Bab 15

1554 Words
Lampu neon berwarna merah dan ungu menari liar di langit-langit klub malam itu. Musik berdentum keras, mengguncang d**a, namun tidak ada satu pun dentuman yang mampu menenggelamkan kekacauan dalam kepala Gevan. Ia melangkah masuk dengan napas berat, wajah yang kusut, dan mata yang tampak kosong namun penuh gejolak. Aroma alkohol bercampur parfum menyengat, tetapi Gevan tidak peduli. Dia hanya membutuhkan tempat bersembunyi dari kenyataan. Sebuah kenyataan pahit yang memburu pikirannya seperti bayangan gelap yang tak bisa dihindari. Rasa cintanya pada Lusi tidak pernah hilang. Justru kini semakin menyakitkan—seperti pisau yang terus ditancapkan, lalu diputar perlahan oleh takdir. “Kenapa harus begini?” gumamnya sambil meremas rambutnya sendiri. “Kenapa dari semua laki-laki di dunia… harus AYAH yang memilikinya?” Gevan menendang kursi bar hingga terguling. Para pengunjung klub yang sudah mabuk menoleh sekilas, lalu mengabaikannya. Klub bukan tempat untuk peduli. Gevan langsung menuju bar dan menyalakan rokok, mengisap dalam-dalam hingga dadanya terasa panas. Kemudian ia memanggil bartender dengan suara serak: “Beri aku yang paling keras. Botolnya. Bukan gelas.” Bartender mengangguk, memberikan sebotol minuman keras mahal. Gevan meneguk langsung setengah botol itu tanpa jeda, membuat tenggorokannya terbakar seperti disiram api. Tapi rasa itu tidak seberapa dibandingkan luka di dalam dadanya. “Lusi… kenapa?” desisnya lirih, pandangannya kosong ke arah lantai dansa. Ia menatap para perempuan yang tertawa, menari, menyandarkan diri pada laki-laki yang mereka temui malam itu. Tetapi setiap kali ia memandang wajah salah satu perempuan itu… bayangan Lusi muncul di sana. Dulu, Lusi tersenyum hanya untuknya. Dulu, Lusi menunduk malu ketika ia menggodanya. Dulu, Lusi memeluknya ketika ia merasa lelah. Sekarang? Sekarang Lusi TIDUR di kamar ayahnya. Sekarang Lusi DIPANGGIL istri Papa-nya. Sekarang Lusi tidak boleh disentuhnya. Tidak boleh dimiliki lagi. Gevan menutup wajah dengan kedua telapak tangan. “Sialan…” ujarnya lirih. “SIALAN!” Ia memukul bar dengan keras hingga botol lain ikut berjatuhan. Namun keributan ini justru menarik perhatian beberapa wanita yang duduk tidak jauh darinya. Mereka memperhatikan tubuh tegap Gevan, wajahnya yang tampan meski kacau, tatapannya yang tajam dan memancarkan aura berbahaya. Salah satu dari mereka, wanita bergaun hitam ketat, mendekati Gevan sambil tersenyum genit. “Kau kelihatan… hancur sekali,” katanya manja. “Butuh ditemani?” Gevan melirik wanita itu dari ujung mata. Senyum sinis muncul. Bukan senyum menggoda. Senyum penuh luka dan kebencian pada dirinya sendiri. “Kalau aku butuh teman,” ucap Gevan sambil meneguk lagi minumannya, “yang aku butuhkan bukan kamu.” Wanita itu mengerucutkan bibir, tersinggung. “Wow, kasar sekali. Padahal aku—” “Pergi.” Nada Gevan dingin dan tajam. Wanita itu melirik teman-temannya dan melengos pergi, mengumpat pelan. Gevan memukul dahinya, menunduk lebih dalam. Dalam hatinya, suara-suara yang tidak mau diam terus berteriak: Lusi seharusnya milikku. Kenapa ayah mengambilnya dariku? Kenapa Lusi tidak melawan? Kenapa dia menerima pernikahan itu? Apa dia… benar-benar memilih ayahku? Gevan merasakan dadanya sesak. Ia meraih botol, hendak minum lagi—namun secara tiba-tiba dorongan emosi menahannya. Ia memejam mata, menahan amarah yang siap meledak. “Tidak… Tidak bisa begini terus…” gumamnya, suaranya bergetar. “Aku tidak akan biarkan Lusi menjadi milik orang lain… bahkan jika itu ayahku sendiri…” Ia kembali meneguk. Kali ini lebih dalam. Lebih gelap. Darahnya panas. Kepalanya mulai terasa ringan. Tetapi pikirannya… semakin kacau. Di lantai dansa, lampu berganti-ganti, menciptakan ilusi seolah dunia bergerak lambat namun bising. Gevan memandangi semuanya tanpa benar-benar melihat. Hatinya hanya memandang satu orang—Lusi. Gevan berdiri dari kursinya, langkahnya goyah namun matanya tajam seperti binatang terluka. Ia menuju zona VIP, tempat ia bisa duduk tanpa diganggu. Sepanjang langkahnya, ia bergumam, berkali-kali: “Lusi itu milikku… Aku yang menemukannya dulu… Aku yang menjaganya… Aku yang mencintainya… Aku yang berhak…” “Kenapa dia jadi ibu tiriku…?” “Mengapa ayah melakukannya…?” “Kenapa aku tidak bisa melupakannya…?” Setibanya di sofa VIP, ia jatuh duduk, memejam mata. Air mata nyaris jatuh—namun ia tahan mati-matian. Ia tidak boleh terlihat lemah. Tidak boleh. Tapi hatinya… hancur. Dan jauh di dalam kepalanya, sebuah tekad mulai terbentuk. Tekad berbahaya. “Aku akan merebutnya kembali…” katanya pelan, suara yang sarat dendam. “Aku tidak peduli apa taruhannya… Tidak peduli siapa yang harus kulawan…” “Lusi… akan kembali kepadaku.” Dalam kegelapan klub itu, di antara musik keras dan lampu yang meliuk, hati Gevan mengeras. Keputusannya semakin kuat. Dan ia tidak sadar… bahwa keputusan itu akan mengubah seluruh kehidupan mereka. *** Pintu depan rumah besar itu terbuka dengan hentakan keras. Suara logam gagang pintu beradu dengan dinding menggema sampai ke seluruh ruang tengah. Udara malam yang dingin masuk sekejap sebelum pintu itu menutup sendiri. Gevan muncul di ambang pintu, tubuhnya oleng, rambutnya berantakan, dan aroma alkohol yang kuat menyeruak ke seluruh ruangan. Bajunya sedikit kusut, kancing bagian atas terbuka, dan wajahnya memerah akibat mabuk berat. Matanya sayu, namun masih menyimpan ketajaman yang membuat orang sulit menatap balik. Ruang makan itu sunyi. Hanya ada Lusi, duduk sendirian di meja makan, meneguk air putih dari gelas kaca. Sorot matanya tampak letih, seperti seseorang yang sudah kehabisan pertahanan untuk hari itu. Gevan menghentikan langkahnya ketika melihat gadis itu di bawah cahaya lampu gantung. Lusi mengangkat kepala perlahan, terkejut ketika melihat Gevan berdiri di ambang pintu dengan tatapan liar. Gevan menyeringai. Senyum miring yang tidak jelas maksudnya. Senyum seseorang yang tidak sadar sedang berada di tepi jurang emosinya sendiri. “Hei…” suara Gevan parau. “Sendirian saja malam-malam begini?” Lusi menelan ludah keras-keras. Tangannya meletakkan gelas dengan hati-hati. Ia berusaha untuk tidak membuat suara berlebihan. “Gevan… kau mabuk. Pergilah ke kamarmu.” Namun Gevan malah tertawa kecil. Tawanya pendek, kasar, dan kosong. Langkahnya mendekati meja makan, tidak stabil tetapi terarah. Setiap langkahnya membuat Lusi semakin menegang, tubuhnya merapat ke sandaran kursi, seperti nalurinya tahu ada bahaya yang semakin dekat. Saat hanya beberapa langkah darinya, Lusi bangkit berdiri dengan gugup. “Jangan mendekat,” katanya spontan. Gevan tidak menghiraukan. Ia justru semakin menyeringai. Dan dalam satu gerakan yang begitu cepat untuk seseorang yang mabuk, Gevan menarik tubuh Lusi ke dalam pelukannya. “Gevan! Lepaskan!” seru Lusi membelakangi meja, terkejut tak sempat menghindar. Tangan laki-laki itu melilit punggungnya erat, wajahnya menempel di bahu Lusi, dan aroma alkohol menusuk hidung. Namun yang paling membuat Lusi merinding—bukan baunya. Melainkan suara Gevan. Suara rendah yang bergetar seperti menahan ribuan emosi yang tidak pernah tersampaikan. “Akhirnya… ketemu lagi begini…” gumamnya. Lusi meronta, kedua tangannya mendorong d**a Gevan. “Gevan, lepaskan! Kau sudah mabuk! Jangan begini—” “Diam.” Suara itu tiba-tiba berubah tajam. Pelukan Gevan mengencang, bukan dengan niat menyakitinya, tetapi lebih seperti seseorang yang putus asa memaksa agar kenangannya tidak diambil paksa lagi. Wajah Gevan menunduk, menyentuh rambut Lusi. Napasnya panas dan tidak beraturan. “Kau tahu…” bisik Gevan penuh kepedihan yang ia coba sembunyikan dengan emosi, “aku benci melihatmu di meja makan ini sendirian. Seperti… seperti dulu.” Kata-kata itu membuat tubuh Lusi kaku. Ia tahu apa maksud Gevan. Ia tahu GEVAN mengingat masa lalu mereka. Namun itu bukan alasan untuk memeluknya begini. Lusi kembali berusaha melepas pelukan itu. “Gevan… tolong. Kau harus sadar. Ini salah.” “Yang salah itu… kenapa kau ada di rumah ini…” suara Gevan retak, “kenapa kau duduk di meja makan ini sebagai istri AYAHKU…” Lusi terdiam. Jantungnya berdetak keras. Pelukan Gevan benar-benar menusuk emosinya—bukan secara romantis, melainkan menyedihkan. “Kenapa bukan aku…?” gumam Gevan lirih, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri dibanding pada Lusi. “Kenapa bukan aku yang duduk makan bersamamu seperti dulu…?” “Gevan…” suara Lusi memecah, lebih lembut kali ini, meski tubuhnya masih tegang. “Lepaskan aku. Ini… ini tidak benar. Kau mabuk.” Gevan mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah, bukan hanya karena alkohol, tetapi karena terlalu banyak hal yang ia tahan selama ini. “Sial… aku mabuk. Tapi aku tidak lupa… tidak pernah lupa…” Lusinya menunduk, menghindari tatapannya. Sekali lagi ia mencoba melepaskan diri dan kali ini ia berhasil memundurkan tubuhnya beberapa langkah. Namun keseimbangan Gevan goyah, dan ia ikut melangkah mendekat. “Gevan, jangan—” “Kau takut?” tanyanya lirih. “Takut padaku?” “Tentu saja! Kau mabuk dan melakukan hal yang tidak seharusnya—” “Kalau aku tidak mabuk,” potong Gevan cepat, “apa kau akan bicara jujur padaku? Tentang apa pun yang kau sembunyikan dariku?” Lusi terdiam. Napasnya naik turun. Gevan menatapnya seperti menatap luka lamanya yang kembali terbuka. Tangan Gevan terulur, namun berhenti di udara. “Aku tidak akan menyentuhmu lagi,” katanya pelan, suaranya runtuh, “kalau itu membuatmu… membenciku.” …. Sunyi. Detak jam dinding terdengar jelas untuk beberapa detik. Gevan mundur selangkah. Lalu dua langkah. Kemudian ia menyandarkan tubuhnya pada kursi dekat meja makan, menutup wajah dengan satu tangan seolah ingin menghancurkan kepalanya sendiri. “Tapi Lusi…” gumamnya, “aku tidak punya cara lain untuk berhenti merindukanmu…” Kalimat itu membuat Lusi terdiam membatu. Beberapa detik setelahnya, tubuh Gevan goyah lalu jatuh duduk di lantai dengan nafas berat—mabuknya benar-benar meninju kepalanya. Lusi memandangnya dengan campuran takut, cemas, marah, dan iba—semua bercampur dalam satu emosi yang tidak bisa ia jelaskan. Namun sebelum ia sempat melangkah pergi atau memanggil pelayan, suara Gevan kembali terdengar, lemah… tetapi menusuk: “Jangan tinggalkan aku di sini… Lusi…” Kata-kata itu membuat hati Lusi terhenti sejenak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD