Bab 14

1409 Words
Suara langkah Gerald terdengar berat menuruni tangga. Setiap hentakan kaki pria itu membuat semua pelayan menunduk makin dalam, seolah seluruh udara di dalam rumah langsung menegang. Gevan masih berdiri di ruang tengah, bersandar pada tiang dekat sofa, memainkan ponselnya sambil pura-pura tidak peduli. Padahal dari sudut mata, ia tahu betul ayahnya sedang marah. Dan benar saja. Begitu Gerald sampai di bawah, ia tidak berkata apa-apa. Tidak ada sapaan, tidak ada peringatan. Hanya sebuah gerakan tangan cepat. Plak! Tamparan itu terdengar keras sampai menggema. Salah satu pelayan perempuan langsung terkesiap kecil, menutup mulutnya. Pelayan laki-laki yang memegang nampan hampir menjatuhkan gelas. Rumah itu membeku. Gevan terhuyung sedikit ke samping. Kepalanya terpaksa menoleh karena kerasnya tamparan Gerald. Ujung bibirnya sedikit perih. Namun bukan itu yang membuat semua orang membeku. Yang membuat mereka ngeri adalah cara Gevan perlahan menegakkan kepalanya lagi. Senyum sinis muncul di wajah pria berusia 27 tahun itu. Mata hitamnya menyala penuh amarah yang terkendali. Gerald menunjuk wajahnya sendiri, napasnya berat. “Jangan pernah—kau ulangi—jangan pernah menyuruh Lusi melakukan pekerjaan seperti itu lagi.” Gevan tertawa. Keras dan dingin. Ia melangkah mendekati ayahnya, menatap pria tua itu tanpa ragu sedikit pun. “Kau menamparku… hanya karena itu?” Gerald menatapnya kembali, rahangnya mengeras. “Dia istriku. Kau tidak berhak memerintahkannya.” Gevan mendekat sampai hampir berhadapan. Senyum dinginnya semakin lebar, seolah ia menikmati kemarahan ayahnya. “Aku berhak,” balas Gevan pelan. “Sangat berhak.” Gerald mengerutkan kening. “Atas dasar apa?” Gevan tertawa lagi. “Atas dasar kenyataan bahwa wanita itu bukan siapa-siapa. Dia bukan ibu kandungku. Bukan anggota keluarga ini. Bukan apa pun.” Gevan mencondongkan tubuhnya ke depan. “Dia hanya… p*****r yang kau beli.” Suara itu tidak keras, tapi setiap pelayan yang mendengar langsung merinding dan menunduk lebih dalam. Tidak ada yang berani bergerak. Wajah Gerald berubah. Bukan hanya marah. Ada sesuatu seperti rasa tercabik. Campuran harga diri, kekecewaan, dan ego yang terluka oleh kata-kata putranya sendiri. Gerald menegakkan tubuh. “Jaga mulutmu, Gevan.” Gevan mengedikkan bahu. “Aku hanya mengatakan apa yang semua orang tahu.” “Diam!” bentak Gerald. “Untuk apa?” balas Gevan cepat. “Kau menikahi gadis seusia itu, apa kau pikir semua orang akan menghormatimu? Dia mantan kekasihku. Kau tahu itu, tapi kau tetap—” Gerald memotong cepat. “Dia menikah denganku karena aku menolongnya. Aku menyelamatkannya dari hutang keluarganya. Kau meninggalkannya dulu. Kau yang membuatnya pergi. Jangan salahkan aku!” Gevan kembali tertawa—lebih kacau, lebih menusuk. “Menyelamatkan? Kau? Kau hanya menginginkannya di ranjangmu. Kau hanya ingin tubuh muda. Jangan pura-pura seolah kau pahlawan.” Gerald hampir meledak mendengar itu. “Diam!” “Tidak,” ujar Gevan dingin. “Aku muak melihatmu berpura-pura bermoral.” Gerald kehilangan kendali. Ia meraih kerah baju Gevan dan mendorongnya ke dinding. Pelayan-pelayan langsung menjauh, takut kejadian itu berubah menjadi perkelahian fisik yang serius. Gerald berteriak, “Kau tidak berhak berbicara seperti itu pada ayahmu!” Gevan menatap langsung ke mata ayahnya. “Kalau begitu hentikan mempermalukan keluarga ini.” Gerald hendak menampar lagi. Tapi Gevan menahan pergelangan tangan ayahnya dengan cepat, cengkeramannya kuat. “Kau pikir aku takut?” ujar Gevan rendah. “Kau pikir aku akan tunduk hanya karena kau ayahku? Tidak.” Gerald menggertak. “Lepaskan.” Gevan melepaskannya, tapi bukan karena takut. Karena ia ingin mengucapkan sesuatu—sesuatu yang membuat Gerald terdiam. “Aku tidak mau kau menyentuh Lusi lagi.” Gerald membeku. Seluruh pelayan tertegun. Keheningan itu panjang dan berat. Gerald perlahan menoleh, matanya menyipit. “Apa maksudmu?” Gevan memasukkan satu tangan ke saku celananya, berbicara santai seolah tidak baru saja hampir berkelahi dengan ayah kandungnya. “Kau tidak pantas menyentuhnya. Kau tidak pantas menjadikannya istri.” Gerald mengertakkan gigi. “Dia istriku secara sah. Apa pun alasannya, dia wanita yang kupilih.” “Kau memilihnya karena tubuhnya,” ujar Gevan datar. “Kau tidak tahu apa-apa,” balas Gerald tajam. Gevan menatap ayahnya lama sekali. Lalu ia berkata pelan, dingin, menusuk: “Aku tahu semuanya. Aku tahu bagaimana cara kau memaksanya. Kau pikir dia mau menikahimu? Kau pikir dia ingin tidur denganmu? Kau pikir dia bahagia?” Gerald terdiam. Sorot matanya bergoyang sedikit—mungkin tersinggung, mungkin tersentuh, mungkin marah. Tidak ada yang tahu. Yang jelas, rumah itu semakin sunyi. Gevan berjalan melewati ayahnya, menepuk bahu Gerald dengan dingin. “Tidak usah mencampuri caraku memperlakukan Lusi.” Gerald menoleh cepat. “Dia istriku!” Gevan menoleh balik. “Dan dia mantan kekasihku.” Keduanya kembali terkunci dalam tatapan penuh konflik. Dua lelaki yang tidak ingin kalah. Dua ego besar yang berdiri saling berhadapan tanpa ada yang mau mundur. Gerald akhirnya mengeluarkan kalimat yang membuat seluruh pelayan membeku ketakutan. “Kau… masih menginginkannya?” Gevan menatap ayahnya dengan tatapan aneh—bukan sekadar marah, tapi ada sesuatu yang gelap, dalam, dan menyakitkan. Ia tidak menjawab. Tidak satu kata pun keluar dari mulutnya. Dan itu lebih menakutkan daripada jawaban apa pun. ** Gerald berdiri tegap di hadapan putranya, napasnya teratur namun sorot matanya dipenuhi kemenangan. Laki-laki tua itu menyandarkan satu tangan ke pilar, sementara senyum mengejeknya melebar perlahan, seolah ia baru saja memenangkan permainan terbesar dalam hidupnya. Gevan mengepalkan rahangnya, urat di lehernya menegang. Seluruh dadanya panas, mendidih. Namun Gerald justru menatapnya santai, menunjuk d**a sendiri sambil berkata dengan nada rendah dan terukur: “Lusi sekarang milikku. Istriku. Jadi hadamkan baik-baik di kepalamu, Gevan. Kau tak lagi punya hak apapun atasnya.” Untuk sesaat, hening menggelayut. Angin malam yang masuk dari jendela besar ruang tamu terasa menusuk tulang. Hening itu pecah ketika Gevan tertawa kecil—dingin, mirip desisan ular. Tawa yang tidak melambangkan hiburan, tetapi penuh amarah dan penghinaan. “Jadi ini akhirnya?” ucap Gevan pelan, namun matanya berkilat tajam. “Papa merebut perempuan yang dulu selalu ayah hina? Pelayan kafe yang dulu Papa bilang tidak pantas masuk rumah ini?” Gerald mengangkat bahu, seperti tak peduli. “Orang berubah. Atau mungkin aku hanya melihat sesuatu yang tidak pernah bisa kau lihat.” “Jangan bertele-tele,” desis Gevan. “Katakan saja Papa menikahi Lusi untuk memamerkan kuasa Papa. Untuk menunjukkan bahwa semua yang pernah aku punya bisa ayah ambil kapan saja.” Gerald mendekat dua langkah, menepuk bahu Gevan keras. “Bukan ‘bisa’. Tapi sudah kuambil.” Tangan Gevan langsung menepis sentuhan itu dengan kasar. Wajahnya memerah, matanya gelap penuh dendam. Gerald mendengus geli melihat reaksi putranya. “Dan satu hal lagi,” katanya sambil mengangkat dagu tinggi, “berhenti bermimpi Lusi akan kembali padamu. Dia telah sah menjadi istriku. Dia berada di bawah tanggung jawabku. Dan aku tidak akan pernah membiarkanmu menyentuhnya atau bahkan mendekatinya dengan niat yang menjijikkan seperti yang kau lakukan selama ini.” Gevan menatap ayahnya seolah ingin merobek wajah laki-laki itu. “Kau pikir aku masih menginginkan perempuan yang kau..?” Ucapannya terhenti, suaranya tercekat. Ada kemarahan, ada kecemburuan, ada rasa memiliki yang campur aduk. Gerald tak membiarkan ucapan itu selesai. “Kau tidak punya ruang untuk cemburu, Gevan.” Hening lagi. Tegang. Atmosfer hampir seperti akan meledak. Gerald menoleh sejenak ke arah tangga yang mengarah ke lantai dua, tempat kamar Lusi berada. Napasnya terdengar lebih berat namun penuh hasrat tersembunyi yang tidak dapat disembunyikan. “Papa akan ke kamar,” katanya tenang, menusuk. “Pastikan kau tidak mengganggu kami. Karena malam ini, aku ingin memastikan istriku tahu dengan jelas siapa suaminya.” Gevan terpaku. Wajahnya pucat. Pandangan matanya gelap seketika. Gerald berjalan menaiki tangga perlahan, langkahnya berwibawa namun memiliki nada yang menunjukkan sengaja ingin menyakiti perasaan putranya. Setiap derap langkah terdengar jelas di telinga Gevan—suara yang membuat darahnya mendidih. Saat Gerald hampir mencapai pertengahan tangga, ia menoleh lagi dan menambahkan dengan nada yang benar-benar menusuk sanubari: “Jadi berhenti berharapp… apa yang sudah menjadi milikku.” Kata milikku itu sengaja ditekan lama. Menusuk. Mencabik. Menghancurkan. Gevan menghela napas panjang namun tersengal, mencoba menahan amarah. Tangan kanannya menggenggam pilar dekat tangga begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Begitu Gerald menghilang di belokan tangga, Gevan membalik tubuhnya keras. Ia menghantam meja kaca dengan tinjunya sampai pecah berderak. Pelayannya yang kebetulan lewat tersentak ketakutan dan langsung berlutut sambil berkata: “T-Tuan Gevan…!” “PERGI!” teriak Gevan dengan suara parau. “JANGAN ADA YANG MENDEKAT DI SEKITARKU!” Pelayan segera kabur ketakutan. Gevan berdiri mematung, d**a naik-turun cepat, napasnya berat. Amarah, luka, dan kecemburuan bercampur menjadi satu badai yang membuatnya hampir tak bisa berpikir jernih. Dalam hatinya, ia mengulang kata-kata Gerald, milikku… milikku… milikku…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD