Gevanno Orion lelaki berusia 27 tahun berdiri tegak di tengah ruang keluarga besar keluarga Orion. Langit sore tampak keemasan dari balik jendela tinggi, tetapi suasana di dalam ruangan itu sekelam badai. Tangannya mengepal, wajahnya menegang. Di hadapannya, Gerald Orion—lelaki bertubuh besar yang kini menginjak usia 55 tahun—menatapnya dengan ekspresi dingin dan acuh tak acuh seolah percakapan mereka bukanlah masalah besar.
Namun bagi Gevanno, kalimat yang baru diucapkan papanya barusan lebih menyakitkan daripada apa pun yang pernah ia dengar.
“Aku akan menikah lagi,” kata Gerald santai, sambil merapikan kemeja mahalnya.
Gevanno terdiam beberapa detik, napasnya tercekat. Ia mendengar dengan jelas, tapi otaknya menolak menerima. “Apa… Papa bilang apa?”
Gerald bahkan tidak menatap putranya. Ia duduk di sofa cokelat mahal, menyilangkan kaki, lalu mengambil minuman dari meja kecil di sampingnya. “Kau dengar. Aku akan menikah.”
Gevanno merasakan dunia di sekelilingnya berhenti. “Papa punya istri. Mama masih hidup.”
Gerald mendengus, tidak suka nada suara putranya. Namun ia tetap tenang. “Hidup? Kau menyebut itu hidup?” Ia memutar bola mata. “Dia hanya terbaring. Tidak bicara. Tidak bergerak. Tidak melakukan apa pun.”
“Karena dia LUMPUH!” Suara Gevan meledak. “Karena Papa membuat dia stres sampai jatuh sakit! Karena—”
“Berhenti menyalahkanku,” potong Gerald datar. “Kau selalu dramatis.”
Gevanno menatap papanya dengan mata merah karena marah. “Mama belum mati. Dia masih ada. Dia masih bernapas. Dia masih istri Papa secara sah. Dan Papa malah bilang mau MENIKAH lagi?!”
Gerald tidak berubah. “Ya. Dan aku tidak membutuhkan persetujuanmu.”
Hati Gevanno terasa ditusuk.
Ia selalu tahu papanya egois. Tapi ia tidak pernah menyangka Gerald bisa sekejam ini.
“Sudah tiga bulan Mama lumpuh,” lanjut Gerald, kini berdiri dan berjalan santai seolah berbicara tentang cuaca. “Dan Papa… ya, Papa masih lelaki. Papa punya kebutuhan. Papa butuh pasangan, Gevan. Bukan mayat hidup yang terbaring tanpa reaksi.”
Setiap kata itu menghantam d**a Gevan seperti pukulan.
“Kau bicara tentang istrimu sendiri seperti itu…” Gevanno hampir tidak bisa berbicara, suaranya gemetar. “Mama melahirkan aku. Mama yang mendampingi Papa bertahun-tahun. Saat Papa bangkrut dulu, Mama menjual perhiasannya supaya Papa bisa bangkit. Dan sekarang Papa bicara seperti itu?”
Gerald mulai kesal. “Aku tidak butuh ceramahmu.”
“Tapi aku butuh penjelasan, Papa!” teriak Gevan. “Kenapa tergesa-gesa? Kenapa malah mikirin MENIKAH lagi, bukannya fokus ngerawat Mama?!”
Gerald berhenti di depan jendela, melihat pemandangan taman luas milik keluarga mereka. “Karena hidup harus berjalan,” katanya datar.
Gevan menggeleng tidak percaya. “Tidak seperti ini caranya.”
Gerald berbalik perlahan, menatap putranya. “Aku sudah memutuskan. Dan kau tidak bisa menghentikanku.”
“Papa sudah 55 tahun,” desis Gevanno. “Papa seharusnya fokus pada hal lain. Fokus pada kesehatan, pada Mama, pada perusahaan. Bukan menikah.”
Gerald tertawa pendek. “Usiaku 55, bukan 95. Aku masih kuat, Gevan. Masih mampu. Dan aku ingin wanita yang bisa… melayaniku. Memenuhi kebutuhanku. Kau tahu maksudku.”
Gevanno merasakan darahnya mendidih. Pernyataan itu bukan hanya tidak sopan—itu menjijikkan.
“Papa tidak punya rasa hormat sama sekali.”
Gerald mendekat. Sangat dekat. Sampai wajah mereka hanya terpisah beberapa sentimeter.
“Aku laki-laki,” katanya pelan tapi tajam. “Dan laki-laki punya kebutuhan. Aku akan menikah untuk memenuhi kebutuhan itu. Mama-mu tidak bisa menyerahkan apa pun lagi. Dan aku tidak akan menyia-nyiakan hidupku hanya untuk menunggu seseorang yang mungkin tidak akan bangun lagi.”
Gevan merasakan jantungnya seperti diremas.
Itu bukan hanya kejam.
Itu benar-benar tidak manusiawi.
“Papa…” Gevan menatap papanya dengan luka yang lebih dalam dari kemarahan. “Mama mungkin tidak bisa berbicara. Tapi dia masih ada. Dan Papa—Papa justru mau ganti dia, seakan dia sudah mati?”
Gerald menepuk bahu Gevan seperti menenangkan anak kecil.
“Hidup itu realistis, anakku.”
Gevan menepis tangan itu. “Kalau Papa benar-benar melanjutkan ini… kalau Papa tetap mau menikah tanpa peduli perasaan Mama… atau perasaanku… maka jangan harap aku akan diam.”
Gerald mendecak.
“Aku tidak butuh restumu. Tidak butuh izinku. Tidak butuh opinimu.” Ia meraih jasnya dan berjalan ke pintu. “Kalau kau mau marah, marahlah. Tapi aku akan tetap menikah. Tanggalnya sudah kuatur. Dan aku tidak peduli apa pun yang kau katakan.”
Gevanno berdiri membatu, menatap punggung papanya yang semakin jauh.
Gerald berhenti di ambang pintu, menoleh sedikit.
“Terimalah, Gevan. Kau tidak bisa menghentikan seseorang yang ingin hidupnya bahagia.”
Kemudian pintu tertutup.
Meninggalkan Gevanno Orion sendirian, menatap kosong,
dadanya sesak, dan dunia yang ia kenal mulai runtuh sedikit demi sedikit.
***