Lusi duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya, menatap kosong ke arah pintu yang tadi sempat terdengar langkah seseorang. Tubuhnya masih gemetar setelah kejadian dengan Gerald. Udara kamar terasa dingin, namun kedinginan itu tidak ada apa-apanya dibanding beku yang merayapi hatinya.
Pelan-pelan pikirannya mulai berkelana. Mencari sesuatu untuk melupakan rasa takut yang menghantuinya. Dan justru pikiran itu menggiringnya kembali ke masa lalu… ke tempat ia tidak pernah menyangka akan kembali: kenangan tentang laki-laki yang kini membencinya setengah mati.
Gevan.
Nama itu saja membuat dadanya terasa sesak.
Ia memejamkan mata, membiarkan kilasan masa lalu mengalir…
Dan semuanya dimulai di sebuah kafe kecil di pusat kota tiga tahun lalu.
TIGA TAHUN LALU
Kafe tempat Lusi bekerja bukan kafe mewah. Hanya bangunan kecil dengan interior kayu sederhana, lampu kuning hangat, dan aroma kopi yang selalu memenuhi udara. Tempat itu selalu ramai pada sore hari, tempat banyak mahasiswa dan pekerja kantoran melepaskan lelah.
Waktu itu, Lusi masih gadis polos berusia 20 tahun. Rambutnya selalu diikat rapi, dan ia bekerja keras sepanjang hari karena harus membantu orang tuanya melunasi sebagian kecil hutang keluarga. Gajinya tidak besar, namun ia selalu tersenyum setiap melayani pelanggan.
Kini, mengingat hal itu saja membuat hatinya terasa perih.
Hari itu, kafe sedang ramai. Lusi membawa nampan berisi empat gelas minuman dingin ke meja pelanggan. Di sudut kafe, sekelompok lelaki terlihat duduk sambil tertawa keras. Mereka tampak seperti anak orang kaya: pakaian rapi, jam tangan mahal, mobil mewah di parkiran.
Dan di antara mereka… ada satu yang tidak bisa Lusi lupakan.
Gevanno Orion.
Gevan waktu itu berusia sekitar 24 tahun. Rambutnya sedikit panjang dan acak, tatapannya tajam namun santai, dan senyum tipisnya sering muncul karena lelucon teman-temannya. Aura percaya dirinya terlihat jelas meski ia hanya duduk santai bersandar di kursi.
Lusi tidak mengenalnya sama sekali, tetapi dari cara orang-orang memandangnya, pria itu jelas bukan orang biasa.
Lusi mendekat ke meja itu sambil memegang nampan.
"Permisi, Kak. Ini pesanannya…"
Namun langkah Lusi sedikit tergelincir karena lantai yang baru saja dipel oleh pelayan lain. Nampannya miring, gelas-gelas itu miring, dan segalanya seakan berjalan dalam slow motion.
Air dingin tumpah.
Salah satu gelas terjatuh ke lantai.
Dan sebagian minuman dingin mengenai baju seseorang…
Gevan.
Lusi membeku.
Oh tidak. Tidak. Tidak!
Ia panik, wajahnya langsung pucat, dan ia buru-buru menunduk.
“M-maaf! Aku benar-benar minta maaf! Aku tidak sengaja…”
Ia langsung menunduk sangat dalam, hampir gemetar. Bayangan dimarahi pelanggan atau bahkan dipecat dari pekerjaan langsung memenuhi kepalanya.
Namun, untuk pertama kalinya, ia mendengar suara Gevan dari jarak dekat.
Santai.
Tenang.
Sedikit mengejutkan.
"Hei, tidak apa-apa."
Lusi mengangkat kepala pelan.
Gevan menatapnya sambil tersenyum kecil, sama sekali tidak marah. Padahal bajunya basah, dan gelas jatuh meleletakkan suara keras.
“Serius. Tidak apa-apa,” katanya lagi, sambil menepuk-nepuk bajunya sendiri.
Teman-temannya bahkan bercanda, malah menertawakan Gevan yang basah, bukan menyalahkan Lusi. Salah satu bahkan berkata, “Wah, ketumpahan begini doang nggak ngaruh lah buat anak sultan kayak dia!”
Gevan hanya melirik temannya lalu kembali memandang Lusi.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya.
Pertanyaan itu membuat Lusi semakin gugup.
“A-aku yang harusnya nanya itu… maaf, Kak…”
Ia membungkuk lagi.
Namun Gevan menahan pundaknya pelan. Gerakannya halus, tidak memaksa.
"Sudah. Tidak usah membungkuk. Aku tidak marah."
Lusi merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Senyuman itu… tatapan itu… seolah membuat tubuhnya melemah sesaat. Ia belum pernah melihat pria yang tatapannya sesantai itu meski baru saja terkena minuman dingin.
"Namamu siapa?" tanya Gevan sambil menyandarkan tubuhnya.
Lusi terkejut.
"I-iya?"
"Namamu. Siapa?"
"Lusi… Lusi Arfiana…"
"Lusi, ya?" Gevan tersenyum tipis. "Cantik namanya."
Pipi Lusi memanas. Ia langsung menunduk, tidak berani menatap mata Gevan.
Sejak saat itu, semuanya berubah.
Gevan mulai sering datang ke kafe itu — bukan bersama teman-temannya lagi, tetapi sendirian. Ia selalu duduk di meja yang sama, selalu memesan minuman yang sama, dan selalu menatap Lusi diam-diam setiap gadis itu sibuk melayani pelanggan.
Awalnya Lusi mengira itu hanya kebetulan.
Tetapi setelah seminggu, dua minggu, sebulan… ia mulai menyadari sesuatu.
Pria itu tertarik padanya.
Dan perlahan… Lusi juga mulai menyukai perhatian itu.
Hari demi hari, pertemuan-pertemuan kecil itu membuat hubungan mereka semakin dekat. Gevan sering menggoda Lusi dengan kalimat-kalimat ringan.
“Kalau kamu terus sibuk begitu, bisa-bisa aku pura-pura haus setiap lima menit biar kamu datang ke mejaku.”
Atau—
“Hari ini kamu terlihat lebih capek dari kemarin. Ada yang ganggu tidurmu? Atau aku harus beliin vitamin?”
Lusi selalu tersipu, tidak terbiasa diperlakukan seperti itu.
Tidak ada yang pernah memperlakukannya seperti seorang gadis istimewa.
Tidak ada yang pernah memperhatikannya setulus itu.
Gevan juga tidak pernah memaksa. Ia selalu menunggu hingga Lusi selesai bekerja untuk sekadar ngobrol di depan kafe. Kadang mereka berbicara tentang musik, film, atau sekadar tentang cuaca malam itu.
Dan perlahan… Lusi jatuh cinta.
Gevan pun jelas memperlihatkan perasaannya.
Sampai suatu malam, saat kafe sudah tutup, Gevan menunggu Lusi di depan pintu sambil bersandar pada mobilnya yang hitam dan elegan.
Ketika Lusi keluar, ia tersenyum dan berjalan mendekat.
“Lusi,” katanya pelan, “boleh aku antar pulang?”
Lusi menggeleng cepat. “Tidak perlu! Rumahku jauh… dan tempatmu pasti tidak searah…”
“Aku tidak keberatan jauh,” jawab Gevan. “Aku cuma ingin memastikan kamu sampai rumah dengan aman.”
Itulah malam pertama mereka benar-benar bicara serius.
Di dalam mobil, suasana malam terasa hangat. Lampu jalan memantul di kaca, dan suara radio mengisi keheningan ringan.
Gevan akhirnya berkata, “Aku suka kamu.”
Sederhana. Jujur. Tanpa permainan.
Dada Lusi langsung berdebar. Tangannya yang di pangkuan gemetar sedikit.
“A-aku…”
“Kamu tidak perlu jawab sekarang,” kata Gevan lembut. “Aku cuma ingin kamu tahu.”
Dan hari itu menjadi awal dari hubungan mereka.
Hubungan yang:
• tidak pernah diketahui publik,
• tidak disukai keluarga Gevan,
• dan tidak pernah dibayangkan Lusi akan berakhir seburuk ini.
Kini, duduk di kamar mewah rumah keluarga Orion, Lusi merasakan semuanya runtuh.
Dulu Gevan yang lembut itu sering mengatakan hal-hal kecil untuk menenangkannya.
Sekarang… Gevan bahkan tidak mau melihat wajahnya tanpa marah.
Dulu Gevan yang sering melindungi dirinya.
Sekarang… Gevan adalah ancaman yang paling ia takuti setelah Gerald.
Air mata mengalir lagi di pipi Lusi.
Ia menutup wajahnya, tubuhnya bergetar.
Bagaimana bisa pria yang dulu begitu lembut berubah menjadi sosok yang membencinya setengah mati?
Bagaimana bisa cinta itu bernasib sekejam ini?
Bagaimana bisa nasib mempermainkannya hingga ia jatuh menjadi… istri ayahnya sendiri?
Pertanyaan itu membuat dadanya semakin sesak.
Dan kilas balik itu tidak berakhir di situ.
Masih ada banyak kenangan yang akan kembali, baik yang manis maupun yang menyakitkan…
**
Lusi berhenti di ambang pintu dapur. Teko kosong yang ia bawa terasa dingin di tangannya, tapi tubuhnya sendiri justru memanas karena rasa gugup yang tiba-tiba menyerang. Ia tidak menyangka bahwa pada jam segelap ini, ketika semua orang seharusnya sedang tidur, seseorang akan duduk di meja makan dengan lampu dapur redup menyala.
Dan orang itu adalah Gevan.
Ia duduk dengan posisi sedikit membungkuk, satu tangan memegang gelas whisky yang hampir kosong, sementara tangan lainnya menggenggam permukaan meja. Rambutnya acak-acakan, wajahnya datar, tapi tatapan matanya terasa menusuk seperti pisau dingin yang ditempelkan ke kulit.
Lusi menahan napas. Ingin berbalik. Ingin kembali ke kamar dan berpura-pura tidak pernah turun.
Tapi langkahnya sudah telanjur terdengar, dan mata itu menoleh padanya.
Tatapan Gevan seolah membekukan udara.
Lusi menunduk cepat-cepat, takut salah bergerak. Jantungnya berdegup semakin kencang, memukul-mukul dinding dadanya dengan keras.
Ia hanya ingin minum. Ia hanya ingin mengisi teko. Ia hanya ingin sedikit air untuk menenangkan tenggorokan yang kering, bukan bertemu dengan masa lalunya yang membenci keberadaannya.
Gevan menegakkan tubuh pelan, menatap Lusi tanpa berkedip.
"Apa yang kau lakukan di bawah jam segini?"
Lusi menelan ludah dengan susah payah sebelum menjawab pelan.
"Teko di kamar saya kosong. Saya hanya ingin mengisi air."
Gevan mengangkat gelas whisky itu, menatap cairan kuning di dalamnya, lalu mengarahkannya ke bibir. Ia meneguk sedikit, mengembuskan napas pendek. Kemudian meletakkan gelas itu dengan suara keras di atas meja, membuat Lusi terlonjak.
"Jadi hanya itu?" suara Gevan datar, dingin. "Bukan karena kau sedang ingin bertemu Ayahku?"
Lusi hampir tersedak oleh kata-kata itu. Tubuhnya kaku, matanya memanas, dan rasa malu merayap di kulitnya.
"Ti-tidak, Gevan. Saya tidak berniat apapun."
Gevan mengangkat sebelah alis, menyeringai tanpa benar-benar tersenyum.
"Berhenti. Aku muak mendengar alasanmu."
Lusi langsung diam. Pandangannya turun ke lantai, kedua tangannya bergetar kecil.
Sejenak, keheningan memenuhi ruangan. Hanya suara detak jam di dinding dan dengung kulkas yang terdengar samar.
Gevan menatapnya lama, sangat lama, seakan memeriksa seluruh bagian dari perempuan itu. Seakan sedang mencari sesuatu yang entah apa. Sesuatu yang tersisa dari masa lalu mereka.
"Ayahku tidak akan pulang malam ini," ujar Gevan akhirnya, suaranya rendah.
Lusi mengangkat wajah sedikit, menunggu.
"Dia sedang berada di hotel. Dengan wanita lain."
Dunia Lusi tiba-tiba terasa seperti runtuh dari bawah kakinya. Napasnya terhenti sesaat.
"Ada… wanita lain?" bisiknya, hampir tidak terdengar.
Gevan tersenyum miring, tetapi tidak ada sedikit pun kehangatan dalam senyum itu.
"Kau pikir selama ini Ayahku hanya menginginkanmu? Dia tidak pernah berubah. Dia selalu memiliki wanita lain. Dan dia tidak akan berhenti."
Lusi menggigit bibir bawahnya, rasa sesak menyelimuti dadanya. Rasanya ingin berteriak, ingin menangis, ingin melarikan diri ke mana pun yang jauh dari sini. Namun kedua kakinya justru menancap kuat di lantai, tak bisa bergerak.
Kata-kata Gevan berikutnya jatuh seperti palu besar menghancurkan kerapuhan Lusi.
"Kau harusnya bersyukur dia tidak ada malam ini. Setidaknya kau bisa tidur tanpa harus melayaninya. Besok atau lusa dia akan kembali, dan saat itu jangan pernah kutahu kau menolak lagi."
Lusi menunduk lebih dalam. Air matanya hampir jatuh.
"Gevan… a-ku…"
"Aku bilang berhenti bicara."
Suara itu menusuk, membuatnya betul-betul membisu. Lusi memejamkan mata, menahan tangis yang ingin pecah.
Gevan berdiri perlahan. Kursinya bergeser, menimbulkan suara seret yang membuat bulu kuduk Lusi berdiri. Ia melangkah mendekat, setiap langkah terdengar jelas di ruang yang hening itu.
Ketika ia berhenti tepat di depan Lusi, perempuan itu merasakan tubuhnya bergetar hebat. Ia tak berani mengangkat kepala. Tak berani bernapas terlalu keras.
Gevan menundukkan sedikit wajahnya, suaranya sangat dekat.
"Kau yang memilih jalan ini, Lusi."
Lusi menggeleng kecil, suaranya tercekat.
"Saya tidak punya pilihan…"
"Tutup mulutmu," potong Gevan. "Jangan membuatku mengingat masa lalu yang sudah seharusnya mati. Kau menikahi Ayahku, kau menerima semuanya. Kau bukan korban."
Kalimat itu seperti belati yang menusuk lurus ke jantung Lusi.
Ia tidak tahu apa lagi yang harus dikatakan. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Yang ia tahu hanya satu: ia semakin menyadari betapa sendirian dirinya di rumah besar ini.
Gevan menarik napas berat, seperti menahan kemarahan yang sudah lama disimpan.
"Kau membuatku muak," katanya perlahan. "Makin aku melihatmu, makin aku ingat betapa harga diriku pernah kau hancurkan."
Lusi menutup mata rapat-rapat, seakan itu bisa menghilangkan rasa sakit dari kata-kata itu.
Gevan berjalan melewatinya, bahunya sedikit menyenggol bahu Lusi. Perempuan itu goyah, hampir kehilangan keseimbangan.
Tapi sebelum benar-benar pergi, Gevan berhenti di belakangnya dan berkata tanpa menoleh.
"Isi airmu. Lalu kembali ke kamar. Dan berhenti berharap sesuatu dariku. Kau bukan apa-apa lagi."
Kemudian ia berjalan menuju pintu keluar, meninggalkan Lusi yang berdiri sendirian di dapur dengan teko kosong di tangan, tenggorokan masih kering, dan hatinya terasa lebih hancur daripada sebelumnya.