Bab 07

794 Words
Gevan berdiri di ambang pintu kamar utama, kedua bahunya naik-turun menahan napas marah yang hampir meledak. Tatapannya menusuk pada sosok Lusi yang berdiri di sebelah ranjang, wajah pucatnya diterangi cahaya lampu temaram. Lusi segera mundur dua langkah sambil menggeleng cepat. “A-aku tidak… aku tidak melakukan apa-apa,” ucap Lusi dengan suara bergetar. “Kau pikir aku percaya?” Gevan berjalan masuk, langkahnya berat, seolah tiap hentakan kaki membawa amarah yang baru. “Kau masuk kamar Ibu tanpa izin. Untuk apa? Mencari kesempatan? Menyakiti dia? Membuatnya mati lebih cepat supaya kau berdua bisa bebas bersama Papa?” Lusi terengah-engah, menelan ludah. “Tidak begitu. Aku masuk hanya untuk melihat…” “Melihat apa? Menghitung napas terakhir Ibu?” suara Gevan meninggi, dingin seperti pisau. Tubuh Lusi bergetar. Pelayannya yang berdiri di ujung koridor pun ikut merapat ke pintu, takut terjadi sesuatu. Lusi mengangkat kedua tangannya, seolah hendak menunjukkan bahwa dia tidak memegang apa pun. “Aku tidak menyentuh apa-apa. Aku bahkan tidak mendekat. Aku hanya… aku kasihan melihat keadaan beliau.” “Kau tidak punya hak untuk merasa kasihan!” Gevan menghardik. Wajahnya memerah, nadinya tampak berdenyut di leher. “Ibu menderita karena Papa. Dan Papa membawa kau ke rumah ini seolah-olah kau hadiah! Lalu sekarang kau berdiri di sini berpura-pura peduli?” “Aku tidak pura-pura,” bisik Lusi, suaranya hampir tak terdengar. “Diam!” teriak Gevan. Mendengar teriakan itu, Yunita yang terbaring lumpuh tampak menggeliat kecil. Matanya yang biasanya hanya terbuka separuh tiba-tiba menatap ke arah suara. Napasnya terdengar berat. Lusi langsung panik. “Ibu… maaf, aku tidak bermaksud—” “Jangan panggil beliau Ibu!” Gevan memotong cepat. “Kau bukan keluarga. Kau bukan siapa-siapa di sini.” Lusi menunduk, kedua tangannya mengepal kuat hingga kuku menancap ke telapak. Air matanya menetes satu-satu, jatuh ke lantai marmer yang dingin. “Kalau kau ingin membunuh Ibu,” Gevan mencondongkan tubuhnya mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Lusi, “kau harus melewati aku lebih dulu.” “Aku tidak punya keinginan begitu,” jawab Lusi terisak. “Jangan bersandiwara. Kau melakukan ini demi uang. Papa mencarimu. Kau setuju. Kau tahu betul dia masih punya istri. Tapi kau tetap menikah dengannya.” Lusi menggigit bibir bawahnya sampai nyaris berdarah. “Aku tidak punya pilihan. Keluargaku… kami punya hutang. Banyak. Kalau aku tidak menerima tawarannya… keluargaku mungkin sudah… Papamu bilang aku bisa membantu mereka dengan cara ini…” “Papa bilang?” Gevan tertawa sinis, dingin dan menghina. “Jadi menurutmu itu alasan yang cukup untuk menginjak-injak perasaan Ibu? Untuk tidur dengan lelaki yang dua kali usiamu? Untuk menjadi istrinya, padahal kau tahu dia sudah menghancurkan hidup orang lain?” Lusi kembali menggeleng keras. “Aku hanya ingin menyelamatkan keluarga. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun…” “Terutama Ibu, kan?” suara Gevan berubah pelan namun mengerikan. “Kau tahu apa yang terjadi padanya? Tiga bulan lalu Ibu jatuh dari tangga. Ada saksi melihat Papa berteriak padanya sebelum itu. Ada yang bilang Papa menarik lengannya. Tidak ada yang berani bicara karena Papa membayar mereka. Tapi aku tahu Papa berperan dalam semua ini. Dan sekarang kau ada di sini, pengganti Ibu, dan kau masuk ke kamarnya…” Lusi memeluk dirinya sendiri, bahunya bergetar. “Aku tidak ada hubungannya dengan kecelakaan itu…” Gevan maju, mencengkeram kedua lengan Lusi keras hingga gadis itu meringis. “Kalau aku melihatmu satu kali lagi berada terlalu dekat dengan Ibu, atau kalau ada satu kejadian kecil pun yang mencurigakan pada kondisi Ibu… aku tidak peduli kau istri Papa atau bukan. Aku tidak peduli hutang keluargamu. Aku tidak peduli siapa yang kau coba bantu. Aku akan pastikan kau menyesal masuk ke rumah ini.” “Lepaskan… sakit…” Lusi memohon. Gevan melepaskannya dengan kasar, mendorong tubuh Lusi hingga ia terduduk di lantai. Pelayannya menahan napas, tak berani bergerak. Lusi menunduk dalam, air matanya mengalir membasahi pipinya tanpa henti. Tanpa menatapnya lagi, Gevan berjalan ke sisi ranjang, membelai rambut ibunya dengan lembut—berbeda seratus delapan puluh derajat dari tatapan buasnya kepada Lusi. “Ibu…” bisiknya pada Yunita. “Maaf kalau suara Gevan terlalu keras.” Lusi memandang punggung lelaki itu. Rasa bersalah dan ketakutannya bercampur menjadi satu, menyesakkan dadanya sampai ia hampir tidak bisa bernapas. Dia tidak akan pernah bisa memenangkan kebencian Gevan. Tidak peduli seberapa keras dia berusaha menjelaskan. Ketika Gevan berbalik, ia tidak lagi menatap Lusi. Hanya satu kalimat pendek dan menusuk yang keluar darinya. “Keluar dari kamar ini. Dan jangan pernah masuk lagi.” Lusi bangkit perlahan, tubuhnya masih gemetar. Dia menunduk dan berjalan keluar, namun sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, ia berhenti sejenak di ambang pintu. Hanya satu detik, tapi cukup untuk membuat hatinya runtuh. Dalam detik itu, ia sadar bahwa hidupnya di rumah ini… akan menjadi neraka yang tidak pernah ia bayangkan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD