2. Basah Kuyup

1948 Words
Hujan terus saja turun tanpa hentinya. Membuat Senja berdiam diri di sekolah hanya untuk menunggu hujan reda. sudah satu jam lamanya dia berdiri di koridor sekolah. Mendengar gemericik hujan yang bagaikan nyanyian di telinganya. Menunggu hujan ada untungnya juga untuk Senja. Dia bisa menunggu Raksa keluar dari ruang OSIS. Ya, selain berperan sebagai perwakilan olimpiade, Raksa juga adalah seorang ketua OSIS. Berada Jauh di atas Senja yang hanya butiran debu di sekolahnya. Namun, hal itu tidak membuatnya menyerah sama sekali. Mata Senja menangkap sosok Raksa yang baru saja keluar dari ruang OSIS. "RAKSA!" panggilnya. Raksa menoleh. Menghela napas kasar saat melihat Senja yang berlari kearahnya. "Pulang bareng ya? Gue gak punya payung," pinta Senja. Raksa terus berjalan tanpa menghiraukan Senja. Dan cewek itu terus mensejajarkan langkahnya dengan kaki jenjang Raksa. Cukup sulit, tapi Senja tidak menyerah. "Sa, nebeng di mobil lo ya?" bujuk Senja. "Angkutan umum ada." "Gue gak punya duit, Sa. Boleh ya gue numpang?" Raksa menatapnya dengan ekspresi datar. Tangannya merogoh saku celananya, mengeluarkan beberapa lembar uang dan diberikannya pada Senja. "Gue gak butuh uang, Sa. Gue butuh tumpangan lo," ucap Senja dengan mengambil uang itu. Nolak, tapi tetep diambil. Raksa mendengus kesal. Pergerakan tangan Senja berbeda dengan lisannya. "Uang itu cukup buat naik taksi," ujarnya kemudian berlalu. Senja terus mengejar. Bahkan saat Raksa menembus hujan, cewek itu juga ikut menembus hujan. Tidak peduli jika dirinya basah. Yang terpenting adalah Senja harus pulang bersama Raksa. Saat Raksa masuk mobil. Senja juga ikut masuk, tapi pintunya dikunci lebih dulu oleh Raksa dari dalam. Akhirnya Senja harus terkena air hujan lebih lama. "Sa, buka dong, gue kehujanan!" seru Senja dengan mengetuk-ngetuk kaca mobilnya. Mobil itu belum melaju. Raksa malah melihat Senja yang basah kuyup di luar sana. Dirinya tengah menimbang-nimbang. Jika dia membawa Senja masuk ke dalam mobil, pasti gadis itu akan berharap lebih padanya. Tapi jika dia membiarkannya kehujannan, takutnya nanti cewek itu kedinginan. Akhirnya Raksa membuat keputusan juga. Dia membukakan pintu mobil untuk Senja. Saat gadis itu masuk mobil, seragam yang Senja pakai jadi transparan. Senja tersenyum. "Makasih, Sa." Raksa tidak menjawan, dia langsung melemparkan jaketnya yang ada di jok belakang kepada Senja. Senja melirik jaket itu dengan bingung. "Ini buat apa?" "Baju lo transparan," jawab Raksa tanpa menoleh. Bukannya malu, Senja malah terkekeh. "Gak papa, gue ikhlas lo liat isi baju gue." Raksa menatapnya tajam. "Lo gila?" "Gue cuma gila ke lo doang kok, ke cowok lain engga, tenang aja," ujar Senja dengan santai. Dia menutupi tubuhnya dengan jaket itu. Bisa-bisanya Raksa diikuti oleh cewek macam Senja. Bagaimana jadinya jika Senja menjadi pacarnya? Pasti segalanya akan kacau. Hujan masih turun dengan deras. Senja memperhatikan tetesan air yang turun dari balik kaca mobil. Sementara Raksa fokus menyetir. Sesekali Senja memijat hidungnya yang mulai meler. Bagaimana tidak, tubuhnya yang di tutupi jaket milik Raksa basah kuyup. Di tambah lagi rambutnya yang jadi lempes. Pokoknya, Senja sekarang seperti kucing kedinginan. "Hatciih!!! Sreeet!!!" Senja menyedot kembali ingusnya yang hampir keluar setelah bersin. Berkali-kali Senja bersin. Raksa merasa terganggu. Risih tentunya saat mendengar ingus Senja yang keluar masuk. "Lo bisa diem gak?" tegur Raksa. Senja menoleh dengan cengo. "Gue dari tadi diem kok, cuman idung gue aja yang berisik. Ehehe...." Raksa berdecak sebelum kembali fokus ke jalanan. Kasihan juga Raksa melihat hidung Senja yang merah dan tubuhnya juga menggigil. "Lho, ini kok bukan jalur ke rumah gue?" heran Senja saat jalan yang Raksa tempuh bukanlah jalan menuju rumahnya. Raksa tak menjawab ocehan Senja. Tak lama kemudian mobil berhenti di depan rumah yang menurut Senja cukup besar. Tahukan rumah orang sultan seperti apa? Ya begitulah kira-kira gambaran rumah Raksa di depannya. Sedari kelas 10 sampai kelas 11 Senja mengejar Raksa, baru kali ini dia di bawa ke rumah cowok itu. Senja patut di berikan penghargaan atas pencapaiannya saat ini. "Kenapa lo bawa gue kesini, Sa?" tanya Senja yang mengikuti langkah Raksa menuju rumah. "Gue cuma butuh lo diem," ucap Raksa sebelum kembali melanjutkan langkahnya. Senja nurut. Dia mengikuti Raksa dengan mulut terkatup. "Baru pulang, Bang?" tanya seorang gadis saat mereka memasuki rumah. "Bunda di mana?" tanya Raksa. "Bunda di dapur, eh bentar- lo gak bawa gembel dari jalanan'kan?" tanya cewek itu sembari memperhatikan tubuh Senja dari bawah sampai atas. Senja melotot tak terima disebut gembel oleh orang itu. Ia akui penampilannya sekarang mirip seperti gembel, tapi tetap saja ia merasa cewek itu tidak sopan. Senja tamu lho.... Raksa ikut melirik sekilas sebelum pandangannya kembali terarah pada gadis itu. "Lo bisa pinjemin dia baju ganti? Kayaknya baju lo cukup buat dia." Cewek itu sempat mau memprotes sebelum Raksa kembali menyela, "Tenang aja, dia bukan gembel." Cewek itu mengangguk mengerti, kemudian mengajak Senja untuk ikut ke kamarnya. Senja dapat mengira kalo cewek itu umurnya lebih muda. Lihat saja, di kamarnya begitu banyak boneka dan foto oppa-oppa korea. "Lo siapanya Bang Raksa?" "Pacarnya," jawab Senja asal. "Gak mungkin. Dia gak suka tipe cewek kayak lo." Senja mengerutkan keningnya, ia yakini cewek itu adalah adiknya Raksa. Sikapnya yang tidak sopan membuat Senja agak kurang suka. Meski begitu, Senja tak gampang kesal, ia malah mendekat. "Emang tipe cewek Raksa kayak gimana?" Gadis itu memicingkan matanya untuk menerawang beberapa saat. "Tentunya gak kayak lo." Senja mendecih kesal. "Liat aja, Raksa pasti bakal jadi pacar gue." "Gak bisa, dia udah punya gebetan," balas cewek itu. "Nih ganti baju lo, nanti lo nyusahin Abang gue lagi." Cewek itu memberikan pakaian ganti untuk Senja. Senja menggantinya di kamar mandi. Setelah itu mereka keluar dari kamar adiknya Raksa. "Wih, Siapa nih?" Seorang wanita paruh baya menghampiri Senja dengan senyum ramahnya. Dia adalah ibunya Raksa. "Abang yang bawa dia kesini, Bun," jawab Adiknya Raksa. "Oalah... Baru sekarang Raksa bawa cewek ke rumah. Nama kamu siapa?" tanya Ibunya. "Senja, Tante." "Namanya cantik kayak orangnya," pujinya. "Oh iya, Ja. Nama gue Shaletta, panggil aja Letta," sela Adiknya Raksa yang baru memperkenalkan diri. Senja tersenyum dan mengangguk. "Makasih bajunya, Ta." Shaletta mengangguk. Kemudian berlalu meninggalkan mereka. Sekarang hanya ibunya Raksa dan Senja di ruang utama. Ibunya terus saja melirik Senja dengan senyum ramahnya. "Anggap aja ini rumah sendiri ya? Kita makan malam bersama, ayo!" ajaknya. Senja ditarik ke dapur oleh ibunya Raksa. Di sana sudah ada Ayahnya Raksa, dan juga Letta. Agak canggung saat dia duduk di antara mereka. Apalagi dia harus duduk di samping Raksa. "Ini siapa, Bun?" tanya Ayah. "Dia Senja. Temannya Raksa, Yah," jawab Ibunya. Ayahnya melirik Raksa dengan tatapan menggoda, "Teman apa teman, Sa?" "Teman, yah," jawab Raksa singkat. "Cantik loh dia, gak mau dijadiin pacar?" goda Ayah. Raksa berdecak. Ayahnya memang seperti itu, kata teman-temannya, ayahnya itu orang yang asik, berjiwa muda. Malah yang membuat Alga dan Ervin aneh adalah, ayahnya dan ibunya itu asik, tapi kenapa anaknya cuek dan sedingin itu. Sementara Senja yang mendengar itu hanya tersenyum canggung. Saat melihat wajah tegas Abraham -ayahnya Raksa, Senja sempat berpikir bahwa beliau berwatak keras. Namun, ternyata dugaanya salah. Malahan orangnya asik begini. "Senja, kamu lho yang pertama dibawa ke rumah, gak ada lagi cewek lain," ujar Abraham pada Senja. Senja tersenyum. "Oh ya? Senja seneng dengernya." "Yah, Raksa itu tipenya tinggi banget, modelan kayak Senja mah lewat," sahut Shaletta tidak mengenakan. "Heh! Jangan gitu! Gak sopan kamu sama yang lebih tua," tegur Tarri, Ibunya Raksa. Shaletta malah meleletkan lidahnya pada Senja. Shaletta bersikap demikian terlihat jika ia kurang menyukai Senja. Wajar saja, mungkin Shaletta merasa tersaingi sebagai adiknya Raksa. "Udah, sekarang makan! Nanti nasinya keburu dingin. Makan ya Senja, jangan sungkan-sungkan," ucap Abraham yang dibalas senyuman oleh Senja. Abraham itu tipikal ayahable sekali. Senja jadi berandai memiliki ayah seperti Abraham. Rasa iri mulai menelisik hatinya. Dia iri dengan keluarga Raksa yang harmonis seperti ini. Berbeda jauh dengan keluarganya. Keberadaan Senja di rumah hanyalah benalu. Akan kacau jika ia ikut makan malam seperti ini bersama keluarganya sendiri. "Senja, kenapa ngelamun? Ayo makan. enak'loh masakan Tante," tegur Tarri. Senja tersenyum kikuk. "Eh, Iya Tante." Mereka melahap makanan masing-masing. Sesekali Shaletta berceloteh dengan riang menceritakan kejadian di sekolahnya hari ini. Dia ternyata beda satu tahun dengan Senja dan Raksa. Shaletta masuk ke sekolah yang berbeda dengan kakaknya karena ia tidak mau melihat Abangnya itu dekat dengan cewek. Mereka menghabiskan makanan masing-masing. Melihat Tarri yang sibuk mencuci piring, Senja berpikir untuk membantunya. "Tante, sini biar aku aja yang cuci piring." "Gak papa, biar Tante aja, kamu bantu beresin meja aja ya?" pinta Tarri. Senja mengangguk dengan senang hati. Sejak Senja datang ke rumah ini. Ia tak melihat seorang Asisten rumah tangga. Aneh jika rumah sebesar ini tidak ada pembantunya. "Eumm... Tante," panggil Senja. "Iya? Kenapa? Kamu butuh sesuatu?" tanya Tarri. "Eh, enggak kok Tante," sanggah Senja. "Senja cuma penasaran, dari tadi kok Senja gak liat ada asisten rumah tangga di rumah ini ya tante?" "Ohhh itu, Asisten rumah tangga datengnya seminggu dua kali, sengaja tante suruh begitu, karena selebihnya tante yang urus rumah," terang Tarri. Senja salut mendengarnya. Bundanya Raksa ternyata istriable sekali. Pantas saja keluarganya