Bab 13

1142 Words
Gevan baru saja keluar dari kamar Lusi beberapa jam setelah pelayan memastikan bahwa kondisi Lusi membaik sedikit. Dia turun ke lantai bawah dengan bahu tegang dan langkah yang berat. Belum sempat ia benar-benar menarik napas, suara pintu utama terbuka keras sekali, membuat seluruh pelayan yang sedang membersihkan ruang tengah terlonjak ketakutan. Seseorang masuk dengan langkah berat, aroma parfum maskulin dan alkohol samar menyelimuti ruangan. Seorang pria paruh baya, rapi namun wajahnya terlihat lelah setelah tiga hari entah di mana. Itu Gerald. Ayah kandung Gevan sekaligus suami dari Lusi, wanita yang kini terbaring lemah di kamar. Gerald meletakkan jasnya ke tangan seorang pelayan tanpa melihat siapa pun. Ia hanya melangkah lurus ke dalam rumah dengan gaya seorang yang merasa semua orang harus memberi ruang baginya. Semua pelayan menunduk sambil berucap pelan, “Selamat datang kembali, Tuan.” Gevan berdiri di ujung tangga, bersandar pada pagar dengan satu tangan terlipat di d**a. Ia mengangkat sebelah alis begitu melihat ayahnya itu akhirnya pulang. “Tiga hari ini kau tidur di mana?” tanya Gevan pelan, tapi nada suaranya terdengar jelas mengandung sindiran. Gerald berhenti. Ia menatap putranya itu dengan sorot dingin yang mirip dengan sorotan mata Gevan ketika sedang marah. Garis rahangnya mengeras. “Untuk apa kau menanyakan itu?” Gevan mengangkat dagunya sedikit, seolah menilai penampilan ayahnya. “Tidak. Hanya bertanya. Kau menghilang, tidak ada kabar, minum entah di mana… Biasanya kau membawa wanita pulang atau paling tidak memamerkan sesuatu. Kini pulang tanpa apa pun, hanya bau alkohol. Aneh.” Gerald menatapnya lama. “Mulutmu itu terlalu pintar.” Gevan menyeringai tipis, sama sekali tidak terpengaruh. “Aku hanya mengatakan hal yang kau sendiri tahu benar.” Gerald mendengkus keras, lalu berjalan lebih dalam ke ruang tengah. Pelayan buru-buru memberi jalan. Suasana rumah langsung menjadi lebih tegang hanya dengan kehadiran pria itu. Setelah beberapa langkah, Gerald berhenti lagi dan menoleh pada Gevan. “Di mana istri mudaku?” Gevan menyilangkan tangan. “Di kamar.” Gerald menatap tajam. “Kamar mana?” “Kamarnya sendiri. Masih di lantai dua. Kau tahu itu,” jawab Gevan dengan nada seolah malas menjelaskan hal-hal dasar. Gerald menyipitkan mata. “Ada apa dengannya?” Gevan menarik napas pendek seolah malas membahasnya. “Pingsan.” Pelayan-pelayan langsung menunduk lebih dalam, takut kalau Gerald tiba-tiba mengamuk. Mereka tahu betul bagaimana pria tua itu jika sedang marah. Gerald memicingkan matanya dan melangkah mendekati putranya. “Pingsan? Kenapa?” Gevan menjawab santai, tapi jelas ada rasa jengkel di balik nada suaranya. “Karena terlalu memaksakan diri. Aku suruh mencabut rumput di halaman belakang. Dia kerjakan semua sendirian sampai tidak berhenti istirahat. Bodoh sekali sampai akhirnya jatuh.” Pelayan yang mendengar hanya bisa menelan ludah keras-keras. Tidak ada yang berani meluruskan cerita atau mengatakan bahwa Lusi melakukan itu agar bisa pulang sebentar ke rumah orang tuanya. Semua orang tahu itu akan memicu ledakan yang tidak perlu dari dua pria ini. Gerald mendekat satu langkah lagi pada Gevan. Wajahnya berubah dingin, lebih dingin dari udara dunia mana pun. “Kau menyuruhnya mengerjakan itu?” Gevan mengangkat alis. “Ya. Kenapa? Dia tinggal di rumah ini, dia harus melakukan sesuatu.” Gerald mendengus kecil. “Dia istri. Bukan pembantu.” Gevan menatap balik tanpa mundur sedikit pun. “Untukku dia bukan apa-apa.” Keduanya bertatapan. Aura dingin dari keduanya memenuhi ruangan seperti dua predator yang saling menilai kekuatan satu sama lain. Gerald lalu membuang napas berat. “Aku ingin melihatnya.” “Silakan,” jawab Gevan dingin, lalu memutar tubuhnya. Gerald naik ke lantai dua, langkahnya berat namun cepat. Para pelayan tidak ada yang berani bergerak sampai Gerald menghilang dari pandangan. Setelah Gerald naik, Gevan turun satu anak tangga, duduk di sana sambil memijat keningnya sendiri. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa tidak nyaman sejak tadi, tapi ia tidak ingin mengakuinya bahkan pada dirinya sendiri. Di lantai dua, Gerald membuka pintu kamar Lusi perlahan. Cahaya dari jendela menerangi ruangan yang tenang itu. Lusi masih setengah sadar, berbaring dengan handuk dingin di kening. Pelayanan yang menjaga di sudut ruangan langsung berdiri. “Tuan…” Gerald mengangkat tangan, memberi isyarat agar pelayan itu diam dan tidak mendekat. Ia berjalan mendekati ranjang dan menatap Lusi lama sekali. Lusi membuka mata sedikit, pandangannya masih kabur. “Ge… Gevan?” gumamnya pelan. Gerald mengerutkan kening. Ia menunduk sedikit. “Ini aku.” Lusi membelalak, langsung menegakkan tubuhnya sedikit meski masih sangat lemah. “Pak… maaf… aku—” Gerald mengangkat tangan lagi. “Berbaring.” Lusi perlahan-lahan kembali menempelkan punggungnya ke kasur. Pelayan mendekat dengan gelas air, tapi Gerald mengambilnya sendiri dan menyodorkannya pada Lusi. “Minum.” Lusi terbata-bata. “Pak… saya—” “Minum,” ulang Gerald lebih tegas. Lusi menelan ludah, kemudian menyesap pelan dari gelas itu. Gerald berdiri diam sambil memperhatikannya, ekspresinya sulit dibaca. Ada kemarahan. Ada kekecewaan. Ada sesuatu yang seperti disembunyikan di balik tatapan tuanya yang tajam itu. Setelah Lusi mengembalikan gelas itu, Gerald menaruhnya di meja samping. “Kau pingsan,” katanya pelan. “Kenapa?” Lusi terdiam. Pelayan di sudut menunduk, takut Lusi berkata sesuatu yang membuat keadaan semakin buruk. Gerald menunggu. Lusi akhirnya berkata, suaranya lirih. “Aku hanya… ingin menyelesaikan pekerjaan. Aku ingin pulang sebentar ke rumah orang tuaku…” Gerald menegang. “Dan Gevan melarang?” Lusi tidak menjawab. Tapi diamnya sudah cukup menjadi jawaban. Gerald menarik napas panjang sekali, lebih panjang dari yang pernah Lusi lihat sebelumnya. Ia menatap pintu kamar seolah ingin menembus dinding dan melihat putranya yang berada jauh di lantai bawah. “Tentu dia melarang,” katanya akhirnya, nada suaranya menahan sesuatu yang besar. “Dan tentu kau tetap memaksakan diri sampai begini.” Lusi menunduk. “Maaf…” Gerald tidak membalas. Ia hanya diam lama. Sangat lama. Sampai akhirnya ia duduk di tepi ranjang, membuat pelayan tersentak karena tidak menyangka Tuan mereka akan melakukan itu. Gerald meletakkan tangan besar dan hangatnya di atas tangan Lusi yang dingin. “Aku tidak suka kau pingsan.” Lusi membelalak, tertegun. Gerald menatapnya dengan mata tajam yang kini berubah menjadi sorot yang entah bagaimana—perlahan—melunak. “Aku tidak suka kau jatuh seperti itu. Mengerti?” Lusi membuka bibirnya sedikit. “Maaf… Pak…” Gerald menggeleng pelan, menatap lurus ke mata Lusi. “Kau istriku… dan aku tidak suka siapapun membuatmu jatuh seperti tadi.” Ada getaran tegang di udara. Pelayan yang berdiri di sudut kamar menahan napas, tidak berani bergerak. Gerald menatap pintu lagi, wajahnya perlahan berubah menjadi lebih gelap. “Nanti malam aku bicara dengan Gevan.” Lusi memegangi selimutnya, takut apa pun yang mungkin terjadi. Gerald berdiri. “Istirahat. Aku akan kembali.” Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan keluar kamar, menutup pintu dengan lembut. Namun langkah-langkah beratnya yang turun ke lantai bawah berkata lain. Gerald bukan hanya marah. Ia sangat marah. Dan rumah itu bersiap menyaksikan perselisihan antara ayah dan anak—yang tak seorang pun di dunia ini berani ikut campur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD