Lusi berdiri terpaku di ruang makan yang setengah gelap itu. Cahaya lampu gantung memantul samar di lantai marmer putih, menyoroti tubuh Gevan yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Dadanya naik turun pelan, menunjukkan ia benar-benar mabuk berat.
Lusi menghela napas panjang—napas yang terdengar seperti seseorang yang memikul beban dunia di pundaknya. Kedua tangannya gemetar, bukan karena takut saja, tetapi karena ia tidak tahu apa keputusan yang benar.
Biarkan Gevan di lantai?
Tidak mungkin. Nanti pelayan akan melihat dan mereka akan berbicara macam-macam. Nama Lusi yang sudah babak belur akan semakin jatuh.
Tapi jika ia menyentuh Gevan, membangunkan atau membantunya, ia takut akan menambah masalah. Gevan tadi memeluknya, mabuk, emosinya kacau. Lusi tidak tahu apakah pria itu akan mengulanginya kalau ia mencoba menolong.
Tetap saja… ia tidak tega.
Ia menarik napas pendek, menunduk, lalu berkata pelan pada dirinya sendiri, “Baiklah… aku harus melakukannya. Hanya ini yang bisa kulakukan.”
Dengan ragu, ia berlutut di samping tubuh Gevan. Tangannya menyentuh bahu pria itu—bahu yang dulu begitu sering ia peluk ketika masih berpacaran. Bahu yang dulu membuatnya merasa aman… dan kini justru membuatnya merasa terancam.
“Gevan…” bisiknya, “bangun sedikit. Aku harus membawamu ke kamar.”
Gevan tidak bergerak. Hanya bergumam pelan, seperti seseorang yang sedang bermimpi buruk.
Lusi mencoba meraih tubuhnya dan mendorongnya untuk duduk, tapi Gevan terlalu berat. Tubuh itu jatuh kembali ke lantai. Lusi memejam mata frustasi, menarik napas, lalu mencoba lagi. Kali ini ia berhasil membuat Gevan duduk bersandar pada kursi.
“Kenapa tubuhmu berat sekali…?” gumam Lusi lirih sambil menyeka peluh di dahinya.
Butuh waktu lima menit bagi Lusi untuk kembali mengumpulkan tenaga. Ia memegang kedua tangan Gevan, lalu menariknya perlahan. Tubuh pria itu limbung tapi mengikuti sedikit. Dengan usaha luar biasa, Lusi menyeretnya menuju tangga kecil yang menuju koridor kamar tamu.
Setiap langkah terasa seperti langkah menuju jurang. Nafas Lusi semakin terengah. Tangannya perih karena memegang lengan Gevan terlalu kuat. Betisnya gemetar. Ia bahkan beberapa kali hampir jatuh karena tubuh Gevan sempat kehilangan keseimbangan.
Begitu sampai di depan kamar tamu, Lusi mendorong pintu dengan bahu sambil tetap memegang Gevan. Pintu berderit pelan, memperlihatkan kamar yang rapi, bersih, dan masih wangi lavender.
“Masuk…” desah Lusi lirih, meski Gevan jelas tidak mendengar.
Ia menyeret tubuh itu menuju ranjang. Ketika akhirnya berhasil menjatuhkan tubuh Gevan ke atas kasur, Lusi langsung terduduk di lantai—merosot ke bawah karena kelelahan. Ia memegang dadanya sendiri, mengatur napas.
Rasanya semua tenaganya terkuras.
Beberapa menit ia hanya diam di situ, mendengarkan suara napas Gevan yang berat dan tidak stabil. Wajah pria itu terpantul oleh lampu kamar—matanya terpejam, kening sedikit berkerut, seperti seseorang yang menyimpan banyak luka di bawah sadar.
Lusi menatap wajah itu lama. Sangat lama.
Tatapan yang mengandung begitu banyak perasaan rumit—sedih, marah, kecewa, takut… dan entah apa lagi. Kenangan mereka berduaan dulu muncul di benaknya. Saat Gevan menjemputnya pulang kerja. Saat mereka makan ramen bersama di akhir bulan karena uangnya mepet. Saat Gevan mengusap kepala Lusi saat gadis itu menangis karena ibunya sakit.
Semuanya kini terasa seperti mimpi yang kejam.
Seolah dunia sengaja mempertemukan mereka kembali hanya untuk menyiksa keduanya.
Lusi menelan ludah, bibirnya bergetar sebelum ia mengucapkan sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak yakin pantas diucapkan.
“Maaf… Gevan.”
Nadanya lirih, hampir hilang. Seperti suara orang yang berbicara pada patung, bukan pada manusia.
“Aku tidak ingin… kita berakhir begini. Aku tidak ingin menjadi istri papamu. Aku tidak ingin masuk rumah ini. Aku tidak ingin berada di dunia yang membuatmu membenciku seperti ini.”
Wajah Lusi menunduk dalam.
“Aku tidak ingin menyakitimu… tapi aku sudah terlalu terlambat untuk memperbaiki semuanya.”
Ia berdiri perlahan, menjaga agar tidak menimbulkan suara. Mengambil selimut tipis dari lemari kecil di samping ranjang, lalu menyampirkannya ke tubuh Gevan.
“Setidaknya… tidurlah dengan nyaman malam ini,” bisiknya.
Lusi berjalan menuju pintu. Tangannya sudah memegang gagang pintu ketika ia sempat menoleh kembali.
Matanya memandang Gevan lama. Sangat lama.
Seperti seseorang yang memandang luka yang tidak akan pernah sembuh.
“Aku benar-benar minta maaf…”
Dan tanpa menunggu jawaban—karena pria itu memang tidak bisa menjawab—Lusi keluar dari kamar tamu.
Koridor panjang itu sepi. Lampunya redup. Suaranya sendiri bergema lemah. Lusi menyandarkan punggungnya pada dinding, mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menahan isak yang mulai naik.
Namun begitu ia melangkah pergi…
Pintu kamar tamu sedikit bergerak.
Di dalam, Gevan tidak sepenuhnya tidur.
Matanya terbuka sedikit—setengah sadar, setengah mabuk.
Ia mendengar suara Lusi.
Ia mendengar permintaan maaf itu.
Ia mendengar semuanya.
Bibirkannya bergerak pelan, seperti ingin menjawab.
“…Lusi…”
Namun suara itu tenggelam, terperangkap di tenggorokannya sendiri.
Ia tidak bisa memanggilnya.
Tidak bisa berdiri.
Tidak bisa mencegah gadis itu pergi menjauh lagi…
Seperti dulu.
Seperti pertama kali Lusi menghilang dari hidupnya satu tahun lalu.
Dan sebelum kesadarannya benar-benar hilang, Gevan bergumam lirih—hampir tidak terdengar:
“Jangan pergi lagi…”
Tapi Lusi sudah jauh di ujung koridor, tidak mendengar apa pun.
**