Pagi itu rumah keluarga Orion terasa hening seperti rumah kosong yang kehilangan jiwanya. Matahari baru naik di balik pepohonan besar halaman depan, namun suasananya dingin dan menyesakkan. Tidak ada suara tawa, tidak ada kehangatan. Yang ada hanya rasa asing yang menempel di dinding-dinding rumah.
Lusi membuka matanya dengan tubuh lelah, kepala berat, dan perasaan kacau. Semalaman ia tidak bisa tidur dengan tenang. Bayangan wajah Gerald yang memaksanya, suara Gevan yang menghina, serta kondisi Mama Gevan yang lumpuh terus berputar di kepalanya.
Ia ingin pulang.
Hanya sebentar.
Hanya melihat ibunya.
Hanya memastikan ayahnya baik-baik saja.
Ia sudah terlalu lama terjebak di rumah yang bukan rumah, di kehidupan yang tidak pernah ia inginkan.
Dengan langkah pelan, ia bangkit dari ranjang dan menarik napas panjang sebelum membuka pintu kamar. Mungkin, jika ia bicara baik-baik, Gevan akan membiarkannya pergi… hanya dua atau tiga jam saja.
Harapan kecil itu membuatnya memberanikan diri turun ke lantai bawah.
Namun langkahnya langsung terhenti di ujung tangga.
Gevan ada di sana.
Berdiri di ruang tamu dengan kemeja hitam yang sangat rapi, wajahnya datar seperti batu yang dingin. Rambutnya disisir ke belakang, membuat garis wajah tegasnya terlihat jelas. Aura dingin dari pria itu memenuhi ruangan dan membuat Lusi otomatis gemetar.
Tapi ia tidak punya pilihan lain.
Lusi memberanikan diri.
"Gevan… aku ingin bicara sebentar."
Gevan menoleh perlahan.
Tatapan matanya langsung menusuk, penuh kebencian dan penghinaan yang bahkan tidak ia sembunyikan.
"Apa lagi sekarang?"
Lusi menggenggam jemarinya yang dingin. Napasnya naik turun, tapi ia memaksa diri bicara.
"Aku ingin pulang sebentar ke rumah orang tuaku. Tidak lama, mungkin dua atau tiga jam. Aku ingin melihat ibu. Aku janji akan kembali sebelum siang."
Gevan tidak langsung menjawab.
Ia malah tertawa pendek—tawa sinis yang membuat hati Lusi mencelos.
"Kau ingin pulang?" katanya pelan, seperti mengulang pertanyaan bodoh.
"Iya… sebentar saja. Hanya itu."
Gevan mendekat satu langkah, membuat jarak mereka menyusut. Lusi menelan ludah gugup, tapi tidak beranjak.
"Kau berpikir kau tinggal di rumah yang bisa kau tinggalkan semaumu?" ucap Gevan, suaranya dingin.
"Kau pikir kau bisa keluar masuk seperti orang bebas?"
"Aku tidak akan lari," jawab Lusi cepat. "Aku akan kembali."
"Aku tidak tanya kau kembali atau tidak."
Gevan menyipitkan mata.
"Aku tanya siapa yang memberi kau izin keluar?"
Lusi terdiam.
Ia tahu jawaban itu tidak ada.
"Ayahku membayarmu. Sangat mahal," lanjut Gevan.
"Sampai detik ini kau masih berhutang pada keluarga ini. Dan kau pikir kau bisa seenaknya minta pergi?"
"Aku hanya ingin melihat ibu…"
"Diam."
Kalimat itu seperti cambuk.
Lusi menutup mulutnya.
Gevan memandangnya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tatapan penuh jijik dan kemarahan lama. Semua masa lalu mereka membuat kebencian itu semakin kelam.
"Ayahku sedang tidak di rumah," katanya pelan namun tegas.
"Dan hari ini aku yang ambil alih semuanya."
Lusi menghela napas, sedikit berharap.
Tapi harapan itu padam detik berikutnya.
"Kau tidak akan kemana-mana."
"Gevan, aku mohon—"
"Aku bilang tidak."
Lusi mengepalkan tangannya, menahan tangis. Ia mencoba bicara sekali lagi.
"Hanya sebentar. Aku janji tidak akan—"
"Aku bilang TIDAK, Lusi."
Suara Gevan meninggi sedikit.
Hatinya hancur.
Beberapa pelayan di sekitar ruangan menunduk, tidak berani ikut campur.
Lusi memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali dengan suara bergetar.
"Gevan… aku tidak akan lari. Aku hanya ingin—"
"Kau ingin pulang?" potong Gevan cepat.
"Kalau begitu buktikan dulu kau pantas dapat izin."
Lusi mengangkat wajah, bingung.
"B-buktikan?"
"Ya. Hari ini kau bekerja."
Lusi tidak mengerti.
Gevan menunjuk ke arah pintu belakang rumah.
"Halaman belakang penuh rumput liar. Semua harus dicabut. Satu per satu. Sampai bersih."
Lusi menatapnya tak percaya.
"Kenapa aku…?"
"Karena aku bilang begitu."
"Tapi itu banyak sekali…"
"Kalau kau ingin keluar rumah, lakukan itu dulu," kata Gevan dingin.
"Atau… mau kuhubungi Ayah dan kubilang kau ingin kabur?"
Jantung Lusi langsung jatuh ke dasar perut mendengar ancaman itu. Ia tahu Gerald tidak akan tinggal diam jika mendengar hal seperti itu.
"Aku… aku tidak bermaksud kabur," katanya lemah.
"Lalu lakukan saja apa yang kusuruh."
Lusi menggigit bibir. Air matanya menumpuk, tapi ia menahannya sekuat tenaga. Tidak ingin terlihat lemah.
"A… aku mengerti."
Gevan langsung memalingkan wajah, seolah tidak peduli lagi.
"Bagus. Mulai sekarang. Tidak usah bicara lagi."
---
Lusi berjalan perlahan ke belakang rumah. Begitu ia membuka pintu kaca besar itu, bau tanah lembap langsung menyambutnya. Matahari pagi menyengat kulitnya, namun bukan itu yang membuatnya lemas… melainkan hamparan rumput yang memenuhi seluruh halaman belakang keluarga Orion.
Rumput itu banyak.
Sangat banyak.
Hampir seluas lapangan mini.
Ia harus mencabut semuanya… dengan tangan.
Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
Ini bukan pekerjaan.
Ini hukuman.
Lusi berlutut, lalu mulai mencabut rumput satu per satu. Jemarinya langsung sakit, kukunya tergores tanah dan kerikil kecil. Tapi ia terus melanjutkan.
Satu jam berlalu.
Dua jam berlalu.
Tiga jam…
Tangannya memerah, lututnya lecet, punggungnya sakit ketika membungkuk terlalu lama.
Namun ia masih belum menyelesaikan bahkan seperempat halaman.
Pelayan hanya bisa melihat dari jauh. Beberapa merasa iba, tapi tidak ada yang berani menolong.
---
Sekitar tengah hari, pintu kaca terbuka.
Gevan melangkah keluar dengan segelas kopi di tangan. Ia berhenti tepat di dekat Lusi yang masih berlutut dengan tangan penuh tanah.
Lusi mendongak pelan, keringat bercampur debu di wajahnya.
"Belum selesai?" tanya Gevan dingin.
"Luasnya terlalu besar…" suara Lusi serak.
"Alasannya sudah kuduga," ucap Gevan sambil meniup kopi panasnya. "Cepat selesaikan. Kalau ingin pulang, kau harus bersihkan semuanya hari ini."
"Tapi… aku bisa pingsan kalau terus begini."
"Itu bukan urusanku."
Air mata Lusi kembali jatuh tanpa suara.
Gevan melihatnya, namun ekspresi wajahnya sama sekali tidak berubah.
Lusi menunduk lagi dan kembali mencabut rumput, meski tangannya sudah bergetar.
Gevan kemudian berkata:
"Kalau kau tidak sanggup, berarti kau juga tidak pantas pergi kemana-mana."
Kalimat itu menusuk seperti belati.
Dan setelah itu, Gevan berbalik masuk ke rumah tanpa memandang Lusi lagi.
