Lusi menutup pintu kamar besar itu dengan kedua tangan yang gemetar. Begitu pintu itu terkunci, tubuhnya langsung ambruk ke lantai. Karpet tebal berwarna coklat muda itu terasa dingin dan asing di kulit lututnya. Tidak ada aroma familiar, tidak ada sudut ruangan yang membuatnya merasa aman. Semuanya besar, mahal, dan menakutkan.
Tangisnya pecah begitu saja.
Suara isakannya menggema tipis di dalam kamar luas itu — ranjang king-size, meja rias dengan lampu-lampu besar, lemari pakaian yang hampir setinggi langit-langit. Semua fasilitas mewah itu seharusnya mengesankan, namun bagi Lusi, semua itu hanya mengingatkan bahwa dia adalah tawanan dalam istana emas.
“Ya Tuhan…” Lusi menggenggam rambutnya erat-erat. “Aku tidak mau hidup seperti ini… bukan begini…”
Dia menutup wajahnya. Tubuhnya bergetar. Bukan hanya karena takut—tetapi karena rasa bersalah yang menghantam dadanya seperti gelombang tanpa henti. Bagaimana mungkin hidup membawanya kembali ke rumah ini? Ke tempat di mana seseorang yang pernah begitu dia cintai sekarang memandangnya seolah dia adalah sampah?
Dan kini… dia menjadi ibu tiri pria itu.
Belum sempat napasnya stabil, ingatannya kembali melayang ke momen beberapa minggu lalu…
---
Hutang keluarga Arfiana menumpuk. Lima ratus juta. Bunga jalan terus. Penagih datang hampir setiap malam. Ayah Lusi yang sakit-sakitan hanya bisa duduk di kursi roda, sementara ibunya menangis setiap kali telepon dari rentenir berdering.
Dan Gerald datang pada hari itu.
Dengan jas rapi. Dengan senyum ramah.
“Biarkan saya bantu,” katanya lembut. “Saya bisa lunasi semua hutang keluarga kalian.”
Ibu Lusi langsung menunduk penuh harap.
Ayahnya menatap dengan mata berkaca-kaca.
Dan Lusi tahu… bantuan seperti itu tidak pernah gratis.
“Kau hanya perlu menjadi istriku,” ucap Gerald dengan suara berat yang membuat Lusi ingin muntah. “Aku tidak memaksamu. Tapi keluarga kecilmu… tidak akan bisa bertahan tanpa bantuan.”
Lusi menggigit bibir sampai berdarah. Dia sempat menolak. Berkali-kali. Namun tekanan datang terus menerus.
Sampai akhirnya dia menyerah.
---
Isakannya kembali pecah di kamar itu. Lusi memeluk kakinya sendiri dan menunduk dalam-dalam.
“Aku bukan p*****r…” bisiknya lirih di antara tangis. “Aku bukan…”
Tapi suara Gevan sebelumnya masih terngiang jelas.
*“Untuk apa membawa p*****r itu masuk ke rumah ini?”*
Lusi menutup telinga. Sakit sekali. Karena Gevan adalah orang terakhir yang ingin dia kecewakan. Di masa lalu, dialah satu-satunya yang membuat Lusi merasa berarti. Tapi hubungan mereka hancur oleh kesalahpahaman, oleh keluarga yang tidak menyetujui, dan oleh situasi yang semakin rumit.
Dan kini… takdir mempertemukan mereka dalam cara yang paling kejam.
Tok. Tok. Tok.
Ketukan keras membuat tubuh Lusi menegang. Napasnya tercekat. Ia bangkit perlahan, membersihkan air matanya dengan punggung tangan.
“Lu… Lusi.” Suara berat itu terdengar dari balik pintu. Suara yang ia kenal. Suara yang membuat seluruh otot tubuhnya menegang.
Gevan.
“Buka pintunya.”
Nada suaranya dingin. Dingin sekali. Tidak ada sedikit pun sisa kehangatan masa lalu. Tidak ada cinta. Tidak ada belas kasihan.
Lusi menggeleng panik walau tidak ada yang melihat. “Jangan… jangan sekarang…”
Tok! Tok! Tok!
Pukulan ketiga lebih keras.
“Lusi!” seru Gevan dengan nada tajam. “Buka pintunya atau aku yang masuk.”
Lusi menelan ludah. Jantungnya berdetak tidak karuan. Dengan langkah sangat pelan, ia mendekati pintu. Tangannya bergetar saat menyentuh gagang pintu itu.
Kemudian ia memutarnya.
Pintu terbuka perlahan.
Dan wajah yang muncul di depannya membuat seluruh udara seolah tersedot keluar dari paru-parunya.
Gevan berdiri di sana, mengenakan kemeja hitam yang digulung sampai siku, rambutnya sedikit berantakan, tatapannya sangat gelap. Hidungnya kembang-kempis, rahangnya mengeras.
Mata Gevan turun ke pipi Lusi yang basah.
Lusi buru-buru menunduk, menyembunyikan wajahnya.
Namun Gevan mengangkat dagunya dengan dua jarinya secara kasar.
“Kau menangis?” suaranya merendah, dingin seperti baja. “Tinggal di rumah kami baru beberapa jam saja sudah merepotkan semua orang?”
Lusi memejamkan mata.
“Aku… aku tidak bermaksud—”
“Diam.”
Gevan mendekat, begitu dekat sampai Lusi bisa merasakan napasnya di wajah.
“Kau tahu apa yang membuatku muak, Lusi?”
Lusi hampir tidak berani bernapas.
Gevan tersenyum miring — senyum yang sama sekali tidak mengenal belas kasihan.
“Kau pernah mencintaiku.”
Suara Gevan merendah, bergetar oleh kemarahan yang menahan diri.
“Dan sekarang kau tidur di kamar ini… sebagai istri ayahku.”
Lusi menggigit bibir sampai nyaris berdarah. “A-aku tidak punya pilihan… keluarga aku—”
“Pilihan?” Gevan mendengus. “Setiap orang dewasa punya pilihan. Tapi kau…” Ia memandangnya dari atas sampai bawah dengan tatapan yang membuat Lusi merinding. “Kau memilih jalan ini.”
“Aku tidak—”
“Cukup.”
Gevan melangkah masuk ke kamar tanpa diminta, membuat Lusi harus mundur beberapa langkah.
“Mulai hari ini…” Gevan menatap lurus ke mata Lusi. “…aku akan memastikan kau tidak membuat kekacauan di rumah ini.”
Lusi menelan ludah.
“Aku tidak akan menyentuhmu. Aku tidak akan mendekatimu. Aku tidak akan menganggapmu apa pun.” Gevan berhenti tepat di hadapan Lusi. “Tapi satu hal.”
Napas Gevan hampir menyentuh bibir Lusi.
“Jangan pernah… coba berpikir bahwa aku akan mengampuni keputusanmu.”
Sebuah kalimat yang menusuk langsung ke jantung Lusi.
Gevan kemudian berbalik. Membuka pintu kamar. Dan sebelum keluar, ia melontarkan kalimat terakhir yang membuat lutut Lusi kembali melemah.
“Selamat datang di keluarga Orion, Lusi.”
Ia menatap dingin. “Semoga kau tidak menyesal masuk ke neraka ini.”
Pintu tertutup.
Dan Lusi jatuh lagi ke lantai.
Kali ini dengan tangisan yang lebih dalam.
Tangisan seseorang yang tidak yakin apakah dirinya akan selamat tinggal di rumah ini… atau hancur perlahan di bawah tatapan pria yang dulu pernah menjadi seluruh dunianya.