1. Prolog

1657 Words
Senja sedari tadi terus memegang kepalanya yang terasa pening. Tadi malam ia baru tidur pukul tiga pagi. Kenapa? Karena ia bangun gara-gara mimpi buruk. Akhirnya Senja harus memaksakan matanya untuk melek. Karena jika tidak, pasti ia kena lempar penghapus lagi oleh guru berkepala plontos di depan sana. "Jah, jam berapa sekarang?" bisik Senja pada Elijah, teman sebangkunya. "Baru juga 10 menit pak Tirto masuk, Ja. Lo udah nanyain jam aja," sahut Elijah. "Tapi Jah, gue ngantuk banget." Elijah tidak mendengarkan ocehan Senja lagi. Ia fokus memperhatikan pak Tirto yang tengah menerangkan sampai selesai. Dan akhirnya Senja bisa bernapas lega. Aneh, setelah istirahat tiba, ngantuknya jadi hilang. Memang sialan. Rasa kantuk tidak datang di waktu yang tepat. Senja langsung pergi ke kantin. Membeli satu s**u kotak untuk dia berikan kepada Raksa. Setelah Senja ada di depan kelas cowok itu, ia berhenti sebentar, melihat Raksa tengah berbincang dengan seorang cewek yang ia tahu adalah partner Raksa saat Olimpiade Matematika. Senja dengan bodo amatnya menyenggol cewek itu dan berdiri di depan Raksa yang masih duduk di bangkunya. "Apaan sih?" kesal cewek itu sebelum berlalu. Senja meliriknya dengan sinis. Hanya sebentar, detik kemudian fokusnya tertuju pada Raksa. "Nih, Sa. Gue beliin s**u kesukaan lo." Senja menyodorkan s**u kotak itu pada Raksa. Sama sekali cowok itu tak menoleh, terus fokus pada kertas yang berisi soal. Diletakkannya jenis minuman itu di atas meja oleh Senja. "Gue taruh di sini aja ya?" Bukannya menjawab, Raksa malah mengambil s**u itu dan melemparnya tepat kearah Alga yang berdiri tak jauh darinya. Untung saja Alga dengan tangkas menangkapnya. "Ih, Sa. Kenapa dikasih ke dia sih?" kesal Senja. "Terserah gue." "Atau jangan-jangan lo mau s**u gue ya?" celetuk Senja terang-terangan. "Heh loh! Sembarangan kalo ngomong!" tegur Alga. Sudah bukan hal yang aneh Senja bersikap demikian. Bahkan ia bisa lebih v****r dari itu. Senja cengengesan tanpa dosa. "Abisnya tiap kali gue beliin s**u kotak, temen lo gak mau, Ga." "Sabar, Ja. Nanti juga luluh dia mah, apa lagi ceweknya secantik lo," goda Ervin, teman Raksa yang lain. "Buat dia luluh lama...," keluh Senja. Mereka malah ngegibah di depan orangnya. Emang bener-bener. Senja jika sudah bertemu dengan teman-temannya Raksa langsung klop. Alga sih yang paling klop dengannya. Bukannya pergi setelah menerima penolakan dari Raksa, Senja malah duduk di depan cowok itu. Istirahatnya selalu ia habiskan di kelas Raksa. Kenapa? Karena Raksa itu jarang sekali pergi ke kantin. Dia lebih memilih menyibukkan dirinya dengan soal-soal matematika. Siswa-siswi di kelas Raksa sudah tidak aneh lagi dengan keberadaan Senja di sana. Pasalnya gadis itu datang ke kelas Raksa tiap hari. Tidak ada yang berani melarang. Dulu pernah ada yang menegur Senja. Namun, Senja memarahinya di depan banyak orang. Ya, begitulah Senja. Namanya saja yang anggun, tidak dengan orangnya. "Sa?" panggil Senja. Raksa menoleh sekilas. Kemudian kembali pada fokusnya. "Suka gak sama gue?" "Gak." Tiap hari Senja akan bertanya seperti itu. Jawaban Raksa tidak pernah membuatnya menyerah. Ingat? Senja itu menganut paham pantang menyerah sebelum menang. "Sa?" panggil Senja lagi. Kali ini Raksa tidak menoleh. "Lo suka gak sama Amara?" "Gak." Senja tersenyum senang. Setidaknya bukan cuma dirinya yang tidak Raksa sukai, Amara pun juga. Amara itu cewek yang tadi Senja senggol. Ya, dia partner Olimpiade Raksa. Senja jelas tahu, Amara menyimpan perasaan kepada cowok di depannya. Tapi Amara tidak seberani Senja untuk mengekspresikan perasaannya. Tak terasa bel tanda waktu istirahat habis berdenting nyaring. Hanya memandang Raksa saja, waktu Senja terasa singkat. Bagaimana jika nanti ia berpacaran dengan cowok itu? Pasti satu hari seperti satu jam, pikirnya. *** Senja berjalan tergesa-gesa melewati kerumunan di koridor. Ia harus cepat menghampiri Raksa di parkiran. Kalo tidak, cowok itu pasti akan hilang. Melihat mobil Raksa masih terparkir, Senja senang bukan main. Dengan cepat ia menghampiri dan tanpa permisi masuk ke dalam mobil. "Hai, Sa!" sapa Senja dengan wajah tanpa dosanya. "Kenapa lo masuk mobil gue?" tanya Raksa tak ramah. "Menurut lo? Ya pulang bareng lo'lah!" "Turun." "Gak mau!" Raksa menghela napas kasar. Dia langsung menancap gasnya tanpa menghiraukan Senja di sampingnya. Sementara itu, Senja menang karena berhasil masuk ke dalam mobil Raksa. Cukup sulit untuknya pulang bersama Raksa. "Sa?" panggil Senja. Raksa masih bergeming. "Raksa!" Lagi-lagi panggilannya dihiraukan. "Raksa!" Dan masih tak menoleh. "Sayang...?" Oh, s**t! Raksa menoleh sekilas. Dia kena jebakan Senja. "Cieee... Dipanggil sayang baru noleh," goda Senja. Terpaksa Raksa harus menahan malunya. "Iya-iya gue tahu, lo mulai suka'kan sama gue? Tenang aja Sa, sampai kapan pun gue bakal tunggu lo bilang suka sama gue," ujarnya. "Terserah." "Oh tentu, semuanya harus terserah gue." Mobil Raksa berhenti tepat di gang komplek rumah Senja. Tentu saja membuat cewek itu heran. "Kenapa berhenti di sini? Rumah gue masih jauh, Sa." "Turun." "Tapi gue ogah banget turun di sini. Panas tau...!" keluh Senja. "Gue bilang turun," tegasnya. Dengan ketidakikhlasannya, Senja turun dari mobil Raksa. Kesal tentunya akan sikap Raksa yang kelewat jahat karena membiarkannya turun di sini. Senja masih berdiri menatap kepergian mobil Raksa yang makin menjauh dari pandangannya. Dia mengusap dadanya. "Sabar ya hati... Pujaan lo sedang OTW," monolognya. Baru beberapa langkah Senja berjalan, ia membalik arahnya. Dia lupa akan kebiasaannya sejak dulu. Kaki pendeknya membawa Senja menuju gedung terbengkalai. Dia duduk di rooftop. Tempat yang selama ini menjadi persembunyiannya. Jika harus pulang ke rumah dengan cepat rasanya akan penat. Krek! Senja sudah memejamkan matanya di atas kursi yang tidak terpakai. Namun, suara patahan kayu mengejutkannya. Dia menoleh kearah sumber suara. Rupanya ada seseorang di sana selain dirinya. "Gak baik cewek diem di tempat sepi kek gini," ujar seorang cowok dengan satu batang rokok di jarinya. Senja bukannya takut dengan laki-laki yang berseragam urakan itu, ia malah menghampirinya dengan duduk di samping cowok itu. Sekilas Senja memperhatikan seragam cowok itu. "Sekolah kita kayaknya sama deh." Cowok itu tidak menjawab. Hanya kepulan asap rokok yang keluar dari mulutnya. "Beri gue satu batang rokok," pinta Senja dengan menengadahkan telapak tangannya. Cowok itu menatapnya dengan aneh. "Lo gila?" Senja menggeleng dengan polos. "Emang orang yang ngerokok gila ya? Berarti lo gila dong?" Cowok itu merogoh saku celananya. Alih-alih rokok, yang ia berikan malah permen. Senja berdecak. "Lo kira gue anak kecil? Gue minta rokok bukan permen." "Gak ada." "Chh! pelit!" cela Senja, tapi dimakan juga permennya. Cowok itu bukannya tidak mau memberikan rokok. Hanya saja ia tidak suka jika melihat perempuan merokok. Rasanya numpang. Menurutnya, cewek kalo nakal boleh, tapi kalo sampai ngerokok tidak wajar namanya. "Nama lo siapa?" tanya Senja di sela-sela kunyahan permennya. "Aster," jawabnya. Senja manggut-manggut. "Gue Senja, salam kenal kalo gitu." "Lo baru dateng kesini ya?" tanya Senja lagi. "Udah lama, sebelum lo dateng kesini, gue udah sering kesini." Senja mengernyitkan keningnya. "Tapi kok gue gak pernah liat lo?" "Orang tidur emang bisa liat?" Aster malah balik nanya. "Bener juga sih." Aster melempar puntung rokok dan kemudian dia