***
Teriakan seorang pelayan perempuan dari halaman belakang memecah ketenangan siang hari itu. “Tuan! Tuan! Mbak Lusi pingsan!” Suaranya bergetar, panik, sampai-sampai keranjang yang ia bawa terjatuh dan isinya berserakan.
Pelayan lain yang sedang menyiram tanaman di sisi kiri rumah langsung menoleh, melihat Lusi tergeletak dengan tangan masih menggenggam rumput liar. Pelayan itu langsung melemparkan selang dan berlari menghampiri. “Astaga, Nyonya… Nyonya!”
Dua pelayan lain datang menyusul, wajah mereka panik, saling bertanya tanpa jawaban. Salah satu dari mereka berlutut di sisi Lusi dan memeriksa nadinya dengan tangan gemetaran. “Masih ada detaknya, tapi lemah sekali…”
Pelayan yang lain menepuk-nepuk pipi Lusi. “Mbak Lusi! Mbak! Tolong bangun…”
Namun Lusi tidak bergerak. Hanya dadanya yang naik turun pelan, kulitnya panas akibat matahari yang sejak pagi menyengat tubuhnya tanpa henti.
“Panggil Tuan! Cepat!” salah satu pelayan memerintah.
Salah seorang pelayan pria langsung berlari secepat mungkin masuk ke rumah. Suara langkah kaki terburu-burunya menggema di sepanjang lorong menuju ruang kerja Gevan.
Tidak sampai satu menit kemudian, terdengar suara tegas dari dalam rumah. “Ada apa ribut-ribut begitu?”
Gevan muncul dari pintu belakang. Wajahnya tidak panik—lebih ke jengkel karena keributan itu mengganggunya. Ia sedang mengurus laporan penting, dan kini harus menghadapi sesuatu yang menurutnya seharusnya tidak perlu terjadi.
Begitu melihat para pelayan mengerubungi tubuh Lusi di tanah, ekspresi Gevan menegang. Ia melangkah cepat, namun bukan dengan kekhawatiran yang tampak jelas—lebih seperti kewajiban untuk melihat sumber masalah.
“Apa yang terjadi?” suaranya datar, dingin.
Pelayan tertua menunduk dalam-dalam. “Tuan… Mbak Lusi pingsan. Beliau dari tadi mencabut rumput tanpa istirahat…”
Gevan mengerutkan dahi. “Pingsan?”
“Ya, Tuan,” jawab pelayan itu dengan suara kecil.
Gevan mendekat, berdiri di atas Lusi. Rambut Lusi berantakan, wajahnya memutih pucat, bibirnya kering, dan keringat membasahi seluruh wajahnya. Tangannya masih mencengkeram rumput liar seolah tubuhnya bahkan tidak sempat menyadari kelelahan sebelum benar-benar tumbang.
Gevan berdecak keras. “Menyusahkan.”
Pelayan yang mendengar itu hanya menunduk lebih dalam, tak berani menyahut, meski sebagian dari mereka merasa kasihan pada Lusi.
Satu pelayan memberanikan diri. “Tuan, sebaiknya Nyonya dibawa ke dalam dulu. Nanti kena panas lebih parah.”
Gevan hendak memerintahkan pelayan untuk mengangkat Lusi, namun ketika dua pelayan mencoba mengangkat tubuh Lusi, salah satunya hampir jatuh karena tubuh Lusi yang sepenuhnya lemas. Melihat itu, Gevan mendengus dan berjongkok sendiri.
Dengan gerakan tegas namun hati-hati, ia menyelipkan lengannya ke bawah tubuh Lusi dan mengangkatnya ke dalam gendongan. Para pelayan terlompat kaget, tidak menyangka Tuan mereka akan turun tangan sendiri.
“Singkir,” kata Gevan singkat sambil melangkah masuk.
Para pelayan langsung membuka jalan, mengikutinya dari belakang dengan cemas.
Gevan membawa Lusi masuk ke dalam rumah, melintasi ruang tengah menuju kamar tamu. Ia menurunkan tubuh Lusi ke atas kasur perlahan, meski wajahnya tetap tidak memperlihatkan kepanikan—hanya rasa kesal yang semakin tajam.
“Ambilkan air. Handuk dingin. Dan panggil dokter,” perintah Gevan.
“Ba-baik, Tuan!” para pelayan berserakan ke berbagai arah untuk menuruti perintahnya.
Tidak lama kemudian, seorang pelayan perempuan datang membawa baskom berisi air dingin dan handuk. Ia mulai mengusap wajah Lusi, menempelkan handuk dingin ke keningnya, sementara pelayan lain membuka jendela agar udara segar masuk.
Gevan bersandar di dinding, tidak duduk, hanya memperhatikan dalam diam. Tatapannya tetap dingin, namun ada sesuatu yang tidak jelas terbaca. Sesuatu yang bukan kepanikan, bukan pula kelembutan—lebih seperti ketidaksukaan karena keadaan ini memaksa Lusi terlihat selemah itu di hadapannya.
Setelah beberapa menit, jari-jari Lusi mulai bergerak pelan. Kelopak matanya bergetar, lalu terbuka sedikit, meski pandangannya buram.
Pelayan langsung merendahkan tubuhnya untuk memanggil. “Nyonya? Nyonya, apa bisa dengar saya?”
Lusi mengerang kecil. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lelah luar biasa. “Aku… kenapa…?”
Sebelum pelayan menjawab, suara Gevan terdengar mengisi ruangan. “Kamu pingsan.”
Lusi menoleh perlahan. Tatapannya bertemu dengan mata Gevan. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, tapi karena malu. Ia bahkan tidak bisa bangun sendiri.
Lusi mencoba bangkit, tapi tubuhnya goyah.
Pelayan cepat menahan. “Jangan dulu bangun, Nyonya. Istirahat saja dulu.”
Lusi tetap memaksa bangkit meski pelayan menahannya. “Aku… maaf… Gevan, aku—”
Gevan mendekat satu langkah. “Diam. Jangan banyak bicara.”
Lusi menunduk, napasnya pendek. “Aku tidak bermaksud… menyusahkan…”
Gevan menatapnya tajam, seolah kalimat itu justru membuatnya makin jengkel. “Kalau tahu akan pingsan, kenapa memaksa diri seperti orang bodoh begitu?”
Pelayan terkejut mendengar kalimat itu, tapi tak ada yang berani mengeluarkan suara.
Lusi menggigit bibirnya. “Aku… hanya ingin menyelesaikan tugas… supaya bisa pulang sebentar ke rumah orang tuaku.”
Gevan menatapnya lama tanpa berkata-kata. Pelayan yang berada di dekat jendela menelan ludah keras-keras. Suasana kamar menjadi tegang.
“Aku sudah bilang tidak boleh pergi,” jawab Gevan akhirnya, suaranya rendah tapi tajam. “Dan kamu malah memaksa diri sampai pingsan.”
Lusi menunduk lebih dalam. “Maaf…”
Pelayan perempuan yang memegang handuk akhirnya berkata pelan, “Tuan, mungkin Mbak Lusi butuh minum dulu.”
Gevan mengangguk kecil, lalu duduk di tepi ranjang. Ia mengambil gelas dari tangan pelayan, lalu menatap Lusi. “Minum.”
Lusi ragu menerima gelas itu, tapi Gevan menatapnya tanpa sabar. “Cepat.”
Dengan tangan gemetar, Lusi meminum sedikit demi sedikit. Setiap tegukan membuat tubuhnya sedikit lebih stabil, meski rasa sakit masih menyebar dari bahunya hingga ke kaki.
Setelah minum selesai, Gevan mengambil gelas itu kembali dan meletakkannya di meja samping tempat tidur.
“Mulai sekarang,” kata Gevan sambil berdiri, “kalau aku bilang tidak boleh, kamu cukup dengar.”
Lusi menggenggam selimut, matanya memerah. “Iya… Gevan.”
Namun Gevan tidak pergi. Ia hanya berdiri di sana, menatap Lusi yang lemah dan pucat, seakan ada sesuatu dalam dirinya yang menghambat langkahnya keluar.
Para pelayan menunduk, tidak berani mengangkat kepala. Suasana kamar terasa pekat—antara kesal, cemas, dan tegang.