Langkah-langkah sepatu dokter dan dua perawat terdengar menggema di lorong panjang rumah itu. Lusi berdiri kaku di balik dinding dekat ruang keluarga, memegang sapu yang sudah tidak ia gunakan lagi sejak lima menit lalu. Dadanya naik turun, mencoba mengatur napas ketika melihat para tenaga medis itu melewati dirinya.
Salah satu pelayan, Rani, yang sejak tadi mengawasi gerak-gerik Lusi, mendekat pelan. Suaranya berbisik lirih.
"Mereka memang datang dua kali seminggu. Untuk memeriksa Nyonya Yunita. Sudah sejak lama."
Lusi mengangguk pelan, matanya mengikuti rombongan kecil itu menuju kamar utama. Jari-jarinya gemetar. Ada rasa penasaran yang mencubit-cubit, ingin tahu kondisi wanita yang dulu dikenal anggun dan lembut itu. Namun, di sisi lain, ada rasa takut yang menggumpal. Takut jika Gevan menemukan dirinya, lalu melontarkan kata-kata pedas yang membuat jantungnya serasa ditusuk.
Meski begitu, langkah Lusi tidak bisa berhenti. Tubuhnya bergerak sendiri mengikuti dari jauh, seperti ada sesuatu yang menuntunnya untuk melihat kebenaran.
Lorong menuju kamar utama terasa panjang sekali. Seperti tidak pernah berakhir. Setiap langkah yang ia ambil dipenuhi kecemasan. Tangannya berkeringat dingin, giginya sedikit bergemeletuk, dan lututnya nyaris goyah.
Pelayan lain yang sedang membawa setumpuk handuk melirik Lusi.
"Mbak Lusi, kalau mau lihat, lihat saja. Yang penting jangan terlalu dekat kalau Mas Gevan sedang di sana."
Lusi menelan salivanya. Ia mendekat beberapa langkah lagi, berdiri tepat di samping pintu yang sedikit terbuka. Dari celah itu, ia melihat sekilas dokter sedang mengecek alat-alat pengukur tekanan darah dan pernapasan. Perawat mengatur posisi bantal Yunita agar lebih nyaman.
Yunita tampak sangat pucat. Pipi tirusnya seperti kertas putih, kulit tangannya membiru dingin, dan matanya setengah terbuka dengan tatapan kosong. Suatu pemandangan yang membuat Lusi ingin menangis lagi. Wanita itu tidak salah apa-apa. Dia hanya sakit. Namun hidup memperlakukannya sekejam itu, sama seperti hidup memperlakukan dirinya sekarang.
Hatinya mencelos. Ia menutup mulutnya agar isak yang muncul tiba-tiba tidak terdengar.
Namun begitu Lusi hendak mundur, tiba-tiba suara berat terdengar dari balik tangga.
"Apa yang kamu lakukan di situ?"
Lusi membeku. Nafasnya berhenti seketika. Suara itu… suara Gevan.
Ia menunduk cepat, takut menatap langsung pria itu.
"A-aku… hanya lewat…"
"Berhenti bohong." Suara Gevan merendah namun tajam. "Kamu sedang mengintip."
Lusi menggeleng. Tangan kecilnya meremas ujung baju. "Tidak… aku hanya…"
"Sudah kubilang jangan mendekati kamar Ibu," potong Gevan lagi, langkahnya makin mendekat. "Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu pikir aku tidak melihat kamu berkeliaran semenjak dokter datang?"
Lusi menelan ludah. Ketakutan itu membuatnya sulit bicara. "Aku… hanya ingin tahu apakah beliau baik-baik saja…"
"Bukan urusanmu." Tatapan Gevan menusuk, membuat punggung Lusi kaku. "Sekarang, mundur."
Lusi mundur perlahan, kepala tertunduk. Belum sempat ia melangkah jauh, suara pintu kamar utama terbuka lebih lebar. Dokter keluar sambil mengemasi alat-alatnya.
Gevan langsung menghampiri.
"Bagaimana kondisi Ibu?"
Dokter menghela napas. "Masih stabil, tapi… beliau mengalami penurunan kesadaran. Mungkin nanti akan semakin sering tertidur lebih lama."
Lusi mendengar itu dari jauh. Hatinya semakin remuk.
"Obatnya tetap sama, ya, Dok?" tanya Gevan.
"Ya. Tolong dipastikan jangan ada stres atau suara keras di kamar Nyonya Yunita. Kondisi emosional bisa memicu kejang."
Gevan mengangguk. "Saya mengerti."
Lusi menggigit bibir bawahnya. Ia merasa seolah ikut menanggung beban itu. Meski ia adalah orang asing di rumah ini, namun melihat seorang wanita yang dulu begitu dihormati kini hanya terbaring, membuatnya tak sanggup.
Setelah dokter pergi, suasana rumah kembali sunyi.
Lusi berbalik hendak menuju kamarnya, namun suara Gevan lagi-lagi menghentikan langkahnya.
"Kamu."
Lusi menahan napas. "Iya…?"
"Jangan pernah masuk ke area kamar Ibu lagi. Jangan mendekat. Jangan mengintip. Jangan mencampuri urusan yang bukan urusanmu. Paham?"
Lusi mengangguk cepat. "Aku paham…"
"Lakukan saja tugasmu di rumah ini. Selebihnya, jangan memancing masalah."
Ada jeda, lalu Gevan menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki, tatapannya dingin seolah sedang menilai seorang kriminal.
"Tidak ada seorang pun di rumah ini yang ingin kamu menunjukkan kepedulianmu. Jadi berhenti berpura-pura seolah kamu peduli. Kamu di sini bukan karena hatimu. Kamu di sini karena uang."
Kalimat itu menusuk tepat di jantung Lusi.
Ia menunduk semakin dalam. Bibirnya bergetar.
"Maaf…"
Gevan mendengus. "Kalau kamu benar-benar ingin minta maaf, lakukan satu hal saja. Jangan muncul di depan Ibu lagi."
Lusi tidak bisa menjawab. Ia hanya mengangguk, lalu berlalu dengan langkah kecil yang terasa seperti membawa beban satu dunia.
Begitu ia masuk kamar, pintu langsung ditutup. Bahunya bergetar hebat, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia hendak duduk di lantai, namun tubuhnya langsung ambruk, bersandar pada pintu.
Ia memeluk lututnya, menggigit lengan bajunya agar tangisnya tidak terdengar para pelayan.
Namun semakin ia mencoba menahan, semakin besar rasa sesak yang menekan dadanya.
Ia menangis lagi, memikirkan banyak hal.
Ia bukan orang jahat. Ia tidak ingin menyakiti siapa pun. Ia hanya terjebak. Terhimpit kebutuhan. Terpaku pada hutang yang harus dilunasi. Gerald menawarkan jalan keluar, dan ia—dengan bodohnya—mengambil itu meski ia tahu hidupnya tidak akan lagi sama.
Sekarang, ia harus tinggal di rumah yang bukan miliknya.
Berbaur dengan keluarga yang membencinya.
Menghadapi seorang anak lelaki yang melihatnya seperti racun.
Dan tidur setiap malam dengan pria tua yang tidak ia cintai.
Hidupnya kini bukan lagi miliknya. Hidupnya menjadi milik keadaan.
Bahkan untuk sekadar menatap seorang wanita sakit pun ia dianggap punya niat buruk.
Lusi mengusap air matanya lagi dan lagi, namun tidak ada habisnya.
Ia bertanya dalam hati, berkali-kali:
Sampai kapan aku harus begini?
Sampai kapan aku harus hidup seperti ini?
Apakah tidak ada orang yang akan melihat aku sebagai manusia?
Apakah tidak ada orang yang akan percaya kalau aku tidak sejahat itu?
Tetapi ia tahu… jawaban itu tidak akan datang hari ini.
Dan esok, ia harus menghadapi rumah ini lagi.
Gevan lagi.
Gerald lagi.
Hidup yang bukan miliknya lagi.
Namun di tengah semua itu, ada sesuatu yang tidak disadarinya…
bahwa perlahan-lahan, kehadirannya di rumah ini mulai memengaruhi sesuatu dalam diri Gevan, meski Gevan sendiri tidak ingin mengakuinya.
***
Lusi mengusap wajahnya yang masih basah oleh air mata ketika terdengar suara langkah kaki yang berat di luar pintu. Langkah itu tidak teratur, hampir seperti menyeret kaki. Diikuti suara napas berat dan gumaman tidak jelas. Aroma alkohol yang menusuk tercium bahkan sebelum pintu dibuka.
Pintu kamar berderit pelan, lalu Gerald masuk dengan tubuh goyah. Kemejanya kusut, rambutnya acak-acakan, dan matanya merah penuh garis-garis lelah. Tubuh besar dan tuanya hampir limbung saat memegang gagang pintu.
"Lusi…" suara Gerald serak, sedikit terbata. "Kamu di sini…"
Lusi menegang. Tangannya refleks meremas ujung selimut. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena cinta atau rindu, tetapi karena ketakutan yang menguap dari segala arah. Bau alkohol semakin kuat setiap kali Gerald melangkah mendekat.
Gerald tersenyum samar, senyum yang membuat kulit Lusi merinding ketakutan. Pria itu berjalan pelan, namun langkahnya melebar tak stabil. Ketika jaraknya tinggal beberapa langkah, Lusi bangkit berdiri dengan cepat.
"Tolong… jangan dekat," ucap Lusi lagi, suaranya kecil tapi tegas.
Gerald memiringkan kepala, matanya menyipit, seolah sedang mencoba memahami kata-kata Lusi yang melayang-layang di kepalanya.
"Lusi… kamu istriku sekarang," gumam Gerald sambil meraih tangan Lusi. Gerakan itu cepat, meski goyah.
Lusi mundur beberapa langkah, namun Gerald lebih cepat. Tangan kekarnya berhasil menggapai pergelangan tangan Lusi dan menariknya mendekat. Tubuh mereka hampir bertabrakan.
"Jangan…" Lusi menggeleng cepat, suaranya pecah. "Aku tidak bisa… aku tidak mau…"
Kenangan malam-malam sebelumnya yang membuat dirinya trauma muncul kembali di kepala. Malam-malam ketika ia tidak berdaya melawan keinginan pria yang sebenarnya tidak pernah ia cintai. Semua dilakukan demi hutang. Demi keselamatan keluarganya. Demi uang yang menjeratnya.
Gerald mendekat, mencoba memeluk Lusi. Nafasnya yang bau alkohol terasa panas di telinga Lusi.
"Sudahlah, Lusi… kamu tidak usah malu-malu. Kamu istriku. Kamu harus menemaniku… aku butuh kamu malam ini."
Lusi membeku, lalu dengan cepat memiringkan tubuhnya, menghindari pelukan itu. Gerald kehilangan keseimbangan, hampir jatuh menabrak meja kecil di sebelah ranjang. Bunyi gelas air yang terguling membuat suasana kamar semakin kacau.
"Kenapa kamu terus menghindar?" tanya Gerald dengan suara semakin berat. "Kamu istriku. Kamu harus menjalankan tugasmu sebagai istri!"
Lusi menggigit bibirnya yang bergetar. "Aku sedang tidak bisa… aku benar-benar tidak bisa. Tolong… jangan paksa."
Gerald terdiam sejenak. Namun tatapan matanya berubah. Ada kemarahan yang perlahan muncul, bercampur dengan ego seorang lelaki yang merasa diabaikan oleh istri mudanya.
"Apa kamu merasa terlalu suci untuk aku?" sergah Gerald. "Apa kamu pikir aku tidak layak? Atau… apa kamu menunggu pria lain?"
Lusi menggeleng cepat. "Tidak! Bukan begitu! Aku hanya… aku takut… aku tidak siap…"
Gerald berjalan mendekat lagi. Tangannya mencoba meraih pipi Lusi namun Lusi memundurkan wajahnya. Ketakutan itu begitu jelas, membuat Gerald semakin frustrasi.
"Lusi," katanya lagi, suara menjadi lebih keras, "aku sudah membayar semua hutang keluargamu. Kamu berjanji pada ayahmu. Kamu setuju menjadi istriku. Kenapa kamu selalu menghindar dariku?"
Lusi merasakan dadanya sesak. Kata-kata itu menusuk lebih dari yang seharusnya.
Karena aku terjebak.
Karena aku tidak pernah mencintaimu.
Karena aku hanya barang yang kamu beli.
Karena hidupku bukan lagi milikku.
Tapi ia tidak bisa mengucapkan itu. Tidak mungkin.
Dengan suara lemah, ia hanya berkata, "Aku mohon… biarkan aku malam ini. Aku takut… aku benar-benar takut…"
Gerald menghela napas panjang, lalu membanting tubuhnya ke kursi di sudut ruangan. Kepalanya ia pegang dengan kedua tangan. Sesaat, kamar itu dipenuhi keheningan berat. Hanya napas kasar Gerald dan isakan tertahan Lusi yang terdengar.
Lama sekali Gerald duduk seperti itu, diam, sambil menahan emosinya yang mengaduk-aduk karena alkohol.
Kemudian, tanpa peringatan, ia berdiri lagi.
Lusi menegang.
Gerald berjalan mendekat, tetapi kali ini gerakannya lebih lamban. Ia tidak memaksa. Ia hanya berdiri di depan Lusi, menatapnya dengan mata yang lelah dan kacau.
"Kalau kamu terus seperti ini…" katanya dengan suara rendah, "...nanti aku benar-benar tidak bisa menahan diri."
Lusi menahan air mata. Ketakutan itu mengikat seluruh tubuhnya.
Gerald menatapnya lama, kemudian membalikkan badan tanpa bicara lagi. Ia berjalan terseok menuju pintu. Saat membuka pintu, ia sempat berhenti sejenak, menoleh sedikit.
"Besok… kamu harus belajar bersikap sebagai istriku."
Setelah itu pintu ditutup dengan keras.
Lusi jatuh terduduk di lantai. Tangannya menutupi wajah. Nafasnya tersengal. Tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan, rasa jijik, rasa tidak berdaya, semuanya bercampur menjadi satu.
Ia merasa dunia menelannya hidup-hidup.
Ia menangis lama sekali, hingga matanya memerah dan suaranya hampir hilang. Setelah itu, ia merangkak ke ranjang dalam keadaan lelah, namun tidak berani tidur. Ia hanya memeluk tubuhnya sendiri sambil menatap gelapnya kamar.
Di luar sana, di lorong, langkah seseorang berhenti tepat di depan pintu kamarnya.
Diam.
Tidak bergerak.
Tidak mengetuk.
Tidak bicara.
Seperti sedang mendengar atau mengawasi.
Lusi membeku, menahan napas.
Pintu tidak dibuka—tapi kehadiran itu terasa jelas.
Gevan.
Ia pasti mendengar semuanya.
Apa yang akan terjadi besok?
Lusi tidak tahu.
Tapi ia tahu satu hal…
Besok tidak akan lebih mudah.
Besok mungkin lebih gelap.
Besok mungkin ia harus menghadapi kemarahan Gevan… dan tuntutan Gerald… dan kenyataan pahit yang tidak pernah berubah.