begitu harmonis. Dari pemimpin keluarga sampai ibu rumah tangga di keluarga mereka begitu serasi dan penuh tanggung jawab. "Kenapa, Ja? Aneh ya?" Senja dengan cepat menggeleng. "Enggak Tante, Senja cuma salut aja. Tanta emang Top!" Senja mengacungkan kedua jempolnya pada Tarri. Tarri terkekeh pelan. "Bisa aja kamu." Senja melirik jam yang ada di tangannya. Ternyata hari sudah terlalu malam. Tidak mungkin ia harus menginap di rumah itu. Sudah minta makan, masa Senja harus nginap juga. Tidak tahu malu itu namanya. "Tante, kayaknya Senja harus pulang. Makasih atas makan malamnya," pamit Senja. "Kamu gak nginep aja di sini?" saran Tarri. "Enggak Tante, aku gak mau ngerepotin," tolaknya. Tarri terlihat kecewa. "Padahal Tante gak kerepotan sama sekali." "Lain kali aja aku nginepnya." "Oke kalo gitu, biar Raksa yang anterin kamu pulang." *** Senja pulang diantar oleh Raksa. Itupun terpaksa, karena Bundanya yang suruh. Jika bukan, Raksa tidak akan mengantarkan Senja sampai rumah. "Sa. Makasih buat hari ini, gue kasih lope deh buat lo sebagai tanda terimakasih." Senja memberikan fingerlove pada Raksa yang ada di dalam mobil. Sama sekali Raksa tak menanggapinya. Tanpa mengucapkan apapun, Raksa menancap gas untuk meninggalkan Senja yang berdiri dengan tatapan sendu. Sengaja ia sembunyikan kesenduannya itu dari Raksa. Dia tidak ingin terlihat lemah, dengan berakhir diremehkan oleh orang-orang. "Sampai kapan gue harus berjuang luluhin hati lo Sa?" gumamnya. Lalu, Senja memasuki rumahnya. Mencoba menepis rasa lelah di hatinya. Jujur, ia sudah lelah terus berjuang meluluhkan hati Raksa. Tapi Senja tidak akan menyerah begitu saja. Dia akan istirahat sebentar, lalu melanjutkan kembali perjuangannya yang tak berujung. "Dari mana lo?" Kini Vano berdiri di depannya. Dia adalah kakaknya. Senja yang awalnya menunduk lantas mendongak, menatap Vano di depannya. Dia tidak pernah membuka suara di depan kakaknya itu. Lebih tepatnya tidak berani. "Lo selalu aja bikin semua kacau, lo gak tahu Mama dirawat di rumah sakit?" Senja terkejut mendengar kabar itu. "Mama kenapa?" "Tanya diri lo sendiri! Yang terjadi di keluarga gue itu semuanya gara-gara lo!" hardik Vano. Senja bergeming di tempatnya dengan bibir terkatup. Ia paling lemah jika Vano sudah membentaknya. "Kenapa juga lo harus hidup? Seharusnya lo ikut mati bareng Mentari!" Senja masih terdiam. Ia pantas mendapatkan kata-k********r itu. Perbuatannya di masalalu begitu fatal. Kematian Mentari -Adiknya disebabkan oleh Senja sendiri. Mau tak mau, Senja harus menerima perlakuan kasar keluarganya sebagai balasan. "Kakak berharap aku mati?" tanya Senja, suaranya pelan. "Udah jelas, kehadiran lo membuat semuanya hancur!" Senja mengangguk, dia mengerti akan hal itu. "Kalo itu yang kakak mau, aku bakalan turutin. Tapi gak sekarang, kasih aku waktu. Hanya sebentar." "Lebih cepat, maka lebih baik," ujar Vano sebelum meninggalkan Senja begitu saja. Hati Senja jelas sakit mendengarnya. Inilah diri Senja yang sebenarnya. Ia menutupi semua luka dengan senyuman cerianya. Ia tidak ingin terlihat lemah. Di depan siapapun, ia harus terlihat kuat. Tidak ada yang mengharapkan kehadirannya. Begitupun dengan Raksa. Padahal Senja menggantungkan hidupnya pada cowok itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD