Bab 02

937 Words
Hari itu datang lebih cepat daripada yang diharapkan Gevanno Orion. Hari yang jelas-jelas tidak ingin dia hadiri. Hari yang sejak awal sudah ia tolak dalam hati. Hari yang semestinya tidak pernah ada—jika saja papanya, Gerald Orion, masih memiliki sedikit saja rasa kemanusiaan. Tapi kenyataannya berbeda. Dan kini Gevan berdiri di depan gereja megah yang dipenuhi dekorasi putih, emas, dan bunga segar yang aromanya menusuk hidung. Ironis sekali, seindah apa pun dekorasi itu, hati Gevan tetap gelap gulita. Ia menarik napas panjang, namun udara terasa terlalu berat untuk dihirup. “Kenapa aku harus datang…” gumamnya pelan. Tapi ia tahu kenapa: karena ia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa keterlaluan keputusan papanya kali ini. Langkah kakinya terdengar berat saat memasuki gereja. Setiap langkah seperti membawa beban berton-ton di punggungnya. Begitu pintu besar gereja terbuka, seisi ruangan langsung menoleh padanya. Para tamu memandang dengan bisik-bisik kecil—tahu bahwa lelaki muda itu jelas-jelas tidak senang hadir di sana. Gevan tidak peduli. Tatapannya langsung tertuju pada altar. Dan di sana, berdiri dengan jas hitam rapi, Gerald Orion—ayahnya—tampak begitu bangga. Tampak muda kembali dalam kebahagiaannya sendiri. Seolah tidak ada istri sah yang sedang terbaring lumpuh. Seolah tidak ada anak yang terluka karenanya. Gevan mengepalkan tangan. Rasanya ingin memukul wajah lelaki itu. Ia mengalihkan pandangan saat musik gereja mulai dimainkan. Semua orang berdiri. Dan pintu belakang gereja perlahan terbuka. Gevan menoleh—dan jantungnya langsung berhenti berdetak. Seorang gadis muda berjalan perlahan memasuki gereja dengan gaun pengantin putih panjang. Cahaya dari jendela gereja memantul pada rambut hitam bergelombangnya yang indah. Setiap langkahnya elegan, setiap senyumnya manis… namun menampar hati Gevan lebih keras dari pukulan apa pun. Karena gadis itu bukan orang asing. Sama sekali bukan. Gevanno membuka mata lebar-lebar. Tidak mungkin. Dia mengenali wajah itu. Tubuh itu. Cara berjalan itu. Dan namanya—diumumkan oleh pendeta dengan suara lantang: “Pengantin wanita, Lusianna Arfiana, dipersilakan maju.” Lusi. Mantan kekasihnya. Satu-satunya wanita yang pernah benar-benar ia cintai. Wanita yang pernah ia genggam tangannya, wanita yang pernah ia peluk dan berjanji tidak akan menyakiti. Wanita yang dulu meninggalkannya tanpa alasan jelas, membuatnya hancur selama berbulan-bulan. Kini berdiri di gereja. Menikah. Dengan PAPANYA. Gevan hampir tidak bisa berdiri tegak. Bumi serasa berputar. SIALAN. Jangan bilang… Ibunya nanti adalah Lusi. Mantan kekasihnya sendiri. Gevan mencengkeram kursi gereja begitu kuat hingga buku jarinya memutih. “Kenapa…?” suaranya hampir tidak terdengar. Saat Lusi melangkah semakin dekat ke altar, ia menoleh sedikit ke kanan—ke arah bangku tamu. Matanya bertemu mata Gevanno. Tubuh Gevan membeku. Dan pada saat itu, Lusi jelas-jelas menunjukkan ekspresi kaget yang tidak bisa ia sembunyikan. Mata yang membesar, bibir yang terbuka sedikit—rasa terkejut yang tulus. Seolah ia juga tidak menyangka bahwa mantan kekasihnya akan melihat adegan memalukan ini. Namun lebih dari itu, tatapan Lusi menunjukkan sesuatu yang membuat perut Gevan mual: Rasa bersalah. Ketakutan. Dan—entah bagaimana—kepasrahan. Seolah Lusi tidak punya pilihan selain berada di sana. Namun itu tidak meredakan kemarahan Gevan. Sama sekali. Gerald Orion, yang berdiri gagah di altar, tersenyum saat melihat calon istrinya mendekat, namun ia sama sekali tidak memperhatikan bahwa putranya nyaris kehilangan kendali. Gevanno melangkah maju satu langkah, dadanya naik turun dengan napas yang memburu. Ia tidak tahu apakah ia ingin berteriak, meninju seseorang, atau menarik Lusi keluar dari gereja itu dan menuntut penjelasan. Kenangan masa lalu berputar cepat—senyum Lusi, tawa Lusi, cara Lusi menyandarkan kepala di bahunya, cara Lusi bilang dia mencintainya. Lusi, wanita yang pernah bersamanya selama dua tahun penuh kebahagiaan. Lusi, yang ia pikir adalah masa depannya. Dan sekarang… Wanita itu akan menjadi ibu tirinya? Gevanno merasa seluruh dunia mengejeknya. Ia memejamkan mata sesaat, mencoba menahan amarah yang membakar dadanya. Ketika ia membuka mata lagi, Lusi sudah berdiri di altar tepat di samping Gerald. Gerald tersenyum bahagia. Sementara Lusi menunduk, entah karena gugup, malu, atau karena tidak sanggup melihat Gevanno. Pendeta mulai membuka buku nikah, bersiap memulai upacara. Namun sebelum kalimat pertama keluar… Suara dentingan keras terdengar. Itu suara Gevan—menyenggol bangku gereja ketika ia berdiri terlalu cepat. Semua mata langsung menoleh padanya. Gerald mengangkat alis, tidak suka dengan gangguan itu. “Gevan?” tegurnya tajam. Lusi menggigit bibirnya. Gevanno menatap lurus ke arah mereka—ke arah Lusi khususnya—dengan tatapan yang campur aduk: terluka, marah, jijik, dan bingung. Suara Gevanno terdengar pelan, namun sangat jelas karena keheningan gereja: “Jadi… ini calon Mama baruku?” Nada yang ia gunakan lebih tajam dari pisau. Gerald mengernyit. “Jangan mulai—” “Papa benar-benar gila,” potong Gevan, suaranya bergetar menahan ledakan emosi. “Menikahi wanita muda. Bukan hanya muda—tapi…” ia mengalihkan pandangan ke Lusi. “… wanita yang pernah tidur di pelukanku.” GEREJA LANGSUNG GADUH. Semua terbelalak. Beberapa menutup mulut shock. Pendeta bahkan hampir menjatuhkan buku. Gerald membelalak marah. “GEVANNO!” Lusi menutup mulutnya dengan tangan, wajahnya pucat. Namun Gevanno tidak berhenti. “Aku tidak percaya… wanita yang pernah aku cintai… mantan kekasihku sendiri… sekarang BERDIRI di altar untuk menikahi ayahku?” Suasana gereja berubah kacau. Pendeta panik. Para tamu saling berbisik keras. Gerald, dengan wajah merah padam, berjalan cepat ke arah Gevanno. “Kau memalukan!” Gevan menatap balik tanpa gentar. “Tidak. Yang memalukan adalah laki-laki tua yang bernafsu pada gadis yang bahkan lebih muda putranya!” Gerald mengangkat tangannya, hampir ingin menampar putranya. Namun Lusi tiba-tiba berteriak kecil, “Gerald! Jangan!” Suara itu membuat Gevanno menatapnya tajam. Lusi menurunkan tangannya perlahan. Dan keduanya saling menatap. Untuk pertama kalinya sejak perpisahan mereka bertahun-tahun lalu. Mata Lusi berkaca-kaca. Tapi Gevanno tidak punya ruang untuk iba. Baginya… Pengkhianatan tetaplah pengkhianatan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD