Bab 08

1012 Words
Sore itu, rumah besar keluarga Orion berada dalam suasana sunyi yang membuat udara terasa semakin berat. Setelah kejadian di kamar Yunita, Lusi tidak berani keluar dari kamarnya selama hampir satu jam penuh. Ia bersandar pada pintu, memegangi lengan yang tadi diremas keras oleh Gevan. Rasa sakitnya masih terasa, namun yang lebih menyakitkan adalah kata-kata Gevan yang terus menggema di telinganya, menghantam pikirannya berulang-ulang. Namun seiring berjalannya waktu, tubuhnya mengingatkan bahwa ia tidak bisa terus meringkuk di sudut kamar. Ia telah menjadi istri dalam rumah ini, meski hanya status kosong, dan ia harus melakukan sesuatu agar keberadaannya tidak semakin memicu kebencian. Ia mencoba menenangkan napasnya dan memutuskan untuk setidaknya melakukan hal kecil: memasak makan malam. Pelayan rumah tentu bisa melakukannya, tetapi Lusi ingin menunjukkan bahwa ia tidak hanya duduk dan menikmati fasilitas. Ia ingin … mungkin bukan diterima, tapi setidaknya tidak dibenci sampai sedalam itu. Di dapur, para pelayan sempat terkejut melihatnya masuk. Biasanya istri rumah besar jarang turun langsung. Namun Lusi memaksa tersenyum. “Boleh aku yang masak untuk malam ini?” Para pelayan saling pandang, namun tidak berani membantah. Mereka tahu Gerald tidak terlalu peduli, dan Gevan baru saja memarahi Lusi. Tidak ada yang ingin memperparah suasana. Mereka hanya memberikan bahan-bahan dan sedikit bantuan teknis, meski secara dominan Lusi mengerjakan semuanya. Ia memasak sup ayam bening kesukaan Yunita, menggoreng ikan dengan bumbu rempah, membuat sambal terasi yang aromanya langsung memenuhi dapur, dan menyiapkan capcay hangat. Tangannya bergerak cepat karena kebiasaan lama membantu ibunya memasak ketika masih remaja. Ada sedikit luka kecil di jarinya karena terburu-buru, tetapi ia mengabaikannya. Saat makanan siap, Lusi menyusun semuanya ke dalam nampan besar dan membawanya ke meja makan utama. Napasnya belum stabil, tetapi ia memaksa bibirnya tersenyum kecil. Para pelayan mencoba membantu, tetapi Lusi menggeleng. “Biar aku yang mengaturnya.” Meja makan itu panjang dan megah, dengan lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya lembut. Lusi menyusun piring-piring, meletakkan mangkuk sup di tengah, dan menaruh hidangan gurih lainnya di sisi. Perlahan ia menarik kursi untuk Gerald di ujung meja. Gerald datang paling dulu, mengenakan baju santai setelah selesai menerima telepon bisnis. Ia mencium aroma makanan dan mengangkat alis. “Kau yang masak ini?” “Iya,” jawab Lusi pelan. Gerald hanya duduk tanpa komentar lebih, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan ia tidak keberatan. Sedikit pujian pun tidak. Beberapa menit kemudian Gevan muncul dari lorong, masih mengenakan kemeja kerja yang lengannya digulung. Rambutnya sedikit berantakan seolah ia baru selesai merawat Yunita. Tatapannya langsung jatuh pada seluruh hidangan di meja. Lusi menahan napas. Gevan melangkah mendekat, memandang makanan di depan mereka, lalu menatap Lusi. “Kau yang membuat semua ini?” suaranya datar, tanpa emosi. Lusi mengangguk. “Aku ingin… aku hanya ingin sedikit membantu…” “Untuk apa?” Gevan mengangkat satu alis. “Untuk menebus kesalahanmu masuk kamar Ibu? Atau untuk membuat Papa semakin buta dengan kebaikan palsumu?” Lusi mundur setengah langkah. “Aku tidak punya niat itu.” Gerald menghela napas bosan. “Sudahlah, biarkan saja dia. Makanan sudah siap. Kita makan.” Namun Gevan tidak duduk. Ia mengambil satu piring, menatap isinya, lalu tanpa memberi kesempatan siapa pun untuk bereaksi, ia mengangkat piring itu … dan melemparkan isinya ke lantai. Suara piring pecah membuat semua pelayan terloncat kaget. Gerald menatapnya tajam. “Apa-apaan kau, Gevan?!” Namun Gevan tidak peduli. Ia mengambil piring kedua, berisi ikan goreng, lalu menumpahkannya ke lantai hingga minyaknya memercik. Setelah itu piring ketiga, sup panas yang tersiram dan menggenang di marmer putih. Lusi refleks mundur kuat karena sebagian air sup mengenai ujung kakinya. “Gevan… tidak… jangan…” Lusi memohon lirih. Tapi Gevan tidak berhenti. Ia membalik seluruh panci sup, membuat kuah hangat mengalir seperti banjir kecil. Gelas-gelas bergoyang, beberapa jatuh dan pecah. Capcay yang tadi ia susun dengan hati-hati sekarang tersebar acak di lantai. Para pelayan hanya berdiri terpaku, takut meng-intervensi. “Berhenti!” teriak Gerald akhirnya, berdiri dengan wajah memerah. Gevan berbalik, menatap papanya tajam. “Ini semua kotoran. Aku tidak mau makan apa pun yang dia buat. Aku tidak akan menyentuh masakan perempuan yang menjadi penyebab Ibu menderita.” Lusi menutup mulutnya dengan kedua tangan, air matanya mengalir deras dan jatuh pada apron yang ia pakai. Gerald menunjuk wajah Gevan. “Jangan bicara seakan ibumu itu malaikat! Ibumu sudah lumpuh karena takdir! Bukan karena aku, apalagi dia! Kau kurang ajar!” Gevan mendengus sinis. “Benar. Semua salah takdir. Semua salah siapa pun kecuali kalian. Begitu cara kalian menenangkan diri.” “Gevan,” Lusi mencoba bicara, suaranya bergetar parah, “aku tidak bermaksud—” “Diam!” Gevan membentak begitu keras hingga Lusi tersentak. Gevan maju dua langkah, berdiri tepat di depan Lusi. Sorot matanya pekat, menuntut, menuduh, membenci. “Kau pikir aku butuh makanan darimu? Kau pikir ini akan membuatku berhenti membencimu? Kau salah. Makanan yang kau buat tidak layak untuk ada di meja keluarga ini. Bahkan anjing pun mungkin tidak akan menyentuhnya.” Lusi menunduk begitu rendah, sampai bahunya gemetar hebat. Suara isak tertahan terdengar dari tenggorokannya. Gerald meraih lengan Gevan, mencoba menahan. “Cukup!” Namun Gevan menepis tangan Gerald dengan kasar. “Jika kau mau memaksakan perempuan ini tinggal di rumah dan menjadi istrimu,” Gevan melanjutkan, suaranya menurun namun semakin berbahaya, “itu urusanmu. Tapi aku tidak akan pernah menerima dia. Selama aku masih tinggal di bawah atap ini, aku akan pastikan dia tidak pernah merasa nyaman.” Lusi mulai menangis keras tanpa bisa menahan lagi. Tubuhnya goyah, hampir roboh. Gevan menatapnya untuk terakhir kalinya, dingin dan penuh luka yang belum tersembuhkan. Lalu ia berbalik dan meninggalkan ruang makan tanpa sepatah kata lagi. Sepatu kulitnya menapak lantai dengan suara keras yang mengisi seluruh ruangan, hingga akhirnya hilang di ujung koridor. Gerald hanya menghela napas panjang, kecewa dan marah sekaligus. Para pelayan mulai membersihkan lantai yang berantakan. Lusi tetap berdiri di tempat, menahan wajahnya dengan kedua tangan, menangis dalam-dalam. Dia sadar satu hal… Tidak peduli seberapa keras ia mencoba, tidak peduli seberapa baik ia berusaha… Di rumah ini, keberadaannya akan selalu menjadi kesalahan. Dan tidak akan diterima di rumah ini. Hahaha... Siapa juga yang mau menerima wanita sepertinya? **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD