit dan dengan gerakan linglung ia meraih tasnya. Sungguh, ia menyesali datang ke tempat ini. Ia harus segera pergi dari sini. Entah mengapa aura di ruangan ini yang semula santai berubah menjadi menegangkan. Demi Tuhan, tatapan lelaki ini membuatnya bak maling yang terciduk. Masih dengan gugup, Khansa menyelipkan sedikit rambutnya ke belakang telinga. Inginnya langsung pergi begitu saja tanpa berniat membalik badan, tapi demi kesopanan mau tak mau Khansa berbalik. Seharusnya Khansa mengikuti suara hatinya untuk tidak kembali membalik badan. Seharusnya ia melupakan kesopanan di tempat yang sama sekali tidak ada kesopanan di dalamnya. Tapi Khansa tetaplah wanita yang menjunjung tinggi norma kesopanan. Jadi ia tetap perlu mengucapkan terima kasih pada si penolong, walau depan senyum terpaksa. "Terima kasih atas bantuannya." Khansa kembali berbalik dan sudah akan membuka pintu. "Tunggu nona." Seketika ia berhenti bergerak dan memutar tubuhnya kembali. Arsel bangkit dan bergerak mendekat. Seharusnya saat melihat itu, Khansa bergegas keluar, bukan justru mematung begini. Apalagi lelaki dengan rahang yang nyaris belum bercukur beberapa minggu ini semakin mendekat. Khansa mengerjap ketika satu tangan lelaki yang tidak ia kenal namanya kini menutup pintu dengan rapat dan mendaratkan tangannya di sana, di sisi kepala Khansa. Kening Khansa melipat. Alarm di kepala wanita itu berbunyi nyaring. Jangan bilang ia akan kembali mengalami hal yang tidak mengenakan. Tidak, tidak mungkin. Lelaki ini tidak sebrengsek lelaki yang tadi kan? Khansa berharap dalam hati, jika lelaki yang menolongnya ini adalah lelaki baik-baik. "Aku butuh ucapan terima kasih dalam bentuk lain," bisik Arsel pelan. "Ben-bentuk lain?" tanya Khansa dengan suara terbata. Pasalnya wajah lelaki itu teramat dekat dengannya. Hangat napasnya pun menerpa wajahnya. Maksudnya ia mau minta bayaran gitu? Ia yakin jantungnya semakin berdebar kencang. Apalagi saat lelaki di depannya yang semula menatap matanya, lalu menurunkan sedikit pandangan ke arah bawah. Baru sesaat Khansa sadar, kemana arah ucapan lelaki asing itu, namun itu sudah sangat terlambat. Khansa ingin berkata tidak, karena hanya suaminya saja yang berhak melakukan semua itu. Tapi baru saja ia membuka kedua alat ucapnya untuk bicara, saat itu juga suaranya terendam. Karena perlakuan lelaki asing ini yang sangat kurang ajar menyentuh salah satu bagian dari wajahnya dengan amat menuntut. Yah, sangat menuntut hingga Khansa membelalak tak percaya, hanya sesaat karena selanjutnya Khansa tak mampu berbuat apa-apa. Terkejut dan bingung luar biasa. Sehingga ia merasa buntu. Untuk sekedar berontak pun tangannya tak mampu. Bukan Khansa menikmati, tapi saat ia disentuh, reflek tangannya menolak tubuh lelaki yang semakin menghimpitnya dengan tiba-tiba. Namun tangannya yang hendak memberontak, dicekal oleh tangan lelaki asing itu dengan amat kuat. Lebih kuat tenaga lelaki ini dibanding lelaki pertama. Yang Khansa lakukan hanya mencengkram erat bahu lelaki asing itu yang semakin membuatnya hanyut tak terkendali. Hingga tautan itu terlepas. Wajah Khansa terasa memanas. Demi Tuhan, malam ini untuk pertama kalinya ia membiarkan orang asing menghimpit tubuhnya dan memperlakukan seperti ini pada dirinya. Mirip w************n. Padahal ia wanita terhormat, istri seorang Rayhan Hadiningrat. "Pulanglah, ini bukan tempat yang baik untukmu." Seolah apa yang baru saja terjadi tidak berpengaruh apa-apa pada dirinya, Arsel membuka pintu dan membiarkan Khansa yang bergerak cepat berlalu dari hadapannya. Saat pintu itu menutup, saat itulah terdengar umpatan dari mulut Arsel. Sialll!!! Kenapa aku jadi kelepasan begini. Arsel meraup wajahnya dengan kesal. Ia mendudukkan tubuhnya di atas sofa dan memejam. Malam ini untuk pertama kali dalam hidupnya ia menyentuh wajah seorang wanita asing. Apa kelebihan wanita itu hingga Arsel bak lelaki kurang ajar berbuat seperti yang tadi. Ia baru saja melepaskan ciuman pertamanya pada wanita asing, yang bahkan tidak ia tahu siapa namanya. Bagus sekali Arsel! Arsel mengerjap demi memikirkan kejadian tadi. Kenapa dia diam saja? Tidak ada perlawanan menolak seperti yang tadi? Aneh. Arsel tersenyum. Jelas ia merasakan perlawanan pada gadis tadi, tapi baginya itu tidak seberapa. Sementara Khansa segera menuju pintu keluar. Ia kembali menyeruak kerumunan orang yang masih menikmati musik. Tak memperdulikan tubuhnya tersenggol kiri dan kanan. Tubuhnya semakin linglung, bak orang yang mabuk. Padahal jelas-jelas ia tidak minum yang aneh-aneh. Setelah keluar dari tempat itu, Khansa menghirup udara lega. Bahkan kaca matanya hilang pun Khansa tidak peduli. Yang ia rasakan hanya satu, bibirnya terasa kebas. Ia bergegas menuju mobilnya. Mencari kunci dengan tangan gemetar. Dan ia mengeram dalam hati ketika tangannya gemetaran saat berusaha memasukkan kunci mobil. "Arrgghhh!" teriaknya kesal, dan berhasil, ia akhirnya bisa membuka pintu mobil dengan cepat. Dan begitu masuk ke dalam mobil ia bersandar dengan menghela napas lega. "Ya Tuhan! Apa yang sudah terjadi? Kenapa tadi itu ... astaga! Khansa, kenapa kamu biarkan dia lakukan hal itu padamu." Berulangkali wanita cantik itu menghembuskan napas. Kesadarannya muncul, bergegas ia meraih tisu dan membuka bedak padatnya. Ia mengusap bibirnya dengan kesal, berulang kali. Lipstiknya bahkan berantakan sekali. Seakan dengan mengusap bibirnya mampu melenyapkan perlakuan lelaki itu. "Ya Tuhan!" Kembali Khansa menutup mata meredakan jantungnya yang masih saja berdebar tak karuan. "Maafkan aku Mas Ray, aku berdosa sekali padamu." Mungkin ini balasan dari Tuhan karena ia sudah melanggar pergi ke tempat terlarang. Khansa berjanji. Tidak, bukan janji, tapi bersumpah tidak akan masuk ke dalam sana lagi. Ia sungguh kapok sekali! Dengan segera Khansa melarikan mobilnya menuju rumah. Persetan dengan nara sumber yang tak ia dapatkan malam ini. Mungkin ia bisa meminta bantuan orang lain mencari wanita yang mau ia jadikan nara sumber. Malam masih bergulir, ketika Khansa tiba di rumah. Ia langsung bergegas ke dalam kamar. Mencuci wajahnya berulang kali dan dalam keadaan napas yang masih ngos-ngosan, ia menatap cermin. "Lihat apa yang terjadi padamu Khansa. Kau biarkan lelaki itu menyentuhmu." Siallll!!! Khansa keluar dari kamar mandi dengan membanting pintu. Hawa kesal masih merajai hatinya malam ini. Perasaan berdosa muncul secara tiba-tiba di dalam hatinya. Khansa beranjak tidur. Menyelimuti tubuh dengan selimut hingga leher. Tapi hingga beberapa saat lamanya ia berbaring, matanya sulit terpejam. Bukan apa, perlakuan lelaki tadi yang sudah berani sekali menyentuh salah satu area wajahnya masih berbayang di pelupuk matanya. Sudut hatinya yang paling dalam, Khansa merasa berdosa, membiarkan lelaki lain menyentuh wajahnya. Ya Tuhan, semoga suamiku tidak tahu hal ini. Semoga suatu hari nanti lelaki itu tidak lagi bertemu denganku dan suamiku. Semoga malam ini pertemuanku pertama dan terakhir kalinya dengan lelaki itu. Khansa berharap sekali. Ia tak pernah menyangka malam ini mengalami hal seperti ini. Bahkan melupakan, jika apapun yang terjadi pada dirinya sudah kehendak sang kuasa. Pasti ada alasan mengapa malam ini ia bertemu lelaki yang entah siapa namanya pun Khansa tak tahu, tapi sudah memberikan pengalaman yang harus ia lupakan karena statusnya sebagai seorang istri dari Rayhan Hadiningrat. Sementara Arsel masih terpaku di dalam ruangannya. Kilatan kejadian tadi mengganggu pikirannya. Demi Tuhan, selama ini dia tidak pernah tergoda dengan wanita manapun. Tapi tadi dengan begitu mudah ia menyentuh wanita itu dengan penuh perasaan. Sepertinya ia sudah gila. Mungkin akibat minuman alkohol yang ia minum tadi. Tapi lama kelamaan rasa gilanya semakin menjadi, karena ia kembali ingin mengulang kejadian tadi. Astaga, Arsel. Bagaimana mungkin kamu mau mengulanginya, siapa dia dan juga namanya pun aku tidak tahu. Mana mungkin aku menginginkan wanita itu. Sepertinya aku harus kembali fokus pada pekerjaanku sebelum aku benar-benar gila. Arsel keluar kamara dan bertabrakan dengan karyawannya si bartender. "Bagaimana bos, ada masalah?' Arsel menggeleng. "Tidak, tidak ada masalah." Langkah Arsel sudah hendak melewati si bartender, ketika tangannya di tahan. "Tunggu bos." "Ada apa lagi." "Bos melupakan sesuatu." Lalu si bartender menyerahkan tisu pada Arsel. "Hapuslah dulu noda lipstik di wajahmu itu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD