Meja makan malam itu terasa seperti ruang pengadilan. Lampu gantung besar menyinari meja panjang keluarga Orion yang dipenuhi hidangan mahal, namun suasananya justru lebih dingin daripada lemari es.
Lusi duduk di samping Gerald, tubuhnya kaku seperti patung. Sendok dan garpunya ia pegang dengan goyah, hampir saja jatuh dari tangannya karena sarafnya tak stabil. Di seberangnya, Gevan duduk dengan punggung tegak, rahang mengeras, matanya menatap lurus ke arahnya seolah ingin membakar keberadaan Lusi sampai habis.
Suara makan Gerald sangat terdengar. Tenang, santai, seperti lelaki tua yang sedang menikmati hidup tanpa beban.
Namun suasana di antara ketiga orang itu begitu tegang hingga membuat udara terasa menipis.
Setelah beberapa menit sunyi, Gevan membuka mulut.
"Papa."
Gerald mengunyah tanpa menoleh. "Apa lagi?"
"Sudah tiga hari Papa tidak menjenguk Mama."
Gerald mengambil daging steaknya dengan santai. "Aku sibuk."
"Kalau begitu, luangkan waktu." Nada Gevan menusuk. "Mama tidak pernah absen merawat Papa selama puluhan tahun."
Gerald mendengkus. "Untuk apa menjenguk orang lumpuh? Apa yang bisa dia lakukan? Diam, tidur, dan menatap kosong ke langit-langit?"
Lusi menunduk makin dalam. Kata-kata itu terlalu kasar bagi telinganya. Ia tahu betul bagaimana Mama Gevan dulu adalah perempuan lembut yang sangat mencintai suaminya. Kini suaminya bahkan tidak mau menengoknya.
Gevan menatap ayahnya dengan sorot mata gelap. "Dia tetap istri Papa."
Gerald mengangkat bahu. "Sekarang aku punya istri baru. Aku punya tanggung jawab baru."
Gerald melirik Lusi dengan bangga, seolah ingin menunjukkan trofi baru. Lusi hanya menunduk, tenggorokannya tercekat.
Gevan menyilangkan tangan. "Kalau tanggung jawab Papa hanya mengurus hidup Papa sendiri, jangan menyebut itu tanggung jawab."
Gerald meletakkan garpunya dengan bunyi keras. "Jaga bicaramu."
"Aku bicara jujur," jawab Gevan tanpa gentar. "Papa menikahi gadis yang seumuran denganku atau lebih muda dariku. Dan Papa bahkan tidak malu mengabaikan Mama."
Gerald menatap tajam, namun tidak bisa membantah. Dia sudah mengetahui sejak awal bahwa Gevan dan Lusi dulu pernah bersama. Dia tidak peduli. Bahkan baginya, itu justru membuat pernikahan ini terasa lebih memuaskan, seolah ia berhasil mengambil sesuatu yang pernah menjadi milik putranya.
Lusi meremas rok panjangnya, hatinya tercekat. Pembicaraan ini membuat dadanya tercekik.
Gevan menatap Lusi dengan tajam. "Dan kau…"
Lusi mengangkat wajah perlahan.
"Kau sekarang duduk di meja ini," kata Gevan datar. "Sebagai istri Papa."
Lusi menunduk lagi, wajahnya memucat.
Gerald tersenyum tipis, seolah ingin memperjelas posisi.
"Kau tidak perlu merasa bersalah, Lusi. Semua yang terjadi, terjadi atas pilihan kita masing-masing."
Gevan menghela napas pendek. "Pilihan? Kau pikir dia punya banyak pilihan?"
Lusi menutup mulutnya agar tidak menangis. Jangan bersuara. Jangan menangis di depan mereka. Jangan terlihat lemah.
Gerald berkata santai, "Aku menolong keluarganya. Menikah dengannya adalah keputusan terbaik yang bisa menyelamatkan mereka."
Gevan menyipitkan mata. "Menolong sambil meminta bayaran adalah perjanjian, bukan kebaikan."
Gerald tidak menanggapi.
Gevan melanjutkan, kali ini dengan sorot mata tajam tertuju pada Lusi, tatapan yang membuat punggung Lusi merinding.
"Kalau kau memilih jalan ini… maka kau harus tahu konsekuensinya."
Lusi menggigit bibir, menahan napas.
"Jangan berharap aku akan memanggilmu yang bukan-bukan," kata Gevan pelan namun terasa seperti hantaman. "Dan jangan berharap keberadaanmu tidak akan berdampak apa-apa pada hubungan Papa dan aku."
Gerald menusukkan garpunya ke daging. "Hubungan kita sudah retak sejak lama. Jangan salahkan perempuan ini."
"Justru karena perempuan ini, retaknya makin dalam," balas Gevan.
Lusi hampir tersedak napasnya sendiri.
Gerald lalu berkata, suaranya tenang namun penuh kepemilikan, "Kau tinggal di rumah ini, Lusi. Kau adalah istriku. Tidak ada yang boleh merendahkanmu."
Gevan tertawa kecil, tawa dingin tanpa humor. "Papa bahkan tidak tahu apa yang dia rasakan."
Lusi menutup wajahnya sejenak. Ia merasa sesak. Ia ingin mengatakan bahwa ia tidak ingin menghancurkan apa pun, tidak ingin memecah belah keluarga ini, tidak ingin menjadi sumber kebencian.
Tapi di rumah ini, ia hanyalah orang luar. Orang yang dibeli. Orang yang tidak punya suara.
Gerald menatap putranya. "Mulai sekarang, perlakukan dia dengan hormat."
Gevan bangkit perlahan dari kursinya.
"Aku menghormati Mama. Bukan dia."
Lusi terdiam, tubuhnya gemetar.
Gerald bangkit juga, menatap Gevan penuh kemarahan. "Kau akan tinggal serumah dengannya. Pelajari cara beradaptasi."
Gevan berdiri tegak, menatap Lusi sejenak — tatapan tajam tanpa simpati — lalu berbalik menuju pintu.
Sebelum keluar, ia berkata datar, suara yang menusuk sampai ke tulang.
"Kalau Papa tidak mau menjenguk Mama… aku yang akan mengurus semuanya. Tanpa Papa."
Ia berjalan pergi tanpa menoleh sedikit pun.
Pintu ruang makan menutup keras.
Lusi menunduk. Gerald menghela napas panjang seolah lelah menghadapi putranya.
Namun Lusi tahu… ia yang akan menjadi pusat badai berikutnya.
Dan malam itu baru permulaan.