injaknya dengan kaki. Tak luput dari perhatian Senja. Dia secara terang-terangan memperhatikan gerak-gerik Aster. Cowok itu sepertinya pentolan sekolah. Tapi kenapa Senja tidak pernah melihatnya. Apa Senja terlalu fokus pada Raksa? Ia pikir begitu. "Segitu terpesonanya lo sama kegantengan gue?" Suara Aster mengagetkan Senja. Spontan ia menggeleng kepalanya. "Bukan terpesona, heran aja. Kenapa juga gue belum pernah liat lo di sekolah?" "Mungkin lo terlalu sibuk ngejar Raksa." Senja mengerutkan keningnya. "Kok lo tahu?" "Siapa yang gak tahu sama lo? Orang yang ngintilin Raksa kemana pun, gak capek emang?" Senja malah tersenyum simpul. "Mana ada capek kalo ngintilin orang yang gue suka." Aster memperhatikan senyum itu. Ia mendengus samar. Cewek aneh, batinnya. "Huffftt...." Senja menghela napas pasrah. "Tidur gue jadi keganggu gegara lo." "Kok gue?" "Iya, kenapa juga lo harus berisik," dumel Senja. "Jangan tidur di sini lagi! bahaya," tegurnya sebelum bangkit berdiri meninggalkan Senja. Namun Senja tidak ingin tertinggal. Dia mengikuti Aster keluar dari gedung itu. Langit terlihat mendung. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. "Udah mau ujan nih, Gue balik duluan ya?" pamit Senja sebelum berlari meninggalkan Aster. Tanpa sadar, Aster manarik setiap sudut bibirnya saat pandangan terus tertuju pada cewek bertas selempang itu. Menarik, pikirnya. *** Senja harus dihadapkan dengan situasi sulit lagi. Dia harus terpaksa manjat pagar rumahnya sendiri. Kenapa? Ya karena terkunci, apa lagi memang? Karena hujan terus turun dari langit, terpaksa Senja berteduh sampai malam. "Padahal baru pukul 10 malam, kenapa udah dikunci sih?" gerutunya. Hap! Berhasil. Dia berhasil melewati pagar yang tingginya di atas kepala. Satu lagi yang harus dia lewati. Pintu utama. Tidak. Jika sudah jam segini, Senja tidak berani lewat sana. Dia akan masuk lewat pintu belakang diam-diam. Senja yakin. Semua orang di rumahnya itu belum tidur. Saat sudah berada di dalam rumah, Senja berusaha untuk tidak menimbulkan suara dari derap langkah kakinya. Senja menghela napas lega. Akhirnya ia sampai juga di kamar tercinta. Begitu Senja masuk, ia merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan menatap plafon kamar. "APA KAMU BILANG? KAMU MENUDUH AKU SELINGKUH, MAS?" "SAYA LIHAT DENGAN KEPALA MATA SAYA SENDIRI, KAMU BERDUAAN DENGAN LAKI-LAKI LAIN!" "GILA KAMU, DIA REKAN KERJAKU!" "REKAN KERJA? HARUS SAMPAI MALAM KAMU BERSAMA DENGAN REKAN KERJA?" "KAMU GAK NGERTI, MAS!" "SAYA CUKUP MENGERTI DENGAN TINGKAH KAMU INI! SETELAH MENTARI MENINGGAL, SEMUANYA MENJADI KACAU!" "LALU ITU SALAH SIAPA? SALAH SIAPA MENTARI MENINGGAL?" "...." "DIA MENINGGAL KARENA ANAK KAMU ITU, SENJA! SEMUANYA GARA-GARA DIA!" Senja menutup telinga dengan kedua tangannya. Dugaanya ternyata benar, orang-orang di rumah belum tidur. Terpaksa ia harus mendengarkan pertengkaran kedua orang tuanya. Selalu saja namanya yang disebut dalam pertikaian itu. Terlalu bosan Senja mendengarnya. Senja tak lagi mendengarkan teriakan demi teriakan kedua orang tuanya. Kini fokusnya pada ponsel. Mengirimi Raksa beberapa pesan sebelum ia pergi ke kamar mandi. Senja berdiri di depan cermin wastafel. Tersenyum. Itu yang sekarang dia lakukan. "Cantik banget lo, Ja. Tenang ya... Raksa bentar lagi pasti bakal suka sama lo," ucapnya pada diri sendiri lewat cermin. Tes! Senja berdecak kesal. Wajahnya sudah menunduk untuk cuci muka. Tapi dia mendongak lagi saat darah segar mengalir dari hidungnya. Lagi. Sudah berapa kali dirinya harus mimisan seperti ini? Ditatapnya lagi wajah cantik itu lewat cermin. Perubahan yang sangat drastis, kini kulit wajahnya jadi pucat. "Lo harus bertahan, Ja. Harus!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD