3. Hape Kentang

1893 Words
"Lihat'lah! Pergerakkan sel abnormal mulai menyebar ke otak. Akan mengkhawatirkan jika tidak segera melakukan perawatan." Seorang dokter menunjuk layar komputer yang memperlihatkan kondisi otaknya. Senja meremas tengannya sendiri dengan gusar. Perkataan dokter di depannya membuat ia gelisah. Itu artinya penyakit yang ia alami semakin parah. "Bagaimana dengan keluarga kamu?" tanya dokter Sam. "Saya belum beritahu keluarga saya, dok." Dokter Sam menghela napas. "Lalu bagaimana dengan perawatan yang akan kamu jalani?" Senja menunduk. "Apa saya bisa sembuh dengan menjalani perawatan, dok?" "Mungkin tidak sepenuhnya menjamin. Dengan melakukan perawatan, kamu bisa bertahan hidup lebih lama." Senja sudah menduganya. Meski dirinya melakukan perawatan pun. Pasti kemungkinan untuknya sembuh sangatlah kecil. Bukannya Senja pesimis. Banyak orang yang mengalami penyakit ini, dan hanya beberapa persen kemungkinan untuk sembuh. "Saya harap, kamu membuat keputusan dengan cepat. Penyakit kamu ini bukan main-main. Jangan pesimis, keajaiban selalu ada," ucap dokter Sam. Senja mengangguk mengerti. Dia pamit pada dokter Sam sebelum keluar ruangan. Kebetulan sekali ibunya dirawat di rumah sakit ini. Senja akan menjenguknya. Baru saja Senja akan masuk ruang rawat ibunya. Terdengar suara gelak tawa di dalam sana. Senja tersenyum miris. Mereka bahagia tanpa kehadirannya. Ada Vano dan Vania di sana. Ah ya, Vania adalah kembaran Vano. Tidak ada kata akrab di antaranya. Mereka berdua sama-sama selalu bersikap kasar pada Senja. Senja tak berharap apa-apa lagi pada keluarganya. Dia benar-benar hidup sendiri. Beberapa tahun terakhir ini ia selalu diselimuti oleh kesepian. Itu sebabnya dia ngebet minta perhatian Raksa. "Kenapa lo gak masuk?" Senja terlonjak kaget saat seseorang berbicara di dekat telinganya. "Kaget!" sentaknya. "Lo kok di sini?" tanya Senja pada Aster. Orang itu ternyata adalah Aster. Cowok yang ia temui di rooftop beberapa hari yang lalu. "Ada urusan," jawabnya. Senja manggut-manggut. "Kenapa lo gak masuk? Itu keluarga lo'kan?" Senja melirik ke dalam sekilas sebelum akhirnya melirik Aster lagi. "Gue baru aja keluar, gue harus pulang sekarang." Bohong. Aster tahu Senja sekarang tengah berbohong. Jelas-jelas dia melihat cewek itu hanya berdiri di depan pintu sedari tadi. "Mau ikut gue?" tawar Aster. "Kemana?" "Ayo ikut aja." *** "Woaahh... bagus banget di sini!" sorak Senja takjub. Aster membawanya ke rooftop rumah sakit. Senja senang bukan main. Tempat seperti ini yang membuatnya merasa tenang. Semilir angin begitu terasa di atas sini. "Lebih bagus dari gedung tua itu'kan?" tanya Aster. Senja mengangguk antusias. "Ini tuh gedungnya tinggi banget. Anginnya lebih kerasa." Aster tersenyum melihat keantusiasan Senja. Cewek itu bener-benar membuatnya tertarik. "Oh ya? Lo dari mana dapet akses kesini?" tanya Senja penasaran seraya memiringkan wajahnya untuk menengok Aster. Aster tak menjawab. Ia menyandarkan punggung pada pembatas dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Tunggu dulu." Senja tengah menerka-nerka, matanya melirik nametag yang ada di seragam yang Aster pakai. Aster Andromeda Adinata. Adinata adalah nama rumah sakit ini. Senja melebarkan matanya dan menutup mulutnya tak percaya. Ternyata Aster adalah anak dari pemilik rumah sakit ini. "Wahhh...gila, lo lahir di keluarga Adinata?" "Lo gak perlu bereaksi berlebihan kayak gitu," balas Aster. "Gue gak nyangka aja, gue bisa temenan sama orang sugih kayak lo." Aster memicingkan matanya. "Teman?" Senja mengangguk dengan pasti. "Iya. Karena lo orang sugih, boleh deh lo jadi temen gue." Aster terkekeh dan menggelengkan kepalanya. Senja itu sesuatu baginya. "Lahir di keluarga Adinata bukan sesuatu yang spesial bagi gue, lo tau? Kebahagian gak bisa di ukur dengan uang," ujarnya. Kini Aster menjadikan tangannya sebagai tumpuan pada tembok pembatas. Senja merasakan ada yang aneh pada Aster. Sepertinya hidup cowok itu tak sebahagia orang-orang di luaran sana. Di lihat dari penampilannya saja, Aster seperti orang yang kurang perhatian dari keluarganya. "Tapi uang bisa buat gue hidup lebih lama," ucap Senja tiba-tiba. "Maksud lo?" Senja menggeleng. "Gak usah dipikirin. Nikmatin aja suasana di sini." "Gue kok jarang liat lo di sekolah?" kilah Senja. "Ngapain lo harus liat gue?" "Hadeuhh... Ini nih ciri orang yang gak pandai bergaul. Primitif," ejek Senja. "Sembarangan, Temen sepergaulan gue banyak," bantah Aster. "Iya deh iya. Percaya gue percaya." Setelahnya, mereka sama-sama diam. Merasakan semilir angin yang begitu menenangkan. Kapan lagi Senja bisa merasakan angin seperti ini di ibu kota yang hiruk pikuk dengan kemacetan. Senja yang awalnya baik-baik saja, kini kepalanya sakit bukan main. Ia berkali-kali untuk memperjelas penglihatannya yang mulai kabur. Kepalanya ia geleng-gelengkan berusaha untuk menghilangkan rasa sakit yang tak kunjung mereda. Ringisannya ia tahan. Sedangkan Aster tak menyadari gelagat Senja. Pandangannya masih tertuju ke depan sana. Jangan sekarang! Gue mohon jangan sekarang! batinnya. Napasnya mulai berderu. Rasa nyeri di kepalanya malah makin menjadi. Senja memejamkan matanya. Mencoba meredakan rasa nyeri itu. Perlahan demi perlahan rasa nyeri itu mulai menghilang. Akhirnya dia bisa bernapas lega. "Lo kenapa Ja?" Barulah Aster menyadari ada yang aneh dengan Senja. Senja menggeleng. "Gue gak papa." Aster kaget saat melihat darah segar mengalir dari hidung Senja. "Lo mimisan, Ja!" Senja menyentuh hidungnya yang terasa hangat, benar saja. Ada darah yang mengalir dari hidungnya. Hari ini bukan untuk yang pertamanya Senja mimisan. "Gue kayaknya gak enak badan deh. Gue harus pulang, gue duluan ya?" pamit Senja berlalu meninggalkan Aster yang berdiam diri di sana. Ada yang aneh, menurutnya. Senja berjalan dengan terburu-buru saat melewati tangga. Mimisannya belum juga berhenti, dia sudah mengusapnya dengan sapu tangan yang sering dibawanya. Untuk berjaga-jaga saat dia mimisan lagi. Dan ternyata benar, ia mimisan lagi. Tak membutuhkan waktu lama, Senja tiba di rumah lebih tepatnya di kamarnya mengistirahatkan tubuhnya yang kelelahan. Badannya jadi sering lelah, padahal tidak ada kegiatan berat yang ia lakukan. Diliriknya sebuah kotak yang Senja ambil dari tasnya. Isi kotak itu adalah dua jam tangan couple. Senja sengaja membelinya untuk hadiah ulang tahun si kembar besok. Vano dan Vania. "Apa aku bisa jadi adik kalian lagi?" gumamnya. Tak ingin berpikir terlalu larut. Senja mandi sebelum tidur. Dan besoknya. Dia pergi kesekolah seperti biasa. Mengganggu Raksa adalah kebiasaannya. Bukan. Mungkin rutinitasnya yang tak bisa ia lewatkan. Seperti sekarang ini. "Sa? Gue juga pengen dong diajarin matematika sama lo." "Eh engga-engga. Gue aja yang ajarin lo cara mencintai, gimana?" "Atau engga, lo bisa ajarin gue cara mencintai lo dengan benar. Gimana?" "Ayo dong, Sa! Gue pengen belajar matematika aja deh." Raksa menghela napasnya kasar mendengar ocehan demi ocehan yang keluar dari mulut Senja. Risih ia dibuatnya. Pasalnya seluruh kelas sedang free class, alih-alih mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, Senja malah duduk manis di samping Raksa. Dengan terpaksa Alga yang duduk di sebelah Raksa harus menyingkir. "Dari pada lo ngoceh, mendingan lo pergi kekelas lo, kerjain tugas yang dikasih sama guru," kesal Raksa. Senja malah tersenyum manis. Masa bodo dengan tugas dari guru. Yang terpenting adalah, Senja bisa menjalankan tugasnya untuk mencintai Raksa. "Gue'tuh pengen terus liat wajah lo, gue pengen rekam setiap bentuk wajah lo itu di kepala gue. Gue takut nanti gue lupa." Senja tertawa setelahnya. Raksa mendengus. Apa yang Senja katakan sangat tidak penting baginya. Ia selalu menganggap semua perkataan Senja adalah omong kosong. "Ponsel lo dari tadi bunyi, Ja," tegur Ervin yang duduk di depannya. Senja melihat ponsel kentangnya yang tergeletak di meja. Sedari tadi Elijah terus mengiriminya pesan. Berisi keluhan karena dia harus mengerjakan tugas sendirian. Bukan Senja namanya jika tidak menjadi teman yang menyebalkan. "Hape lo retak gitu, Ja. Gak mau ganti lagi emang?" ujar Alga. "Lo pikir beli hape kayak beli baso?" balas Senja. "Ya'kan lo banyak duit, Ja. Beli dong, jangan paksain hape lo kayak gitu," timpal Ervin. "Gak papa, kentang-kentang gini gue masih bisa kirim pesan buat Raksa," ucap Senja seraya melirik Raksa yang bahkan tak meliriknya. "Cewek biasanya suka banget selpi, tapi lo sama sekali jarang selpi, Ja. Media sosial lo aja kosong melompong," ujar Alga lagi. Senja berdecak. "Banyak bacot banget sih." "Abisnya lo aneh, Ja. Kelakuan lo gak kayak cewek normal," cela Alga. "Heh, Sembarangan lo! Gue normal kok. Hak gue dong mau suka selpi atau engga!" seloroh Senja tak terima. "Bener'kan Vin, bukan cuma gue yang berpendapat kayak gitu?" Alga meminta opini Ervin. "Hmm. Bener, lo aneh, Ja." Senja akhirnya diam. Dia tidak mau meneruskan perdebatannya dengan Alga dan Ervin. Mereka itu lucu, kadang akur kadang debat. Lebih baik Senja meneruskan kegiatannya untuk memperhatikan pergerakan Raksa. Sesekali ia memberikannya penghapus saat cowok itu membutuhkannya. Sederhana, tapi membuat Senja senang bukan main. "Sa? Bisa tolong jelasin soal ini gak?" Tiba-tiba Amara datang, membuat Senja merasa terganggu. "Gak, Raksa lagi gak mau diganggu!" Senja yang menjawab. "Gue gak ngomong sama lo," sinis Amara. "Tapi Raksa gak mau diganggu!" tegas Senja. "Mana, Ra? Sini gue bantu jelasin," tawar Raksa yang tak menghiraukan Senja. Senja menahan kesalnya. Raksa benar-benar ya. Giliran dirinya yang minta diajarkan matematika tidak pernah dianggap. Tapi saat Amara yang minta. Dengan senang hati Raksa menerimanya. Sambil menahan dongkol, Senja keluar dari kelas Raksa. Ia mendapat perhatian dari Alga dan Ervin yang menggeleng-gelengkan kepalanya. Senja menyusuri koridor dengan langkah yang ia hentak-hentakkan. Hatinya jelas marah, ada rasa nyelekit juga. Mau sampai kapan Raksa mengabaikan dirinya seperti ini. Bruk! Prak! Senja melihat ponselnya dengan nahas di lantai. Seseorang menabrak tubuhnya dan ponsel yang ia pegang berakhir jatuh dengan mengenaskan. Senja melihat siapa yang menabraknya. Ternyata Vania, kakaknya. Vania dan Vano hanya berselisih satu tahun dengannya. Mereka juga satu sekolah dengan Senja. "Kalo jalan liat-liat bisa gak sih?" kesal Vania. "Maaf, Kak aku gak lihat ada Kak Vania," cicit Senja yang sudah mengambil ponselnya dari lantai. Dengan sinis Vania menatap Senja sebelum berlalu. Senja menghela napas berat. Ia akan sangat lemah jika berada di depan kedua kakaknya. Dulu saja, Vania begitu baik padanya, sampai rela memberikan mainan kepada Senja. Tapi sekarang, untuk bertegur sapa pun jarang sekali. Sekalinya ketemu, pasti Vania memandangnya dengan jengah. Apakah kehadirannya begitu mengganggu? Jika iya, akan lebih baik Senja pergi dari hidup mereka. Fokus Senja kembali pada ponsel kentangnya. Lagi-lagi ia harus menghela napasnya berat untuk kesekian kalinya. Keretakan di layat ponselnya semakin lebar. "Udah mah kentang, retak lagi. Jangan dulu mati sebelum gue mati ya? Makasih selalu ada," cetusnya. Senja datang ke kelasnya. Bukan kedamaian yang ia dapatkan. Lihatlah, keadaan kelasnya itu begitu kacau dan bising sekali saat Senja masuk. Jelas saja, murid-murid yang ada di kelas Senja adalah orang-orang spesial. Spesial dalam artian... Ya begitulah. "Senja, Ih! Lo dari mana aja sih?" omel Elijah. "Dari bebeb gue," jawab Senja. "Tadi ada yang nyari lo." "Siapa?" "Kak Aster!" pekik Elijah. "Sejak kapan lo kenal sama cowok seganteng dia, Jaaaa! Kenalin napa ke gue!" hebohnya. Senja mengernyit. "Kok lo panggil dia 'kak'?" "Gak sopan panggil kakak kelas pake nama, patah leher lo nanti kalo kak Aster tahu." "Gue kira dia satu angkatan sama kita." "Yeuhh, lu mah, gini nih! Lo terlalu sibuk ngejar Raksa, sementara orang seganteng Kak Aster terlewatkan!" "Kenapa dia nyari gue, Jah?" Elijah mengedikkan bahunya. "Ya mana gue tahu, dia tadi cuma nanyain lo, gak bilang mau apa." Aneh. Kenapa juga Aster tahu kelasnya ada dimana. Padahal mereka baru kenal. "Lo tahu? Pas dia dateng kesini, semua langsung kicep." "Lah, kenapa?" Elijah menghela napas karena kekudetan Senja. Temannya itu benar-benar ketinggalan informasi. "Dia pentolan sekolah, Jaaa! Masa lo gak tahu sama cowok macem dia? Kata orang-orang, dia tuh cowoknya kasar banget." "Kasar?" beo Senja. Masa iya kasar, jelas-jelas Aster yang ia temui kemarin terlihat seperti lelaki yang lembut. Buktinya, Aster sama sekali tak berbicara atau berbuat kasar pada Senja. Senja tidak tahu menahu tentang Aster sedikit pun. Bahkan dia hanya melihat Aster pertama kali di rooftop gedung tua. Apa benar ia terlalu sibuk mengejar Raksa sampai orang seganteng Aster terlewatkan? Tidak. Senja tidak akan pindah ke lain hati. Ia akan tetap mengejar Raksa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD