Kamar kedua terbesar di rumah ini yang kini menjadi milik Lusi terasa lebih seperti kurungan daripada tempat tinggal. Lampunya redup, tirainya tertutup rapat, udara dingin merayap dari celah-celah jendela. Setelah kejadian di meja makan, langkah Lusi terasa gontai, tubuhnya seolah kehilangan tenaga ketika ia akhirnya masuk ke kamar dan mengunci pintu dari dalam.
Begitu pintu tertutup, ia langsung merosot bersandar pada dinding, tangisnya pecah lagi. Tubuhnya gemetar memikirkan bagaimana Gevan membanting semua makanan yang ia buat, bagaimana mata lelaki itu menatapnya dengan penuh kebencian, seakan keberadaan Lusi sendiri mencemari rumah ini.
Ia memeluk kedua lututnya. Air matanya tak kunjung berhenti. Hatinya hancur berkeping-keping, tetapi ia tahu ia tidak boleh terlihat lemah di depan semuanya. Hanya di dalam kamar inilah ia bisa melepaskan semua emosinya.
Tidak lama suara langkah terdengar dari koridor. Lusi mengangkat kepala, matanya memerah, napas terhenti sejenak. Langkah itu berat, tegas, dan familiar… lalu berhenti tepat di depan pintunya.
Tok. Tok.
“Lusi?” suara Gerald terdengar di balik pintu, rendah dan penuh maksud lain.
Lusi buru-buru menghapus air matanya, meski suaranya tidak bisa ia samarkan. “I-iya?”
“Buka pintunya. Aku ingin bicara.”
Lusi menggigit bibirnya keras. Ia bangkit perlahan, berjalan mendekat, tapi tidak membuka kunci. Ia hanya berdiri beberapa sentimeter dari pintu.
“Pa… aku ingin istirahat…”
“Aku bilang buka pintunya,” suara Gerald berubah tegas.
Dengan tangan gemetar, Lusi memutar kunci, membiarkan pintu terbuka sedikit. Gerald langsung mendorongnya masuk, tidak memberi ruang untuk menolak.
Laki-laki itu masuk dengan aroma parfum mewah menguar di ruang sempit. Ia mengenakan kaus hitam yang menonjolkan tubuh kekarnya meski usianya sudah lewat lima puluh. Senyum tipis muncul di bibirnya—senyum khas lelaki yang merasa berhak atas sesuatu.
Gerald menutup pintu tanpa suara, lalu berbalik menghadap Lusi yang kini berdiri mundur hingga punggungnya menempel pada dinding.
“Sayang,” ucapnya pelan namun tajam, “aku ingin kau menemaniku malam ini.”
Lusi menelan ludah. Tubuhnya merapat pada dinding seolah ia bisa masuk ke dalamnya untuk menghindar. “Pa… aku… aku tidak bisa malam ini.”
Gerald mengangkat alis. “Tidak bisa? Kenapa?”
Lusi menunduk dalam, suara nyaris tak terdengar. “Aku sedang datang bulan…”
Keheningan tercipta sesaat. Wajah Gerald berubah seketika, dari keinginan menjadi kejengkelan. Ia mendecak panjang, penuh ketidaksabaran.
“Astaga, Lusi. Benar-benar waktu yang buruk.” Ia memijit pelipisnya. “Aku butuh ditemani, kau tahu?”
Lusi meremas ujung bajunya, gugup dan takut. “Maaf… aku benar-benar tidak bisa. Perutku sakit…”
Gerald menatapnya lama. Sangat lama. Pandangan matanya tidak menyiratkan cinta—yang ada hanya rasa memiliki, kepemilikan, dan nafsu yang tertahan.
“Kau ini muda, cantik, mulus… tapi selalu saja ada alasan,” desis Gerald perlahan mendekat. “Kau tahu untuk apa aku menikahimu, kan?”
Lusi menahan napas. Ia mengangguk kecil, gemetar.
Gerald mendekat lebih jauh hingga hampir tak ada jarak. Tangannya hendak mengangkat dagu Lusi, tetapi gadis itu refleks mundur ke samping, menghindar setengah langkah.
Gerald terdiam.
Lusi membeku.
Udara menjadi pekat.
“Lusi…” kata Gerald pelan, tetapi ada ancaman di baliknya, “kau istriku. Dan aku tidak suka jika kau menghindar seolah aku ini orang asing.”
“Aku tidak bermaksud begitu…” suara Lusi pecah di ujung kalimat.
Gerald menatapnya beberapa detik lagi, lalu menghela napas berat. “Baik. Kalau kau bilang sedang datang bulan, aku tidak bisa memaksamu. Tapi mulai besok… aku tak mau dengar alasan lagi.”
Lusi menunduk. “I-iya…”
Gerald memandang wajah Lusi yang sembab, matanya yang bengkak karena menangis. “Dan berhentilah menangis seperti anak kecil. Kau terlihat jelek kalau begitu.”
Ucapan itu menusuk lebih dalam daripada teriakan mana pun.
Gerald kemudian melangkah pergi ke pintu. Namun sebelum keluar, ia menoleh.
“Oh ya,” katanya santai, “jangan pikir aku tidak tahu kau berusaha mengambil hati Gevan dengan memasak tadi. Lain kali, jangan melakukan hal bodoh. Dia tidak akan pernah menerimamu.”
Gerald keluar dan menutup pintu.
Keheningan kembali memenuhi kamar.
Lusi menutup mulutnya, berusaha tidak terisak terlalu keras. Namun tangis itu pecah begitu saja, tak terbendung lagi. Tubuhnya melemah, ia merosot jatuh ke lantai, menyandarkan kepalanya di lutut.
Ia merasa kotor, hina, terjebak, dan tidak punya tempat untuk kabur.
Air matanya semakin deras.
Sekarang ia tidak hanya takut pada Gevan…
Ia juga takut pada suaminya sendiri.
Dan ia tahu… ini baru permulaan dari malam-malam panjang yang akan ia jalani dalam rumah keluarga Orion.
***
Udara malam di rumah keluarga Orion terasa tajam, menusuk kulit seperti ribuan jarum halus. Langit gelap tanpa bintang, seakan ikut merasakan kesedihan yang menggulung d**a seorang gadis muda yang kini berdiri di balkon kamar keduanya.
Lusi memeluk tubuhnya sendiri, berdiri di sudut balkon dengan bahu gemetar. Angin malam meniup rambutnya yang terurai, tetapi tidak mampu mendinginkan panasnya air mata yang terus mengalir. Dari tadi ia menahan tangis, tetapi tubuhnya sudah terlalu lelah. Kini isakannya pecah begitu keras, menggema di ruang sunyi malam.
Dia menatap ke bawah. Halaman rumah yang luas tampak kosong, hanya diterangi beberapa lampu taman. Sementara dirinya berdiri di ketinggian lantai dua… sendirian… terjebak dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.
“Apa salahku…” gumamnya lirih sambil menyeka air mata yang langsung tergantikan oleh tetesan baru. “Kenapa hidupku… jadi seperti ini…”
Ia memejamkan mata. Gambaran masa lalu melintas. Ayahnya yang sakit-sakitan, ibunya yang terus memohon pada setiap kenalan untuk meminjam uang, adiknya yang menangis karena tidak punya uang sekolah. Semua itu membentuk bayangan suram yang menekan dadanya.
Ia ingat telepon terakhir dari ibunya sebelum semua ini terjadi. “Kamu satu-satunya harapan keluarga kita, Lus… kalau kita tidak segera melunasi hutang, rumah kita disita… kita tidak punya tempat lagi…”
Lusi menggigit bibir sampai terasa asin. Ia menumpukan kedua tangan pada pagar balkon erat-erat, seolah bebannya bisa terbang bersama angin jika ia menguatkan diri.
“Kenapa aku harus dibenci…?” tanyanya pada langit yang tidak pernah menjawab. “Apa karena aku miskin? Karena aku tidak punya pilihan lain? Atau karena aku jatuh cinta pada orang yang salah dulu?”
Nama itu terlintas otomatis.
Gevan.
Sosok lelaki yang pernah ia cintai setengah mati hingga rela kehilangan harga diri hanya untuk melihatnya tersenyum. Tetapi hubungan itu kandas karena kemiskinan dan keputusannya sendiri untuk menjauh ketika keluarganya dililit hutang. Ia tidak pernah berpikir bahwa suatu hari ia akan kembali ke kehidupan Gevan… sebagai ibu tirinya.
“Kejam…” kata Lusi, air matanya mengalir deras. “Dunia benar-benar kejam… bahkan aku tidak diberi kesempatan bernapas.”
Ia teringat pada tatapan Gevan malam ini. Tatapan yang begitu dingin, menusuk, dan penuh penghinaan. Seolah keberadaan Lusi sendiri adalah dosa yang tak terampuni. Segala kenangan indah masa lalu berubah menjadi racun. Gevan tidak hanya membenci—dia ingin Lusi hilang dari rumah ini.
Lusi menunduk, melihat kedua telapak tangannya yang tadi digunakan untuk memasak dengan harapan kecil agar diterima. Tapi yang ia dapat hanyalah makian, lemparan piring, dan rasa malu yang dalam.
“Kenapa aku dibenci… padahal aku tidak mengganggu siapa pun…” tangisnya kembali pecah.
Angin malam bertiup lebih kencang, membuat gaun tidurnya berkibar. Lusi memegang pagar balkon kuat-kuat, merasakan dingin metal masuk ke kulitnya. Rasanya hampir seperti mengingatkan bahwa ia masih hidup.
Namun benaknya penuh gelap.
“Aku cuma istri muda… hanya untuk memenuhi kebutuhan pria tua…” suaranya retak, seperti kaca yang pecah. “Aku cuma objek. Boneka. Barang yang dibeli… bukan orang…”
Ia melipat tubuhnya, berjongkok di sudut balkon sambil menangis sejadi-jadinya.
“Apa aku tidak pantas bahagia…?” suaranya bergetar parah. “Apa salahku sampai aku harus hidup begini…?”
Ia memeluk lututnya. Udara malam membuat kulitnya menggigil, tetapi lebih dingin lagi adalah perasaan putus asa yang merambat di hatinya.
Tangannya menutupi wajah yang basah. Ia menangis lebih keras, hingga suara itu nyaris hilang tertelan hembusan angin.
Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang mencari. Tidak ada yang mempertanyakan ke mana perginya istri baru Gerald.
Di rumah besar ini, Lusi hanyalah bayangan yang tidak dianggap ada.
Sementara itu, di balik dinding kamar sebelah… seseorang mendengar.
Langkah kaki berhenti tepat di depan balkon kamar lain—balkon kamar Yunita. Seseorang berdiri di sisi lain, memandangi kegelapan dengan rahang mengeras.
Gevan.
Ia tidak keluar untuk mencari Lusi. Tidak. Ia hanya keluar untuk mengambil udara malam setelah emosi meledak selama makan malam. Namun suara isak Lusi yang terputus-putus dari balkon sebelah tidak bisa ia abaikan.
Ia memejamkan mata, wajahnya tegang.
Tapi batinnya berkata berbeda.
Aku benci dia… tapi kenapa suaranya… terdengar seperti itu…
Gevan mengatupkan gigi, menolak rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul di dadanya.
Dia tidak boleh goyah. Tidak boleh merasa iba. Lusi bukan korban dalam pikirannya—dia ancaman bagi ibunya.
Namun semakin ia mencoba menutup telinga, suara tangisan itu semakin menusuk.
Sementara Lusi… tidak tahu apa pun.
Gadis itu masih terisak hebat, menggumamkan hal yang tidak pernah ia ucapkan pada siapa pun.
“Apa aku pantas hidup…?”
Tangannya mengepal, bibirnya gemetar.
“Kalau dunia tidak butuh aku… lalu apa gunanya aku di sini…?”
Tangisan kembali pecah, lebih keras, lebih putus asa.
Ia tidak tahu bahwa kata-kata itu… merobek sesuatu dalam diri seseorang di balkon sebelah.
Gevan membuka mata, tatapannya kosong.
Ia menatap ke arah suara tangisan yang terabaikan… memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya ia pikirkan.
Dan Lusi?
Ia terus menangis sambil memohon pada langit yang tidak menjawab…
“Kenapa aku harus hidup dalam ketidakadilan…? Kenapa… aku harus jadi seperti ini…?”
Malam itu panjang. Sangat panjang.
Dan untuk pertama kalinya… rumah besar Orion terasa seperti penjara bagi dua orang sekaligus.